seven

107 16 8
                                    

Jeon Jungkook. Tetanggaku sejak 11 tahun yang lalu. Sosok pemuda yang bisa membuat semua orang tunduk pada pesonanya hanya dalam satu kali pertemuan.

Santunnya luar biasa, jangan lupakan senyum yang terkembang ketika dia menyapamu, sesuatu yang sulit ditemui pada generasi sekarang. Ketika kau berbicara dengannya, pasti akan terkesima dengan tutur bahasanya yang halus dan mudah dicerna. Tipikal orang yang mudah mengendalikan percakapan tanpa berniat mendominasinya.

Otaknya cerdas, sampai-sampai dia memenangkan olimpiade matematika tahun lalu. Oo.. Jangan berpikir bahwa dia adalah seorang kutu buku. Bukan, dia tidak seperti itu. Jeon Jungkook bahkan menjadi ketua OSIS yang sangat di segani oleh semua siswa. Jangan lupakan paras rupawan dan tubuh atletisnya. Membuat nilai plus dalam dirinya semakin bertambah.

Jeon Jungkook itu P E R F E C T !!!!

Bahkan, ibuku sendiri pernah berkata pada bibi penjual daging bahwa Jeon Jungkook itu anaknya saat kami pergi ke pasar setengah tahun yang lalu. Ibuku luar biasa senang ketika bibi itu mengatakan bahwa mereka mirip. Dan ketika bibi itu bertanya siapa aku, ibuku berkata bahwa aku adalah keponakannya.

Ibu dan bibi itu tertawa keras, ketika mengatakan bahwa kulitku sedikit coklat, tidak seperti gadis korea pada umumnya. Kepalaku panas luar biasa, tapi Jeon Jungkook malah tersenyum menanggapi percakapan itu.

Dia menepuk kepalaku pelan, tanda prihatin dengan kondisiku. Jangan lupakan dia menjulurkan lidahnya kepadaku setelah ibuku menggandengnya untuk pergi dari toko daging. Sedangkan aku?? Aku berjalan di belakang mereka sambil membawa kresek berisi sayur, buah, dan daging hasil berburu di pasar tadi.

Segelintir kenangan lama seorang Jeon Jungkook kembali bergulir dalam benakku. Rasa-rasanya aku ingin sekali menyumpahi kesempurnaan seorang Jeon Jungkook itu. Tapi niat itu kuurungkan, sebab menyumpah serapahi seseorang yang sudah tiada itu tidak baik.

Bahkan rasanya aku tidak pantas menyebut diriku sendiri seorang sahabat, karena aku terlalu pengecut untuk hadir dalam prosesi pemakamannya. Bahkan sampai sekarang, aku belum pernah sekalipun menampakkan batang hidungku pada rumah terakhirnya.

Aku hanya.... takut hatiku semakin sakit kareena kepergiannya. Takut seluruh kewarasanku hilang menyadari Jeon Jungkook, pemuda yang tangguh itu telah kalah melawan setiap rasa sakitnya. Takut sekali.

Sekarang aku berada di kamarnya. Kamar yang dulu sering aku gunakan karena aku terlalu malas untuk pulang ke rumah. Aku datang kesini bukan tanpa alasan, aku ingin mengembalikan komik Doraemon milik Jungkook yang entah berapa lama sudah mendekam di kamarku.

Bibi Jeon memintaku untuk meletakkan langsung ke kamar Jungkook saja, karena beliau akan berangkat kerja. Sebenarnya aku menolak, tapi kata Bibi tidak apa-apa, jadi aku menurut saja.

Aku segera menuju ke rak buku berwarna hitam dengan aksen silver itu. Mengamati betapa rapinya susuan buku di dalamnya. Aku menyelipkan komik Doraemon pada deretan komik. Hati-hati sekali dalam meletakan komik itu, karena aku tahu Jungkook tidak segan untuk menjambak rambutku kalau aku membuat buku-bukunya berantakan.

Hatiku nyeri mengingat kelakuan Jungkook yang satu itu. Mataku panas. Ingin pergi saja dari kamar ini, toh komiknya sudah aku kembalikan. Tapi niatan itu urung, karena mataku menangkap sebuah buku agenda yang terletak pada meja disamping rak buku. Tulisan Jungkook, sangat rapi tentunya.

"Untuk Hye Sun"

Apa yang tertulis di dalamnya? Untukku? Kenapa Bibi Jeon tidak pernah menyerahkannya kepadaku kalau buku tersebut ditujukan kepadaku? Apa selama ini Bibi Jeon tidak pernah melihatnya jadi beliau tidak pernah memberikannya kepadaku? Atau beliau lupa?

Sweet Cake [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang