Tiga

5.7K 714 11
                                    

Pagi menjelang, cucian pakaian sudah selesai dan sudah aku jemur. Aku kembali memeriksa beberapa lembar tugas anak-anak juga sudah. Aku melirik jam di tanganku yang baru menunjukan pukul enam pagi.

Ada waktu satu jam setengah lagi, itu artinya aku bisa menyiapkan sarapan terlebih dahulu. Membuat nasi goreng tidak terlalu buruk, dan juga roti bakar selai manis.

Aku segera turun ke lantai dasar, bersenandung pelan. Langkahku terhenti saat melihat Mama juga menuju arah dapur. Hem, sepertinya aku keduluan Mama.

Beginilah rutinitasku setiap pagi, mencuci baju, membuat sarapan,
Lalu menyiapkan keperluanku untuk dibawa ke sekolah.
Seperti itulah Mama mendidikku, keluargaku memang berkecukupan, tapi Mama tetap mengajariku tentang kewajiban seorang wanita.

Dengan langkah mengendap-ngendap aku memeluk Mama dari belakang. "Pagi, Ma ...," sapaku senang. Aku melihat Mama terperenjat mendengus sebal, memukul lenganku yang melingkar di pinggangnya.

Aku tersenyum menatap Mama dari samping, Aku memang lebih tinggi daripada Mama. Mama hanya sebatas bahuku saja.

"Kamu ngejutin Mama saja, Nir," sahut Mama kesal sambil geleng-geleng kepala.

Aku terkikik pelan. "Aku pikir Mama belum bangun," kataku mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa pula Mama bisa belum bangun?" Tanya Mama keheranan. Namun, sedetik kemudian Mama mencubit lenganku keras sukses membuatku mengaduh kesakitan. Serius, tidak ada cubitan maut, semaut cubitan Mama.  "Anak gadis pikirannya sudah kotor!" Hardik Mama melihat wajah kesakitanku.

Aku segera menjauh mengusap pelan lenganku yang dicubit, aku melihatnya dan itu meninggalkan bekas merah kebiruan. "Sakit, Ma ...," keluhku merengek.

"Habisnya kamu sih," balas Mama tak acuh.

Aku meringis, "Apa aku salah? Aku kan bukan anak gadis lagi Ma ... Aku sudah dewasa, guru biologi pula, wajar lah kalau aku tahu hal 'dewasa'," elakku tak mau kalah.

Memang benar kan, aku seorang guru biologi yang harus tahu bagaimana proses pembuahan terjadi, baik pada hewan, tumbuhan, apalagi manusia.
Dan sejauh yang aku ingat, murid-muridku lebih senang jika materi sudah masuk pada pembahasan sistem reproduksi manusia.

"Ya tetap saja, belum waktunya," sanggah Mama kukuh.

Belum waktunya bagaimana, dua tahun lalu pertama kali pendengaranku ternoda. Aku mendengar langsung desahan demi desahan dari kamar bang Faiz. Bang Faiz memang sudah menikah dua tahun lalu, dan setiap malam tertentu telingaku akan berdenging mendengar erangan istrinya dan Bang Faiz. Kamar bang Faiz dan kamarku memang berdampingan, kamar kami satu tembok. Dan itu yang membuatku merana jika sudah mendengarnya.

Aku mendengus memutar bola mataku malas. "Ya sudah, Mama tinggalkan saja pekerjaan Mama ini, biar aku yang melanjutkannya. Mama urus Papa, kasihan Papa pasti butuh bantuan Mama," kataku mengambil alih pekerjaan Mama.

"Nira ...," gumam Mama pelan dengan nada penuh peringatan.

Aku menoleh tersenyum manis. "Mama terlalu so'udzon sama aku. Aku memang tadi mau masak, tapi keduluan Mama. Sudah, aku mau masak, Mama tinggal duduk manis nunggu masakannya jadi, ya," bujukku tersenyum manis.

Mama menyerah, Mama berbalik kemudian berlalu dari dapur.
Aku mulai bersenandung kembali, menyambut pagi seceria mungkin. Satu minggu perpisahanku dengan Bang Rumi sudah cukup membuatku GeGaNa. Dan selama itu pula, aku tak melihat batang hidung mancung Bang Rumi.

Setengah jam berkutat di dapur, semuanya sudah selesai. Aku menyiapkan menu sarapan ke meja makan dengan riang.

"Wah udah move on kamu dek," ejek Bang Faiz setelah duduk di kursi tempatnya biasa duduk.

"Wah Nir, Mbak jadi nggak enak keduluan kamu," susul Mbak Ayu kakak iparku ikut duduk di kursi samping Bang Faiz.

Aku menghela napas lega, kemudian tersenyum manis menatap keduanya. "Tidak apa-apa Mbak, aku maklum kok. Kan kalian pengantin baru," ejekku membalas Bang Faiz.

Bang Faiz menatapku tajam, "Ah elah, yang tidak jadi pengantin sirik aja."

Aku mendengus. "Tidak masalah Mbak, kebetulan saja aku bangun kepagian," ucapku lagi mengabaikan ejekan Bang Faiz.

Mbak Ayu mengangguk mengerti, tidak lama kemudian Papa dan Mama datang bersamaan. "Pagi sayang," sapa Papa mengecup puncak kepalaku.

"Pagi Pa," balasku kemudian ikut duduk di samping Mama.
Sarapan di mulai, semuanya hening. Hanya dentingan alat makan yang terdengar.

"Iz, Mama jarang lihat Rumi setelah pembatalan pertunangan Rumi dan Nira." Pertanyaan Mama membuatku menoleh menatap Mama nanar.
Memang benar, Bang Rumi hilang bak ditelan bumi setelah kejadian itu.

"Ah itu, Rumi ada urusan bisnis. Dia ke Singapore satu minggu ini," sahut Bang Faiz santai.

Oh ke luar Negeri, aku pikir Bang Rumi sengaja menjauhiku.

"Hah ... Mama padahal sudah lama mengidamkan pernikahan Rumi dan Nira. Tapi ya mau bagaimana lagi, bukan jodohnya kali, ya, Pa." Terdengar nada kecewa di sana.

Aku menghela napas pelan, menutup sendok yang artinya aku sudah selesai. "Aku sudah selesai," sergahku memutus pembicaraan mereka. Tak ingin mendengar lebih jauh lagi.

Tanpa jawaban, Aku melangkah mundur kemudian berbalik menuju tangga, naik ke kamar.

Mengingat semuanya, rasanya luka ini kembali terbuka.

***

"Ma, Nira berangkat," seruku keras sambil membuka pintu rumah. Kesiangan, bagaimana bisa aku melamun satu jam lebih. Astaga .... Kau memang benar-benar Janira.

Langkahku terhenti, menatap sebrang rumah di sana.
Mataku berkaca-kaca, aku menatap nanar pasangan yang sedang bercumbu mesra.

"Bang Rumi," gumamku pelan.

Dia di Singapore, tapi kenapa dia bisa di depan rumah itu. Apa sudah pulang? Atau ada yang tertinggal.

Hei! Sadarlah Janira, tentu saja Rumi membutuhkan wanita yang seumur dengannya.
Rumi pasti tidak mau denganmu karena kau banyak membatasi diri. Hardik batin dan juga otakku.

Aku mengusap kasar pipiku yang basah karena air mata. Melangkah dengan penuh amarah menuju mobil.
Aku masuk ke dalam mobil, menutup pintu mobil sekeras mungkin hingga menimbulkan debuman keras yang aku yakini bisa menyentak orang-orang di sekitarku.

Aku melihat dari kaca spion mereka menghentikan ciuman laknat mereka. Tanganku mencengkram stir mobil kuat, "Dasar tidak tahu tempat! Tidak punya malu! Sialan!" umpatku keras.

Masa bodo, peduli setan dengan mereka. Sekarang, aku butuh es balok besar untuk menghentikan api yang menyala besar di hatiku.

Hati Terpilih (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang