Prolog

10.1K 717 5
                                    

"Bang Rumi...," teriak seorang gadis mungil berambut coklat gelap berlari menuju pintu besar. Pintu terbuka, iris coklat terangnya memencar mencari keberadaan sosok yang ia panggil tadi.

"Bang Rumi?" Suara gadis itu mengalun lembut memanggil Pria yang tak kunjung menampakan batang hidungnya.

Gadis mungil itu masuk ke dalam kamar yang berdominasi abu-putih. Ada ranjang besar, nakas, dan meja kerja yang diberi jarak cukup jauh dari pintu masuk.

"Kamu lagi apa di sini?" Suara berat membuat gadis itu terlonjak kaget spontan melihat ke belakang. Gadis itu tersenyum lebar melihat Pria yang ia cari, tapi sedetik kemudian dia menutup matanya seraya berteriak keras memekikan telinga.

"Bang Rumi, Mesum!" Pekik gadis itu masih menutup matanya.

Rumi menarik sebelah alisnya, menahan senyum gelinya.
"Siapa yang mesum?" Rumi melangkah mendekati gadis mungil itu, melepaskan tangan yang menutupi wajahnya.
"Sebenarnya, siapa yang mesum? Abang apa Kamu?" Tanyanya pelan tepat di hadapan wajah gadis mungil itu.

Gadis mungil itu membuka matanya perlahan. Wajahnya sudah merah padam menahan malu dan juga kagum sekaligus.
Bang Rumi, dengan segala ketampanannya datang mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang seksinya.
Memperlihatkan ke seksian yang hakiki. Oh tidak! Untung saja air liurnya tidak menetes melihat pemandangan di depannya.
Dada bidang, perut rata tanpa lemak, ah ya, jangan lupakan otot perut yang berbentuk persis seperti roti sobek.
Astaga, dia sudah berusia 17 tahun. Tentu saja dia sudah tahu bahkan paham semuanya.

"Nira?" Tangan Rumi mengibas ke kanan-kiri menyadarkan lamunan gadis itu.

Janira, gadis yang senang mengganggu hidup seorang Rumi. Mengintili Rumi ke mana pun, sama seperti dia mengintili Abangnya yang lain.
Rumi itu sahabat Abangnya, Faiz.
Mereka seumur, satu angkatan, dan sama tengilnya dalam menjahili Janira.

Bibir mungil Janira ingin mengeluarkan protesan.
Dengan pernyataan Rumi barusan.

"Abang kan tahu, Aku suka keluar masuk kamar Abang. Seharusnya Abang hati-hati dong jangan kayak gitu," gerutu Nira mencebikan bibirnya.

Rumi terkekeh pelan, mengapit hidung Nira gemas dengan kedua jarinya. "Kamu itu sudah besar, kalau Kamu sering seperti ini, bukan hal yang tidak mungkin kalau Abang sampai khilaf." Rumi mengedipkan sebelah matanya genit menggoda Nira.

Nira mengembungkan pipinya agar semburat rona merah yang muncul tak terlihat. "Ih Bang Rumi nyebelin!" Seru Nira mendorong dada Rumi keras.

Rumi mengaduh, "Kasar banget Kamu ini," ringis Rumi mengusap dadanya.

Nira bersidekap memberenggut
Membuang pandangannya ke samping. "Biarin!" Ketusnya setengah malu setengah sebal.

"Ya sudah, Kamu mau lihat Abang pakai baju apa tunggu di luar?" Rumi melangkah menuju lemari pakaiannya.
Mata Nira membulat, Nira segera menggelengkan kepalanya keras.
Nira kemudian berlari keluar kamar Rumi tanpa mengatakan sepatah katapun.

Rumi tertawa melihat tingkah Nira, menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya.
Benar-benar, Nira sangat menggemaskan kalau digoda seperti itu.

***

"Nira juga sudah besar Mbak, bagaimana kalau kita jodohkan saja anak kita?" Suara Mama Rumi terdengar dari arah taman belakang rumah Rumi.

"Ya kalau Aku sih, senang-senang saja. Masalahnya kan mereka itu Anak muda. Anak milenial. Aku nggak yakin kalau Mereka mau dijodohkan." Nira mendengar sahutan dari Mamanya.
Nira memilih menguping di balik dinding dekat taman belakang.

Astaga, dadanya berdebar kencang. Entah kenapa Nira senang sekali mendengar kabar gembira itu.
Kalau sampai benar mereka dijodohkan, Nira tidak bisa membayangkan bagaimana rasa senangnya nanti.

Nira senang karena Rumi memang Pria yang ia cintai.
Nira jatuh cinta pada pandangan pertama. Rumi adalah Pria pertama yang menghadirkan geleyar aneh dalam tubuhnya.
Rumi adalah Pria yang pertama membuat perutnya terasa mulas saat berdekatan dengannya.
Rasanya ingin menjerit keras meluapkan rasa senangnya yang sedang benar-benar menggunung dalam dadanya.

Saking senangnya, Nira tak menyadari sedari tadi ada Rumi di sisinya. Pandangan Nira hanya fokus melihat keduanya.

"Kamu mau denger jangan di sini, mending langsung saja duduk di sana." Nira terlonjak kaget, dadanya pun bertambah berdebar tidak karuan.
Nira menelan ludahnya susah payah, menoleh ke samping tersenyum paksa menampilkan deretan gigi putih rapihnya.

"Abang sudah selesai pakai bajunya?" tanya Nira Kaku.

Rumi mengangguk, mata tajamnya mengawasi dua orang wanita paruh baya yang sedang berbincang hangat.

"Kamu nguping?" tanya Rumi penuh selidik.

Nira menggelengkan kepala pelan, "Iya, eh nggak." Alis Rumi terangkat sebelah mendengar jawaban Nira gugup.
"Maksudnya, Aku nggak nguping. Aku cuman..," Nira memutar bola matanya berpikir sejenak.

"Cuman mendengarkan," sanggah Rumi disertai senyuman manisnya.
Nira terpana, mengerjapkan matanya pelan. Oh Tuhan, Nira baru sadar jika Rumi memang tiada duanya.

Rumi mendengus, meraih jemari Nira kemudian melangkah menuju kedua wanita paruh baya yang sedang bercengkrama di sana.

***

"Bagaimana sayang?" Tanya Mama Rumi harap-harap cemas melihat ekspresi Rumi saat membicarakan perihal niat menjodohkan mereka.

Rumi tersenyum tipis, "Kenapa Mama mau jodohin Kita?" Balas Rumi pelan.

Nira meremas ujung dressnya, merasa was-was akan jawaban Rumi. Saat dimintai persetejuan, Nira tidak menolak dua kali. Dia langsung setuju, tanpa memikirkan hal apapun.
Bersama dengan orang yang dicintai, sangat indah bukan?

"Mama mau hubungan keluarga Kita makin erat dengan Kamu nantinya menikah dengan Nira."

Rumi melirik Nira dari ekor matanya. Rumi menghela napas panjang menyandarkan punggungnya di sandaran kursi santai.

"Nira baru masuk kuliah," lagi, Rumi menghela napas panjang.
"Kalaupun aku setuju, Kita nggak akan nikah dalam waktu dekat ini. Iya kan, Nira?" Rumi menoleh ke arah Nira meminta persetujuan dari Nira. Nira hanya menganggukan kepalanya mengiyakan.

"Kalian kan bisa tunangan dulu, nanti setelah lulus baru deh kalian nikah. Kamu lulus kapan, Nir?" Mama Rumi menoleh ke arah Nira.

Nira mendongak menatap keduanya. "Aku lulus sekitar tiga tahunan lagi, Ma." iya, keluarga mereka sudah tidak ada canggung lagi. Faiz dan Nira sudah masuk bagian keluarga Rumi, begitupun sebaliknya Rumi juga sama.

"Tapi kita nggak maksa kalian kok," sela Mama Nira menatap Keduanya bergantian.

Rumi dan Nira saling melempar pandangan. Tidak memaksa secara langsung, tapi memaksanya secara tidak langsung.

"Mama sudah membicarakan semua ini sama Papa?" Giliran Rumi menatap kedua Mamanya bergantian.

Keduanya mengangguk semangat, memang sudah wacananya. Perjanjian konyol, tadinya dulu ketika mereka hamil anak pertama, mereka berjanji jika keduanya berbeda jenis kelamin, mereka akan menjodohkannya. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, mereka terlahir sama-sama lelaki.
Dan luar biasanya, Mama Nira kembali mengandung setelah sekian lama. Ternyata bayi perempuan yang lahir. Saat itu mereka mulai membicarakan semua tentang perjodohan yang sempat mereka kubur dulu.

"Ya sudah, tunggu Nira lulus dulu. Baru kita bicarakan ini lagi nanti," sahut Rumi enteng.

Kedua Mama itu tersenyum lebar, sementara Nira merunduk menyembunyikan senyumannya atas rasa bahagianya.

"Jadi, kalian bertunangan dulu ya?" Kompak keduanya bertanya.

Rumi hanya mengangguk kemudian beranjak dari duduknya berlalu meninggalkan ketiga perempuan yang masih duduk di sana.

Hati Terpilih (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang