Bab 5 - Makna Kehidupan

2.1K 285 86
                                    

"Matur nuwun pak, In syaa Allah lain kali saja, saya takut merepotin bapak juga nantinya.."

"Tidak perlu sungkan begitu, pasti bapak antarkan kamu sampai ke asrama kamu. Lagian, ini juga sudah mulai larut malam. Tidak apa-apa, sama bapak saja, itu istri dan anak bapak sudah menunggu, mari..." Ajak Pak Lukman,

Qolbi pun menerima tawaran Pak Lukman, mereka berdua berjalan menuju teras masjid dan bersiap untuk bertolak ke Bogor. Saat berada pada tempat Rak di teras masjid, Qolbi mengambil sepatu putih dan menggunakannya.

"Wissh..sudah lama gak ketemu, Qolbi!" Suara laki-laki yang di iringi dengan tepukan tepat di bahu Qolbi.

"Ma syaa Allah, Ilham? Ma syaa Allah, kok bisa di sini? Habis ngapain?" Balas Qolbi dengan wajah terheran-heran.

"Disini aku kerja paruh waktu, kebetulan kerja di salah satu restoran yang tidak jauh dari sini. Dan juga, aku harus merantau ke depok karena ingin merasakan bagaimana rasanya kerja di luar kota."

Ilham adalah teman Qolbi semasa SMP, saat SMP Ilham adalah ketua kelas pada saat kelas 8. Rambut sedikit ikal dan mempunyai wajah yang sedikit kecoklatan, menjadi ciri khas dari seorang Ilham.

"Jadi setelah tamat SMA kamu tidak kuliah?"

"Iya begitulah, mau bagaimana lagi. Di jambi orang tuaku petani, adikku banyak, dan aku adalah anak yang paling tua. Karenanya, untuk sedikit meringankan beban orang tua, aku harus bekerja. Dan juga berusaha mencari keberuntungan di Pulau Jawa."

"Subhanallah..tapi kan Ham, Bukannya kuliah itu penting?"

"Qolbi, kuliah memang penting. Bagi mereka yang memang serius belajar, mempunyai pendanaan yang cukup, dan tekad yang kuat untuk membahagiakan orang tua. Tapi lihatlah, saat di restoran banyak ku temui anak kuliah yang bolos saat mereka mempunyai jadwal kuliah. Alasannya sepeleh, hanya merasa bosan. Padahal, mereka tidak pernah berfikir, banyak di luar sana yang ingin merasakan bangku perkuliahan, tapi semua niat dan cita-cita di urungkan hanya karena keterbatasan biaya, dan tidak ada dukungan dari keluarga. Terutama anak-anak semester yang mendekati akhir, padahal perjuangan mereka bukan hanya sebatas wisuda lalu menerima ijazah. Bukan! Melainkan, apa yang akan mereka lakukan setelah mereka melepas bangku perkuliahan dan terjun di masyarakat. Karena pandangan masyarakat sudah berbeda, menganggap mereka yang telah lulus adalah orang berpendidikan. Tapi pada kenyataannya nol besar, mereka yang diberi kenikmatan seringkali kufur akan nikmat yang telah Allah berikan. Salah satunya dapat mencicipi bangku perkuliahan, namun mereka sia-siakan!"

Qolbi mendengarkan dengan seksama celotehan sahabatnya itu, di iringi dengan tawa dari Pak Lukman yang turut mendengarkan apa yang lelaki berkulit coklat itu sampaikan.

"Iyaa begitulah kuliah nak, Bapak juga dulunya seorang anak petani, tapi bapak mempunyai cita-cita yang tinggi. Di keluarga bapak, tidak ada seorang pun yang menjadi angkatan. Namun bapak mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang polisi. Saat SMA bapak suka bermain basket, push up, pull up, sit up, dan lari berkilo-kilo meter hanya untuk membentuk tubuh dan menjaga kesehatan." Sahut Pak Lukman kepada Ilham,

"Jadi pak, bapak dulu tidak kuliah?" Tanya Ilham penasaran,

"Tidak, bapak dulu tes angkatan. Pada saat tahun pertama, bapak gagal. Mata bapak bermasalah, karena pada zaman bapak dulu. Di rumah tidak ada lampu, jadi pakai lampu togok yang dari sumbu kompor itu, isinya minyal tanah. Kalau bapak belajar pasti menggunakan itu, akibatnya mata bapak penglihatannya kurang baik pada saat SMA."

"Kamu pernah ngerasain lampu togok gak?" Sahut Pak Lukman kepada Ilham,

"Ya pernah lah pak, namanya juga orang kampung. Tinggal di desa, ya wajar.." Balas Ilham,

Tak Pantas Ku MerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang