3• Pasar Malam

27 18 9
                                    

Sepasang mata Lili memperhatikan kardus Hp yang berada di atas kasurnya. Apakah ia pantas membukanya? Mengingat tadi setelah selesai kerja kelompok, Putra menyuruhnya untuk menerima Hp pemberiannya dan ia juga bilang bahwa ia sudah membuatkannya Whatsapp. Sebenarnya masih ada rasa ingin tahu alasan utama Putra memberikannya Hp. Secara Hp itu harganya mahal dan juga tidak ada hubungan antara Putra dengannya.

Tunggu.

Bukan. Hubungan yang di maksud adalah hubungan keluarga gitu. Bukan hubungan pacaran.

"Kok? Pacaran? Kok kamu bisa berpikiran ke pacaran sih, Li."

"Ta'aruf, ingat!"

Lili menggeleng kuat. Menepis dugaan-dugaannya. Ia duduk di atas kasur dan menghadap ke arah kardus. Tangannya bergerak membuka kardus Hp nya. Senyuman tipis terukis diwajah Lili saat mengusap layar touchscreen-nya dan bagian belakang Hp nya. Ia yakin kalau merk Hp ini pasti terkenal.

"Cara buka Hp nya gimana? Kan kalau Hp pencetan ada tombolnya." Lili membolak-balikan Hp. Bingung cara membuka Hp barunya itu. "Gimana sih?"

Tangannya meraba seluruh bagian Hp. Dan keningnya berkerut saat merasa ada tombol di sebelah kiri dan kanan Hp. "Apa ini pencetan buat buka Hp nya?"

"Coba pencet deh." Lili menekan tombol yang berada di sebelah kiri dengan lama. Matanya berbinar ketika melihat layar tadinya hitam kini menyala. "Layarnya penuh jadinya gak ada pencetannya."

"Nanti gak ada suara pas pencet-pencet nya dong? Kan kalo Hp pencetan ada suaranya kalo di pencet."

Mulut Lili tak berhenti mengoceh mengenai Hp barunya ini. Dan mulutnya pun terus bersuara saat Hp nya menampilkan layar kunci. "Ini buka kunci nya gimana?...aduh kok ribet banget sih Hp kaya gini. Apa di geser? Coba deh."

Ia menggeser layar kunci nya ke atas. Lalu, tampilah menu utama dengan pemandangan air terjun lah yang menjadi wallpaper.  "Ih, kok enak sih? Bisa di geser-geser ke samping. Terus juga layar nya full. Gak kaya Hp pencetan."

"Udah bisa pake Hp barunya, Li?"

Lili langsung berbalik. Melihat Bapak dengan jaket yang menempel di tubuhya. "Ini, nasi kotak, Li." Bapak menyodorkan sekotak nasi.

Sehari setelah tutup buku, pasti pegawai di kantor Bapak selalu mendapatkan sekotak nasi ditambah lauk pauknya. Setiap bulannya, lauk pauknya berbeda. Kadang, nasi goreng, mie ayam. Tapi, lebih sering pecel ayam. Mungkin karena pecel ayam makanan yang simple.

Lili sudah berada di meja makan. Ia melihat Bapak yang mau masuk ke dalam kamar. "Pak, ini makanannya."

Bapak menghentikan langkahnya. "Buat Lili aja. Bapak mah gampang. Nanti pas ngojek, Bapak bisa beli makanan."

Kadang kala, jika Bapak mempunyai waktu banyak dirumah, Bapak biasa ngojek. Hitung-hitung untuk menambah uang jajan Lili gitu katanya. Sebenarnya Lili menolak saat Bapak meminta izin padanya untuk ngojek. Lili merasa Bapak perlu istirahat setelah seharian penuh melawan panasnya matahari. Namun, Bapak selalu punya alasan yang membuat Lili izini Bapak ngojek.

"Lili gak mau makan kalo Bapak juga gak makan. Di luar hujan, Bapak gak usah ngojek dulu."

"Buat Lili aja. Bapak bisa beli mie instan kok."

Hari ini Bapak tidak masak dikarenakan kesibukannya mengurus nasabah yang tidak mau bayar. Lili sudah berniat untuk memasak hari ini. Namun, Bapak mencegahnya dengan alasan Lili harus fokus sekolah.

Lili menggeleng. "Yaudah Lili gak usah makan." Ia merasa kalau Bapak selalu mendahulukannya daripada dirinya sendiri. Ia tau kalau Bapak memberikannya kotak nasi ini karena lauk pauknya hanya terdapat satu sehingga jika Bapak ikut makan, otomatis lauk pauknya di bagi dua. Dan Bapak tidak mau itu.

If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang