Suci - Ikatan Cinta

6 4 0
                                    

Pagi hari, Elin kembali ke aktivitasnya yang flat. Bekerja dan bekerja. Maklum, dia hanya lulusan SMP makanya dia tak bekerja di kantor atau juga perusahaan yang mewah. luxurious? Mustahil. Jadilah dia hanya bekerja diwarung milik  bibinya. Di kantin, disebuah universitas ternama di Jakarta.

Elin sedang melayani mahasiswa dan mahasiswi yang memesan makanan atau pun minuman.

"Mba ..., " seru salah seorang mahasiswi, cantik, elegan pula. The most wanted.
Cepat-cepat Elin datang kepemilik suara itu. "Iya, Kak? Mau pesan apa?" tanya Elin sopan, memang harus seperti itu. Pelayan harus sopan pada pembelinya. Seperti pepatah, pembeli adalah raja.
"Gue mau pesan steak sama jus jeruk. Dan inget! Jangan panggil gue Kakak, gue bukan Kakak lo! Lagian, gak sudi gue dipanggil Kakak sama pelayan kayak lo."
Damn! Memang cantik, tapi kelakuannya, menjijikan. Batin Elin. Walau pun Elin hanya lulusan SMP, bukan berarti Elin tidak punya etika bicara yang baik. Elin gadis sopan. Umurnya sudah 20 tahun, bisa dibilang gadis lah. Sedangkan perempuan ini? seorang mahasiswi, sekolah tinggi-tinggi. Tapi, gak punya etika bicara secuil pun.
"Baik, ditunggu." Elin hanya mengangguk, kalau dia tidak memanggil Kakak, lalu dia harus memanggilnya apa? Nona? Emangnya dia pembantu dirumahnya apa.

Sudah sore, Elin bergegas pulang untuk melihat ibunya yang mungkin sudah menunggunya. Membawakan makanan. Memang, Elin hanya tinggal berdua dengan ibunya. Dia anak tinggal. Ibunya mengalami struk, semenjak mendengar kabar ayahnya kecelakaan dan meninggal 5 tahun lalu. Tapi untungnya, ibunya masih bisa berbicara. Hanya saja, badannya tak bergerak dikursi roda.

"Assalamualaikum ...," salam Elin ketika memasuki rumah.
"Waalaikumussalam, Nak," jawab Neli—ibunya Elin.
"Bu, lihat apa yang Elin bawa untuk ibu?" tanya Elin pada ibunya.
"Apa, Nak?"
"Nasi padang. Ayo, Bu, sekarang kita makan."
"Wahh pasti enak. Makasih, Nak," ucap Neli tersenyum.
"Iya sama-sama, Bu. Elin senang liat ibu senyum."

Mereka berdua tenggelam dalam kebahagiaan yang tak seberapa ini. Sangat manis.

Hari minggu, Elin libur dari pekerjaannya. Dia gunakan untuk berolahraga mengelilingi taman kota. Rumahnya memang dekat dengan salah satu taman. Taman terlihat sangat ramai, banya orang berkumpul. Sekedar untuk berolahraga, atau pun sarapan dilapak sekitar taman itu.

Elin sedang jogging, sampai akhirnya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang.

"Aduh," ringis Elin spontan saat dirinya terjatuh ketanah.
"Oh ya ampun, maafkan Aku," melas orang itu, yang menabraknya tadi.
Sebelum dia menjawab sebuah tangan terulur didepannya berniat membantunya bangun.
Elin menerima uluran tangan itu. Dan menatap pemiliknya itu.
"Oh, tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Salahku juga, tidak hati-hati," jawab Elin memaafkan.
"Oke, kalau gitu, mari kesana. Duduk. Pasti lututmu sakit. Berdarah," ajaknya sambil mengarahkan telunjuknya ketempat duduk yang tak jauh.
Elin hanya mengangguk. Menuruti saja. Karena benar, lututnya sakit.

Mereka duduk. Hanya diam. Sampai suara mengagetkan Elin yang sedari tadi melamum entah memikirkan apa.
"Maafkan Aku," katanya.
"Tak perlu, lupakan saja," balas Elin.
"Okay jika itu maumu. Tapi, siapa namamu?" tanyanya sambil menjulurkan tangannya.
"Panggil saja, Elin," jawab Elin sambil menerima jabatan tangan itu.
"Nama yang bagus. Dan kau Elin, bisa memanggilku, Dani," lanjutnya.
"Baiklah," sahut Elin.

Sebulan berlalu, semenjak pertemuan itu, Elin dan Dani semakin dekat. Mereka sering bertemu. Di kampus tempatnya bekerja. Karena memang, Dani mahasiswa disana juga.

Entah rasa apa, Elin bahagia berada didekat Dani. Elin tau betul, ini tak baik. Dia hanya gadis biasa, sedangkan Dani? Pemuda tampan, yang ternyata adalah anak dari pemilik kampus itu. Mereka berbeda. Rasa ini tak boleh ada.

Tapi? Elin ingin memiliknya, selamanya. Apa Dani juga merasakan apa yang Elin rasakan? Oh Tuhan.

"Elin, nanti malam kamu ada acara gak? Kita jalan yuk," ajak Dani ketika sudah sampai didepan rumah Elin, mengantarnya pulang. Ini sudah sore, menjelang malam. Tiba-tiba sekali, ada apa memang.
"Kemana? Mendadak sekali, apa ada yang penting?"
"Rahasia. Kau tinggal jawab saja, bisa tidak?"
"Bisa. Karena memang nanti malam aku tidak ada acara."
"Bagus. Aku jemput kau jam 8 malam," seru Dani lalu pergi dengan mobilnya.
Membingungkan. Pikir Elin. Pasalnya, tak biasanya Dani mengajaknya pergi malam-malam.

Mereka berdua sudah sampai, disebuah restoran mewah dan tentu saja megah. Elin juga kelihatan sangat cantik memakai gaun merah yang Dani belikan khusus untuknya.

"Dani, untuk apa kita kesini?" tanya Elin penasaran. Dia malu. Di lihat banyak orang, berada di tempat mewah. Serasa mimpi.
"Sttt kau diam saja, duduk," titah Dani. Entah kenapa, Elin sangat patuh pada lelaki itu.
Elin sedang melihat isi restoran itu. Lampu-lampu, hiasan,  sungguh megah. Sampai-sampai dia tak sadar. Dani sudah berlutut dihadapannya.

"Aku memang bukan yang terbaik, tapi aku akan berusaha yang terbaik untukmu Elin. Sejak pertama kita bertemu, aku sudah jatuh hati padamu. Aku tak peduli tentang perbedaan dan lainnya. Yang aku mau, will you marry me?" Dani berpuitis. Astaga. Dia melamar Elin. Dihadapan banyak orang. Romantis sekali, manis. Elin terharu meneteskan air matanya.

Perasaannya pada Dani, ternyata terbalaskan.

"Elin?" panggil Dani yang bingung melihat Elin yang bukannya menjawab. Dia malah menangis.
"Ehh iya?" seru Elin terkejut.
"Jadi bagaimana?" tanya Dani yang tak sabar lagi mendengar   jawaban dari Elin.

"Iya, aku mau," teriak Elin. Bahagia, terharu.
"Yes!"

Mereka bahagia, senang.Kebahagiaan yang tak ada duanya.

Sebuah rasa
Adalah cinta
Cinta, tak usah memandang harkat
Cinta, tak perlu memandang martabat
Karena cinta, hanya perlu disatukan
Dalam ikatan suci
Sebuah pernikahan
Sampai mati
Berjanji bersama untuk selamanya.

Karya dari : SuciAnggraeni2003

Antologi SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang