Sudah tersedia versi eBooknya, ya...
Jika aku tak bisa memiliki, kenapa hatiku harus jatuh memilih Bang Rumi. Tuhan ... Jika menghapus cinta semudah menghapus spidol di papan tulis, aku siap jatuh cinta ribuan kali dan aku juga siap tak berbalas ribuan kali. Tapi sayangnya, cinta sulit untuk di hapuskan.
Aku merenung di dekat jendela, menatap keluar langit yang sudah berganti gelap. Tidak ada bintang, yang ada hanya gelap, sama seperti hatiku.
Terdengar pintu dibuka, aku tak mau menoleh. Biarkan saja, sebenarnya aku tidak mau diganggu, tapi bagaimana lagi, ini rumah orang lain bukan rumahku.
"Mau hantu masuk ke dalam?" Ah, suara Bang Rumi lagi.
"Hantu tidak akan mau masuk ke sini," sahutku masih dalam posisi semula.
"Kenapa hantu tidak mau masuk ke sini?" Suara Bang Rumi semakin dekat di telingaku.
Aku berbalik menatap datar Bang Rumi. "Karena di sini ada raja dari segala hantu," jawabku datar. Bang Rumi seperti keheranan, terlihat dari kerutan di dahinya. Aku mendengus menatap malas pada Bang Rumi.
"Iya, raja dari segala hantu itu kan Iblis. Dan iblisnya itu Abang," ucapku masih santai.
Aku melihat Bang Rumi terbelalak menatapku tak percaya. "Kamu ngatain Abang Iblis?" Serunya keras.
"Iya, Abang kan Iblis," ulangku masih bernada datar.
"Janira ...," geramnya menatapku dingin.
Nah, Bang Rumi masuk dalam mood emosi. Aku akan menciptakan masalah supaya Bang Rumi tidak seenaknya padaku.
Aku beranjak dari dudukku, bersidekap menatap Bang Rumi datar. "Kenapa Abang?"
"Kamu kenapa ngatain Abang iblis?" Nada bicaranya pelan, tapi aku yakin, dia sedang menekan emosinya dalam-dalam.
Perlahan aku menarik napasku, kemudian menghembuskannya pelan. Menatap Bang Rumi menantang. "Abang memang iblis, Abang ngekhianatin aku selama lima tahun ke belakang. Terus Abang seenaknya mengatakan itu padaku tanpa berpikir bagaimana perasaanku jika aku mendengarnya. Sakit Abang!" Bentakku keras.
Kesabaranku yang tipis, semakin menipis setelah mendengar pernyataan Bang Rumi yang begitu dalamnya mengatakan bahwa dia sangat mencintai wanitanya.
"Nira ..." Aku melihat Bang Rumi menatapku penuh rasa bersalah.
"Aku coba buat terima kenyataan. Menjalin kembali hubungan kita seperti dulu. Tapi dengan sikapku seperti itu, Abang sedikit pun tidak ada rasa bersalah. Abang menganggap perasaanku sebagai angin lalu. Abang tega! Abang jahat!" Hardikku meluapkan emosi yang bersarang dalam dadaku.
Air mataku sudah mulai mengalir, aku tidak perduli di katakan cengeng, yang aku inginkan sekarang adalah mencaci maki Pria di hadapanku ini.
"Dan dengan teganya Abang bercumbu mesra dengan wanita yang Abang cintai di depan rumah Abang, tanpa Abang berpikir bagaimana perasaanku jika aku melihat itu! Abang egois! Abang bajingan! Berengsek!" Nah keluar sudah cacianku.
"Aku manusia biasa Abang, aku juga punya batas kesabaran. Aku nggak bisa munafik, aku mencintai Abang, dan cinta itu sangat lekat di hatiku. Aku juga sangat berharap jika perasaanku akan berbalas, tapi nyatanya ...," tubuhku bergetar, kakiku terasa lemas. Bukannya reda rasa sakitku, tapi malah semakin terasa sakit.
"Abang sangat mencintai wanita itu, apa karena dia bisa memberikan kepuasan batin pada Abang?" Aku melihat Bang Rumi yang hanya diam membisu menatapku dengan tatapan entah apa artinya.
Aku melangkah mendekati Bang Rumi, mengalungkan lenganku di lehernya. Sangat tipis jarak diantara wajah kami. Aku menatap Bang Rumi terluka.
"Jika menjadi seorang wanita murahan bisa membuat Abang membalas perasaanku, aku rela menjadi wanita murahan," bisikku lirih di depan wajah Bang Rumi.
Bisa aku lihat wajah Bang Rumi menunjukan keterkejutan atas perkataanku. Dia melepaskan lenganku di lehernya. Dia menatapku marah.
"Apa yang kamu katakan itu Janira! Kamu sudah gila, hah!" Bentaknya di depan wajahku.
Aku menatap menantang Bang Rumi. "Iya! Aku sudah gila karena perasaanku selalu diabaikan oleh Abang! Aku kehilangan akal warasku saat melihat Abang berciuman dengan wanita itu! Aku membencimu Abang! Sangat membencimu!" Aku mendorong tubuh Bang Rumi, kemudian berjalan cepat keluar dari kamar.
"Janira ..." Suara Mama Elia menghentikan langkahku. Aku menatap Mama Elia pilu, tanpa banyak bicara aku kembali berjalan berlalu meninggalkan Mama Elia menuju pintu keluar rumah.
Mama Elia pasti mendengar pertengkaranku dengan Bang Rumi. Dan aku tidak perduli dengan itu. Berjauhan lebih baik, dari pada aku harus pura-pura baik-baik saja, padahal hatiku amat terluka.
***
Semalaman aku menangis, meraung, menyumpah serapahi Bang Rumi. Ponselku berbunyi berkali-kali, tapi aku mengabaikannya. Dan pagi ini mataku sembab karena malam tadi. Berkali-kali aku berusaha menekan rasa sakitku, tapi berkali-kali juga rasa sakit itu kembali muncul ke permukaan.
Bang Rumi memang keterlaluan.Ponselku kembali berdering, dengan malas aku meraih ponselku melihat siapa yang menelponku.
Bang Rumi calling ...
Reject, aku menutup telepon Bang Rumi. Aku tidak mau lagi berurusan dengannya. Rumi sialan! Bajingan! Berengsek!
Lagi, ponselku berdering. Aku memilih mengabaikannya, setelah tak lagi berbunyi, aku mematikan ponselku. Masih ada telepon rumah, kalau Mama mau telepon, pikir batinku.
Pusing dan juga pedih di mata membuatku memilih kembali tidur, hari libur ini.
***
Sejak malam tadi Rumi tidak bisa tidur. Ucapan Nira semalam menghantuinya. Nira mencintainya? Dan dia menganggap cinta Nira angin lalu? Bagaimana bisa Janira mengatakan itu, padahal dirinya saja tidak tahu Janira mencintainya. Rumi pikir, Nira hanya menganggapnya seperti Kakaknya. Dan Rumi pikir jika Nira dulu hanya mengaguminya, Bukan mencintainya.
Bagaimana bisa dia tidak sepeka ini, jadi benar apa yang dikatakan Mamanya tentang Janira yang mencintainya?
Astaga ... Dia tidak bisa membayangkan bagaimana terlukanya Janira saat itu.
"Argh!!!" Teriak Rumi frustasi.
Janira juga tidak menjawab teleponnya dari malam. Janira malah memutuskan teleponnya.
Bagaimana caranya agar dia bisa menjelaskan pada Janira, bahwa dia tidak tahu menahu tentang Cinta Janira padanya.Ya Tuhan ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih (Tamat)
Short StoryAku mencintainya, dia cinta pertamaku bahkan bisa jadi dia pula cinta terakhirku. Tak bisakah dirinya melihat cintaku yang besar untuknya? Aku memang hanya seorang bocah baginya, tapi, Apakah seorang bocah ini tak layak untuk dicintai? Apakah Aku ta...