Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JIMINS POV
Yoongi hyung memandangku dengan ekspresi yang benar-benar tidak bisa kubaca.
Dia melangkah mendekati Noona.
"Wonnie, kita harus ke apartemenmu, kau bisa sakit kalau seperti ini," katanya sambil berusaha membuat Noona berdiri.
Meski nada bicaranya seakan-akan dia tidak peduli pada apa yang baru saja kulakukan pada noona, caranya menghindariku adalah bukti terbaik jika sebenarnya Yoongi hyung menyimpan amarah untukku.
Saat ini, noona juga kelihatan sama kagetnya denganku.
Aku menelan ludah. Rasanya seperti udara di paru-paruku ditarik keluar sekaligus: sesak. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.
"Yoongi, kenapa kau bisa ada disini?," tanya Noona, menepis bantuan Yoongi hyung dan berdiri sendiri.
Aku, sebagai seseorang yang cukup pandai mengamati gerak-gerik seseorang, bisa mengatakan kalau Yoongi hyung terlihat semakin sedih ketika Noona menepis tangannya seperti itu.
"Kau tahu betapa khawatirnya aku saat kau memutuskan telepon begitu saja? Tentu saja aku akan mencarimu. Aku mencarimu ke apartemenmu, kau tidak ada, aku mencarimu kemana-mana, aku tidak berpikir kau akan disini di cuaca seperti ini,"
"Seharusnya aku datang lebih cepat," lanjutnya, menengok ke arahku.
Aku menelan ludah dengan gugup. Tidak bisa memberi balasan apapun selain menunduk.
Tangan yoongi hyung kembali meraih Noona, kali ini dengan ragu-ragu Noona menerimanya. "Ayo, kau harus kembali ke apartemen,"
"Yoongi, aku bisa pulang sendiri, kau kembali saja--,"
"Tidak, aku akan ikut bersamamu sebentar,"
Melihat keseriusan Yoongi hyung, Noona mendesah, bingung.
Setelah beberapa lama,
"Jimin, bajumu pasti basah, kau lebih baik mengganti baju di apartemenku malam ini," kata Da Won noona seraya menggenggam tangan Yoongi hyung. "Masih ada baju Yoongi yang bisa kau pinjam supaya kau tidak kedinginan," katanya lagi.
Da Won noona melirik Yoongi hyung. Dia tidak bereaksi. Dia pasti ingin memiliki waktu berdua dengan noona, tapi dia tidak setega itu membiarkanku.
"Tidak perlu. Aku..," kepalaku mencari-cari alasan. "Aku masih harus menjaga Na Young noona di rumahnya, tadi aku berjanji akan kembali," lanjutku seraya mengusap tengkuk, hal yang biasa kulakukan saat nervous.
"Tapi-,"
"Aku akan baik-baik saja, noona," jawabku sembari tersenyum kecut.
Setelah melirik Yoongi hyung yang memandangku lekat-lekat, aku berbalik arah dan pergi dari taman itu.
***
Jiminie pabo(bodoh).
Tae-tae pasti akan mengejekku seperti itu kalau tahu apa yang baru saja kulakukan malam ini.
Seharusnya aku tetap menjauh dari Da Won noona. Seharusnya aku tidak mencoba ikut campur urusan mereka. Meski aku khawatir dengan Da Won noona, tidak seharusnya aku melakukannya di belakang Yoongi hyung.
Mau bagaimana pun, aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Da Won noona.
Coba lihat hasilnya, Jimin. Kau bahkan tidak bisa menepati janji untuk mengesampingkan perasaanmu sendiri! Bagaimana kau mau membantu?
Kau hanya menambah masalah mereka saja, otakku berkali-kali berkata.
Di taksi, aku duduk diam menghadap jendela. Airmataku menetes lagi.
04.37 am, jam di atas dashboard taksi memberitahuku.
Jadwal hari ini dimulai pukul sembilan pagi.
Aku belum sanggup untuk pulang ke dorm pagi ini. Aku harus menenangkan diriku terlebih dulu. Aku tidak ingin bertemu Yoongi hyung.
Malam ini telah berubah menjadi sangat dingin. Terlebih dengan baju kausku yang sekarang lembab dan mesin penghangat taksi yang tidak bekerja. Dipikir-pikir, aku belum banyak beristirahat sejak kemarin.
Aku menyeka airmataku dengan punggung tangan, berusaha tegar dan baik-baik saja.
***
Sebelum membuka pintu tempat tinggal manajer Na Young, aku menarik nafas panjang terlebih dulu. Seandainya Na Young noona bangun, aku tidak ingin dia melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku tidak akan mampu menjelaskan apapun.
Syukurlah manajer Na Young masih tertidur. Nampaknya dia lebih tenang dan nyaman sekarang. Rasa lelahku sejak kemarin terbayarkan dengan melihatnya.
Aku kembali memosisikan diriku di samping Na Rae. Cukup merasa lega seperti ini. Penghangat ruangan masih berfungsi meskipun tidak benar-benar menghilangkan rasa dingin yang meresap dari kaus ke kulitku.
Tapi lagi-lagi aku tidak bisa memaksa diriku untuk tidur.
Setiap terjadi suatu masalah, insomniaku selalu kambuh. Terkadang aku merasa kesal dengan diri sendiri karena ini. Aku menghadap ke langit-langit, tidak melihat apapun yang spesifik, hanya melamun. Terlalu banyak hal berseliweran di kepalaku sampai-sampai aku harus membuang semua itu dan memaksa otakku berubah kosong.
Kupaksa kepalaku menghitung domba seperti sebelumnya, dan dihitungan ke 235 sesuatu menyelimuti tubuhku.
"kamu gemetaran," kata manajer Na Young, suaranya serak karena baru saja terbangun.
"ah, apa aku mengganggumu?,"
Manajer Na Young kembali merebahkan badannya di kasur setelah menyelimutiku dengan jaketku sendiri.
"terimakasih telah merawatku, anak kecil," katanya.
"hmm," jawabku singkat. "Noona sudah jauh lebih baik sekarang? Badan noona panas sekali tadi,"
"aku sudah tidak apa-apa," bisiknya, enggan membangunkan kedua adiknya. "tapi ngomong-ngomong.. kenapa tiba-tiba menangis?," tanyanya tiba-tiba.
"aku?," tanyaku bingung. Lalu saat kusentuh pipi kananku, aku baru menyadari kalau wajahku basah oleh airmata.
menangis? lagi? ya ampun Jimin, cengeng sekali, kepalaku berkata.
"sepertinya aku bermimpi buruk," jawabku sambil menyeka kedua pipi.
Mendengar jawabanku, noona mengelus rambutku yang sedikit basah oleh embun dingin selama aku di luar tadi. Posisi kepalaku dan Na Rae berada dekat kasur noona sehingga itu mudah dilakukan. Meski begitu, aku tidak mengira noona akan merespon jawabanku seperti ini.
Perlahan-lahan aku memejamkan mata. Syukurlah noona tidak menanyakan apa-apa lagi. Aku yakin noona tahu aku berbohong, karena tidak mungkin rambutku basah dan badanku gemetaran kalau benar-benar tidak terjadi apa-apa atau hanya mimpi belaka.
Selama beberapa saat noona mengelus dan memainkan rambutku. Dengan itu sedikit demi sedikit kantuk dan lelah memakan tubuhku, membuatku mulai terlelap. _