Aku berusaha menelan semua rasa pahit akibat berakhirnya cinta sepihakku. Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin agar tak ada yang tahu bagaimana hancurnya Aku saat ini.
"Kenapa kamu, dek?" Bang Faiz mengejutkanku, membuyarkan ratapan pilu hatiku.
"Aku tidak apa-apa Bang," sahutku memaksakan diri untuk tersenyum.
Bang Faiz duduk di sisiku, terdengar menghela napas panjang. "Apa Rumi sudah mengatakan semuanya?" Tanya Bang Faiz pelan nyaris berbisik.
Aku menatap Bang Faiz, tak bisa lagi ku hentikan laju air mataku. Aku memeluk Bang Faiz menyandarkan kepalaku di dadanya. Menangis tersedu meluapkan semua kesakitanku.
"Sudah Dek, sebenarnya Rumi mau mengatakannya sejak lama. Tapi dia nggak tega, karena dulu kan kamu lagi sibuk ngurusin kuliah sama skripsi," Katanya. Jadi Bang Faiz juga tahu tentang itu? Kenapa Bang Faiz tega banget sama Aku sampai bungkam terus mengabaikan bagaimana ketergantungannya Aku pada Bang Rumi.
"Abang tega! Abang tahu tapi Abang tidak ngasih tahu Aku. Tega banget sih Bang!" Hardikku semakin meraung mencengkram pinggang Bang Faiz kuat.
"Bukan gitu Dek, Abang ..."
Aku melepaskan pelukanku segera berdiri menatap sengit pada Bang Faiz. "Abang jahat! Abang tega!" Setelah mengatakan itu Aku berlari meninggalkan Bang Faiz yang mungkim termangu. Katakan Aku seperti anak kecil, karena menahan sakit dengan sikap dewasa itu malah bertambah sakit.
Ketika Aku berlari, langkahku terhenti karena seruan dari ruang tamu. Aku segera mengusap mataku, lalu turun ke pipi. Aku berusaha memperbaiki wajahku yang sembab karena menangis barusan, meski itu tidak mungkin.
Melangkah pelan menuju ruang tamu. Langkahku terhenti, Aku melihat Bang Rumi menundukan kepalanya. Ohiya, mungkin Bang Rumi mau mengatakan semua kebenarannya.
"Duduk sini sayang," titah Mama yang Aku angguki.
Aku sengaja duduk di kursi yang tidak berhadapan dengan Bang Rumi, karena itu hanya akan menyakitkan Aku.
Ada Papa, Mama dan Bang Rumi.
Kayak berasa sedang disidang Aku."Bang Rumi sudah bicara sama Papa, Mama?" Tanyaku sumbang tak berani menatap Bang Rumi.
Bang Rumi mendongak menatapku sendu, tolong hentikan! Jangan menatapku seperti itu! Jerit batinku melonglong.
"Iya, Rumi sudah mengatakan semuanya. Mama pikir kalian bakalan langgeng sampai nanti pernikahan. Tapi... Ya sudahlah, orang sudah tidak ada kecocokan masa mau dipaksakan," tutur Papa dengan nada bicara penuh wibawa.
Aku menganggukan kepalaku.
"Iya Pa, lagian Aku juga sudah sepakat dengan Bang Rumi tentang pembatalan ini. Iya kan Bang?" Mataku beralih menatap Bang Rumi yang sedari tadi diam menatapku dengan tatapan yang tidak Aku mengerti.Bang Rumi menganggukan kepalanya tanpa nengalihkan tatapannya dariku.
"Jadi ya, Kami tidak ada masalah apapun. Semuanya baik-baik saja," tukasku berusaha ceria.
Kau berbohong lagi Janira..
Kau berbohong dengan dirimu, dan semua orang bisa melihat Kau tidak baik-baik saja! Batinku mengejek."Ma, Aku lupa harus periksa hasil tugas anak-anak sekolah. Jadi, Aku tinggal tidak apa-apa kan?" Izinku menatap Mama memohon. Hanya Mama yang bisa mengerti arti tatapanku.
Mama menganggukan kepalanya, sekilas Aku tersenyum pada Bang Rumi kemudian pergi dari ruangan yang terasa semakin pengap bagiku.Iya, Aku bekerja sebagai guru honorer di beberapa sekolah. Sekolah Dasar, dan sekolah menengah pertama. Itu Aku lakukan untuk mengisi waktu luangku setelah lulus tahun lalu. Sambil menunggu pengumuman dari universitas di Inggris untuk melanjutkan S2.
Tidak terlintas dalam pikiranku untuk meneruskan perusahaan Papa seperti Bang Faiz. Cukup Bang Faiz saja yang meneruskan, Aku tidak kuat.
Bang Rumi pun sama, dia meneruskan perusahaan Papa Ardian, hanya saja Bang Rumi memulainya dari bawah sampai sekarang jadi seorang Direktur.
Bang Rumi memang seorang pekerja keras. Ah tidak! Kenapa Aku memikirkan Bang Rumi lagi!Untuk menghilangkan pemikiran itu, Aku menghentakkan kaki-ku keras-keras. Ya Tuhan.. Kenapa rasa sakit di dadaku tidak mau menghilang juga!
Lupakan Janira! Lupakan!
Aku harus melupakan cintaku pada Bang Rumi, iya, Aku harus berusaha. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, kan?
Jadi, kenapa Aku harus putus asa sebelum Aku mencoba untuk move on? Come on Nira! Bukan Kamu tidak bisa mencintai Pria lain, Kamu hanya terlalu menutup hatimu dulu. Ayo Nira Ayo... Batinku berteriak gemas.Baiklah, Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
Mengulang seperti itu terus, dan akhirnya bibirku bisa tersenyum. Saat itu juga Aku berteriak. "SEMANGAT UNTUK MOVE ON...!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih (Tamat)
Short StoryAku mencintainya, dia cinta pertamaku bahkan bisa jadi dia pula cinta terakhirku. Tak bisakah dirinya melihat cintaku yang besar untuknya? Aku memang hanya seorang bocah baginya, tapi, Apakah seorang bocah ini tak layak untuk dicintai? Apakah Aku ta...