3. Misyka itu parfum terharum

994 153 7
                                    


Ipan menunggu pesanannya dan memejamkan matanya sejenak. Menetralkan rasa syok yang masih menyergapnya. Hampir saja dia masuk rumah sakit. Bisa gawat jika sampai dia masuk rumah sakit. Wanita yang telah melahirkannya pasti akan menangis histeris dan memaksanya pulang.

"Mpok Mimi. Besok pesanannya di tambah ya. Soalnya ada beberapa karyawan baru di kantor."

Ipan membuka matanya mendengar suara familiar itu. Disamping dapur darurat yang digunakan memasak sate, Ipan bisa melihat mas Pri yang sedang mengobrol pesanan dengan seorang wanita yang tadi memberi Ipan minum. Wanita itu menangguk dan melanjutkan memanggang sate. Dia terlihat ramah meskipun wajahnya memang seperti yang mas Pri katakan.

Kurang banyak.

Tapi entah kenapa Ipan ingin selalu mengalihkan matanya untuk mengamati kegiatan wanita itu.

Ck. Apa yang dia pikirkan. Sembarang memperhatikan wanita. Sejak kapan dia menjadi lelaki yang mudah melirik sekitar? Dia lelaki normal tapi dia juga tahu batasan. Ipan tersenyum kecut. Batasan? Batas yang mana yang dia maksud?

Tapi matanya memang benar sulit berpaling dari sosok mpok Mimi itu. Apa karena rasa kecewa pada yang cantik kini dia mengganti type perempuannya? Yang jelek mungkin akan bisa setia begitu? Memang siapa yang akan menjamin?

"Pesanannya, mas. Silahkan." Pelayan yang dulu melayani dia dan teman- temannya itu datang dengan pesanan Ipan kemudian berlalu. Sepertinya hanya ada satu pelayan di warung ini.

Ipan memperhatikan makan malamnya, kemudian kembali mengamati wanita itu. Wanita yang bernama...

"Mpok Misyka. Saya sate kambing dua porsi di bungkus, ya." Seorang wanita gemuk datang dan memesan langsung pada wanita itu

Misyka?

Jadi namanya Misyka? Mimi? Mungkin itu panggilan singkat ataupun nama dagang. Tebak Ipan.

"Iya. Mpok Rahma, silahkan duduk dulu. Saya siapkan pesanannya." Wanita itu tersenyum ramah. Senyum yang bisa membuat jantung Ipan berdegub kencang. Ada apa ini?

Tidak mungkin dia tiba- tiba menyukai wanita jelek yang baru dia lihat itu bukan? Itu benar- benar konyol.

Ipan menghela nafas. Sepertinya setelah hampir tertabrak mobil, otaknya menjadi konslet. Tersenyum kecut dia mulai menggigit daging ayam dan mengurainya dari tusuknya.

Enak. Wanita itu pintar memanjakan perut. Salah satu kriteria Ipan yang paling penting dalam memilih istri. Pintar di dapur.

***

Gea memperhatikan lelaki itu. Lelaki yang beberapa minggu lalu datang bersama mas Roni. Mungkin teman kantornya. Lelaki itu beberapa kali memperhatikan gerak gerik mbak Misyka. Apa jangan- jangan lelaki itu kenal dengan mbak Misyka? Wah bisa gawat. Padahal sekarang Mbak Misyka sudah berdandan jelek dan mulai bisa bahagia dan tersenyum. Belum lagi mereka sengaja memberi nama warung tenda mereka dengan nama Mimi agar orang - orang yang mengenal mbak Misyka tidak mengetahui keberadaannya.

"Misyk." Panggil Gea.

Misyka menoleh sejenak dan kembali mengawasi sate - satenya yang ada di atas bara sambil tangannya sibuk mengipasi bara agar tidak padam.

"Ada apa, Ge?"

"Itu cowok lihatin lo terus tuh. Lo kenal?" Tanya Gea.

Misyka menoleh sesaat dan bertepatan dengan lelaki itu yang juga menoleh ke arahnya. Pandangan mata mereka bertabrakan dan Misyka mengernyit.

Dia menggeleng pelan. "Nggak kenal, Ge. Itu kan yang tadi hampir tertabrak mobil di depan sana."

"Lah. Itu? Masih muda udah mau bunuh diri." Gumam Gea.

"Kalau menurutku dia bukannya mau bunuh diri, tapi kurang hati- hati waktu menyeberang jalan." Ucap Misyka.

Gea acuh dan kembali menata piring yang sudah terisi sate, dan membawanya dengan nampan ke arah para pembeli. Saat dirasa Gea sudah pergi, Misyka kembali menoleh dan kembali bertemu tatap dengan lelaki itu. Lelaki itu yang merasa tertangkap basah tengah memperhatikan Misyka menjadi salah tingkah dengan wajah memerah. Buru- buru lelaki itu mengunyah satenya untuk menyembunyikan rasa malunya.

Misyka terkikik. Lucu sekali lelaki itu.

***

Malam sudah larut ketika Ipan sampai di rumah kontrakannya. Dia membukan gembok di gerbang dan kemudian memasukkan motornya ke garasi. Lampu- lampu rumah masih belum dia nyalakan karena memang dia tinggal seorang diri. Hanya lampu teras yang memang sengaja tidak pernah dia matikan untuk mengantisipasi jika dia pulang malam seperti ini. Pastinya rumah ini akan terlihat menyeramkan kalau tidak ada satu lampu pun yang menyala.

"Bismillah, Assalamualaikum." Ucapnya setelah berhasil membuka pintu depan. Kemudian dia memasuki rumah. Berharap bisa segera membersihkan diri dan beristirahat. Dia lelah sekali rasanya hari ini.

Drtttt...drrtttt...ddrrtttttt...

Ponsel yang dia letakkan di atas ranjang bergetar saat dia selesai berpakaian usai membersihkan diri. Nama 'kanjeng ratu' tertera di layar ponselnya. Terus bergetar memintanya mengangkat panggilan itu.

"Assalamualaikum, ma." Sapa Ipan begitu sambungan terhubung.

"Wa'alaikumusalam. Hik..hik.," Nah sang ratu sudah menangis. "Kamu gimana kabarnya? Sehat?"

"Sehat, ma. Mama juga sehat kan?"

"Mama sakit..hik."

"Huh?! Sakit apa?"

"Sakit malarindu."

Aelaaah..

"Ma,"

"Kamu gimana makannya? Udah makan malam kan? Kerja nya jangan capek- capek, ya Vee. Terus kalau kamu nggak bisa beres- beres. Sewa pembantu aja."

Ck. Mamanya ini sebenarnya mau apa sih?

"Ma. Ipan sudah makan, ma. Sama sate tadi. Enak banget. Kapan- kapan Ipan beliin deh buat mama. Mama pasti suka."

"Enak ya? Tapi mama kangen Vee. Kamu pulang aja ya? Mama nggak mau kamu kurusan. Nanti mama ikut kepikiran. Nggak cukup apa kamu ninggalin mama waktu kuliah?"

"Udah, ma. Mama nggak usah lebay, deh." Itu suara sang Raja terdengar.

"Papa gimana sih? Papa nggak sayang sama anak sendiri? Gimana nanti kalau ada apa- apa? Kan kita yang repot."

"Halah. Anak mama itu sudah besar. Nggak usah dikekepin lagi. Adik- adiknya kan masih ada di rumah. Lagian papa masih sebel sama dia. Masak kalah sama si Derby. Derby itu sudah berani menikah, ma. Lha ini? Boro- boro nikah. Pacar aja selingkuh." Ucap sang Papa lagi nyelekit.

"Papa kok jahat sih. Hua..."

"Pokoknya dia belum jadi laki- laki kalau belum berani nikah. Sudah dua puluh tujuh tahun masak bikin malu, papa. Apa kata dunia?"

"Papa...!!!"

"Pa, ma. Ivan tutup dulu aja, ya? Mau tidur." Malas banget mendengar omelan papa dan mamanya lagi. Dia sudah cukup lelah bekerja seharian ini. Tidak perlu di tambah omelan kedua orang tuanya. Dan sialnya lagi, sang Papa mengungkit- ungkit tentang si bocah tengik Derby.

Tbc

Ada Kamu Di HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang