9

1.9K 114 8
                                    

"Va, buka pintunya va." Pinta Reza dari luar kamar Reva.

Sudah kurang lebih dua jam Reva mengurung diri didalam kamar.

Arkana memang ingin berbicara kepada Reva, tapi pekerjaan memanggilnya sejam lalu. Ia hanya bisa menitip "maaf" dan "penjelasan" pada Reza dan Andini.

Pertamanya Andini yang membujuk Reva untuk keluar, tapi tak ada hasil. Mereka membujuknya dengan segala hal, tetap saja tak mempan.

"Udah sana lo! Dasar goblok!" Teriak Reva dari dalam kamar.

"Va jangan gitu dong. Keluar, biar gue jelasain. Lo jangan marah dulu." Pinta Reza. Ia layaknya sedang meladenin pacar yang marah karna ketauan jalan bareng cewek lain.

"Lu belum makan kan? Gue udah beliin sate kesukaan lu ni." Bujuk Reza dengan sate kesukaan Reva ditangannya.

Pintu Reva langsung terbuka dengan menunjukan muka Reva yang datar.

Reva mengulurkan tangannya. "Sini satenya." Ucapnya.

"Gue bakal kasih satenya asalkan lo janji nanti lo bakal denger penjelasan gue sama mama. Karna masalah apapun nggak bisa selesai kalok nggak dibicarain." Ucap Reza.

Reva menatap kakaknya dengan pasrah. Kakaknya benar. Masalah emang harus dibicaraain, kalok nggak malah makin besar nanti. "Yaudah, sini satenya. Gue laper."

Reza tersenyum melihat adiknya mengiyakan perkataannya.

"Yaudah, lo makan dulu. Gue sama mama bakal nunggu dibawah." Ucapnya sambil memberikan sate itu lalu mengusap kepala adiknya dengan lembut sebelum menuju ke lantai bawah.

Reva menghela nafasnya kasar. Mau tak mau ia harus menyelesaikan masalah ini.

Ia menutup pintu kamarnya bukannya hanya untuk memakan sate, tapi juga ia ingin mempersiapkan dirinya untuk mendengar alasan kakak dan mamanya.

***

Andini, Reza dan Reva sekarang sedang duduk diruang tengah.

Reva menatap mereka dengan pandangan yang... sangat mengerikan. Well... sebernarnya bukan mengerikan, tetapi tatapannya sangat mengintimidasi

"so, how on EARTH did this happend?" Tanya Reva penuh penekanan.

Reza dan Andini melirik satu sama lain, biarpun seribu alasan mereka berikan, mereka tau mereka akan kalah debat dengannya, karna kalau Reva sudah dalam "mode" begini, ia akan menjadi pengacara yang akan membuat seribu pertanyaan yang sangat menjebak dan membuat orang yang ditanyai itu menjadi mati kutu.

"Ehm, gi-gini Va," mulai reza. sangking gugupnya ia sendiri tak tau kenapa ia terbata. Jujur tatapan yang diberikan adiknya lebih mengerikan dari pada tatapan guru bp yang sedang marah.

"Gue nggak tau harus mulai dari mana sih, tap-"

"Stop." Potong reva. "Kalok lo nggak bisa jelasin, nggak usah. Biar mama aja yang jelasin." Ucapnya tegas.

Reza seperti kriminal yang tidak bisa berbuat apa apa kepada hakim. Ia hanya bisa mengikuti perkataanya.

"Va, jangan gitu dong sama kakak kamu." Ucap Andini.

Tatapan andini berubah arah dari Reza ke andini.

"Sorry ma." Ucapnya

"Tapi reva masih nggak ngerti, alasan apa yang bisa ngelitas difikiran kalian buat MAAFIN bahkan SETUJU buat tinggal sama pak Deandra itu." Utarnya dengan nada sedikit emosi

"apa mama nggak ingat apa yang udah dibuat orang itu ke mama? atau apa mama nggak ingat kalau lelakai itu juga yang udah buang kita bertiga?" tanya Reva sedikit emosi, mengingat apa yang sudah dilakukan lelaki itu saja sudah membuatnya muak.

Andini terdiam mendengar kata kata yang keluar dari putrinya itu, ia tak menyangka bahwa Reva sangat membenci ayahnya sendiri.

"gue tau lo marah, gue tau lo merasa kecewa, juga gue ngerti kalau lo itu benci sebenci bencinya sama pak Deandra. Tapi ini juga demi kebaikan kita," tegas Reza yang melihat Andini yang mulai sedih melihat putrinya,

"kebaikan kita? gue nggak salah denger? kita selama ini, selama 16 tahun, kita hidup tanpa adanya seorang ayah, tanpa seorang nenek ataupun kakek dan hidup kita bahagia Za. lo sadar itu juga kan?" tanya reva. tanpa ia ketahui air matanya mulai berlinang

"lo pikir gue nggak pengen punya ayah? lo pikir gue nggak pengen punya nenek atau kakek? gue pingin Za!" ungkap Reva air matanya sudah membasahi pipinya. nafasnya terengah, iatak bisa menyembunyikan kekesalannya.

bukan pada orang lain, tapi pada dirinta sendiri, bahwa ia memang menginginkan semua itu.

"dan asal lo tau, jika aja pak Deandra datang lebih cepat, MUNGKIN. MUNGKIN gue bakal maafin dia," ucap  Reva menekankan kata "mungkin".

"tapi semuanya udah terlambat za, gue udah nggak butuh mereka. gue nggak butuh seorang ayah lagi. Bagi gue sekarang cuma kalian berdua yang penting di dunia ini, nggak ada yang lain." jelas Reva sambil berusaha menghapus air matanya.

ia berdiri masih mencoba menghapus air matanya yang tak kunjung reda

"Reva mau masuk dulu, ma. besok aja kita lanjutin. Reva capek" ucapnya sambil menaiki tangga.

tak Andini ataupun Reza berani berkata kata. Ini benar-benar pertama kalinya mereka mendengarkan pengakuan Reva.

Sejak kecil ia selalu bilang ia tak apa-apa tak punya ayah. ternyata semua itu hanya white lie yang dibuatnya agar Andini ataupun Reza tidak cemas.

Andini sungguh  tak tau harus berbuat apa lagi. ia hanya bisa berharap yang terbaik.

"kamu asuk juga sana, nak. mama nggak papa kok. jangan lupa mandi ya. besok kita lanjutin."ucap Andini pelan hanya menunjukan seyum kebohongannya. senyum yang ia harap bisa membuat putra kecilnya sedikit tenang.

Reza hanya bisa menghela nafasnya. ia tau bahwa mamanya ini akan menangis sendirian dikamar nanti, tapi apa boleh buat,

The Wrong FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang