Tujuh

6K 737 23
                                    

Aku berdiri di depan rumah, bersidekap menunggu pintu rumah Janira terbuka.
Astaga ... Dua jam aku berdiri di sini, dan pintu itu tak kunjung dibuka.

"Nunggu apa sih Mi?" Suara Mama membuatku terperenjat kaget. Aku menoleh menatap Mama putus asa.

"Janira, Ma. Demi Tuhan, Ma. Rumi tidak tahu kalau perasaan Janira sama Rumi itu beneran cinta," ucapku mendesah gusar.

Mama geleng-geleng kepala menatapku dengan tatapan mengejek. "Kenapa? Nyesel kamu?" Sungut Mama sepertinya puas melihat keresahanku.

"Bukan gitu, Ma ...," elakku cepat. "Tapi, Rumi tidak enak saja sama Janira. Kasihan kan, Rumi jadi nyakitin anak orang."

Mama berdecih pelan, menatapku sinis. "Mama sudah lebih dari tiga kali ngomong ini sama kamu, Rumi. Kamunya saja yang dodol ketutup sama lobangnya wanita binal itu."

Astaga ... Lubang apalagi maksudnya ini. "Namanya Amira, Ma. Dia juga tidak seburuk yang Mama kira," balasku sedikit kesal.

Mama itu selalu saja seperti ini.
Amira wanita baik, dan aku sudah terpesona pada Amira sejak pertama kali melihatnya.
Dia bependidikan tinggi, anggun, lembut, sangat pengertian dan juga perhatian. Berbanding terbalik dengan Janira, yang sudah aku kenal sejak bayi.
Janira dari kecil sampai sekarang
Bersikap bar-bar, cerewet, manja, dan juga tidak mau kalah.

Mama memajukan jari telunjuknya ke depan wajahku. "Heh! Mama itu lebih dulu hidup sebelum kamu," sungut Mama dengan nada bicara sedikit tinggi. "Ah andai ... Mama punya anak laki-laki satu aja lagi, dijodohin deh sama Nira."

"Ma," sela ku sedikit geram.

Suara klakson mobil menghentikan perdebatan kami. Kami sama-sama menoleh ke arah jalanan. Aku melihat seorang Pria turun dari mobil, dan tidak lama dari itu, pintu rumah Janira terbuka.

Siapa Pria itu? Kenapa wajah Janira terlihat biasa saja, berbanding terbalik dengan malam tadi yang menatapku penuh luka.

Janira tersenyum lebar menyambut Pria itu. Oh kenapa aku tidak terima melihat Janira tersenyum seperti itu.

"Widih ... Siapa itu cowok, kok gantengnya bisa setara sama anak Mama sih," ucap Mama sambil berdecak kagum.

"Tidak ada yang bisa ngalahin kegantengan Rumi lah, Ma," sergahku tak terima.

Tapi ucapanku dianggap angin lalu oleh Mama, Mama malah semakin memuji Pria itu.

"Eh Mama salah, ternyata gantengan dia daripada anak Mama. Aish ... Cocok deh sama Janira."

Apa-apaan itu, siapa yang cocok dengan siapa, Oh Mama benar-benar!

Setelahnya, Aku mendengar Mama berdecak kembali kemudian aku lihat Mama tersenyum lebar.

"Tidak apa-apa deh Janira sama Cowok itu. Kelihatannya juga baik, ah ... Syukur juga deh tidak jadi sama kamu, jadi Mama tidak harus nanggung malu karena kelakuan kamu!" Sentak Mama sebelum akhirnya meninggalkan aku yang tercengang mendengar pernyataan Mama.

Bikin malu? Bikin malu di mananya? Aku pintar, baik hati, hormat pada orangtua, terlebih lagi bisa menahan godaan setan yang terkutuk, ya ... Meskipun hanya sedikit.

Mataku kembali menatap ke sebrang, sial! Mereka sudah masuk ke dalam. Berduaan!? Oh jangan! Spontan kaki-ku langsung menuntunku untuk mendatangi rumah Janira.
Langkahku terasa ringan, aku terus berjalan mendekati rumah Janira. Sampai di depan pintu rumahnya, dengan keberanian yang menggunung di hati, aku membuka pintu rumah Janira yang untungnya tidak kunci.

Terdengar tawa riang Janira, kemudian suara lembut Janira.
Dadaku bergemuruh, apa-apaan Janira bisa seenaknya tertawa bersama Pria lain.

Di ruang tamu, Janira duduk bersebrangan dengan Pria itu.
Mata kami sempat beradu, tapi Janira segera mengalihkan tatapannya dariku. Kenapa rasanya hatiku berdenyut sakit?

"Eh, Bang Rumi," sapa Janira yang terdengar datar dan seperti enggan melihatku.

Aku melangkah mendekati Janira. "Nira, sepertinya kita harus bicara--"

"Ah iya, Mas Arvino, kenalkan ini Bang Rumi sahabatnya Abang aku, Bang Faiz."

Mas Arvino? Dahiku mengerut, melirik Pria yang duduk dengan gaya yang menurutku terkesan kuno. Ah, aku mengerti, Janira sedang berusaha mengabaikan aku, tapi lihat saja. Dia tidak bisa lama-lama mendiamiku.

Pria itu bangkit dari duduknya, dia mengulurkan tangannya padaku. Mau tidak mau aku berbalik membalas uluran tangannya. Raut wajah kami sama-sama terlihat datar, dia juga sepertinya enggan bersalaman denganku.

"Vino,"

"Rumi," balasku malas.

Tidak lama dia duduk kembali dan aku masih berdiri seperti orang bodoh. "Nira, kita harus bicara, ada yang mau abang omongin--"

"Mas, Mas suka kue? Aku bikin kue tadi malam."

Aku diacuhkan? Yang benar saja!

"Nira ...," geramku pelan.

Janira menoleh melihatku sekilas. "Abang boleh duduk, atau abang mau main PS juga boleh," ujarnya dingin.

Aku terpaku karena nada bicara Janira yang terkesan dingin padaku. Sebegitu salahkah diriku?

"Nira, abang tidak ada niat main PS atau apalah itu, Abang mau bahas yang semalam--"

"Aku sudah lupain semuanya Abang, tidak usah diinget lagi."

Sialan! Aku sangat terusik dengan sikap Janira padaku kali ini. Seumur aku mengenal Janira, tak pernah aku melihat Janira seperti ini.

Hati Terpilih (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang