Satu

6.1K 747 10
                                    

"Abang mau bicara sama orangtua kita tentang pembatalan pertunangan Kita ini."

Mataku mengerjap pelan menyerap apa yang dikatakan Bang Rumi barusan.
Dia berkata apa? Dia mau membatalkan pertunangan yang sudah berjalan selama empat tahun ini? Selama itu dan dia mau membatalkannya dalam sekejap mata?

"Abang bicara apa? Aku kurang mengerti," ungkapku pelan hampir berbisik.

Bukannya selama ini Kami baik-baik saja? Lalu kenapa tiba-tiba Bang Rumi mau membatalkannya?

"Nira, Abang harus jujur tentang ini." Dia menatapku lekat seakan ingin menyampaikan sesuatu hal yang teramat berat baginya.
"Abang sedang menjalin kasih dengan wanita pilihan Abang." Katanya mengalihkan tatapannya setelah mengatakan itu.

Aku terpekur beberapa saat, tersenyum getir. Sudah ku duga, perubahan Bang Rumi belakangan ini karena memang Bang Rumi telah memiliki tambatan hati sesuai yang ia inginkan.

"Sejak kapan?" Aku tersenyum berusaha menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mataku.

Ku lihat lagi Bang Rumi menarik napasnya. "Sejak lama. Sejak Abang masuk kerja," jawabnya terasa menikam ulu hatiku.
Jadi selama ini, dia ada main hati dengan wanita lain. Kembali lagi, Aku tersenyum, lebih tepatnya meringis.

"Maafkan Abang, Nira." Katanya lagi menatapku sendu.

Aku tersenyum lebar, "Kenapa Abang minta maaf?" Sahutku bersuara parau. "Abang tidak salah, yang salah Aku." Tak kuasa lagi Aku membiarkan bendungan air mata yang akhirnya tumpah. "Aku yang terlalu berharap akan hubungan kita ke depannya. Aku pula yang terlalu memaksakan kehendak," tukasku disela linangan air mata.

Aku melihat Bang Rumi bergerak hendak meraih tanganku. Namun segera aku menghindari dari sentuhannya. Tidak, bagaimanapun Aku merasa dikhianati. Kalau tidak mau kenapa bukan dari dulu mengatakan itu?

Bang Rumi bekerja lebih dari lima tahun, dan itu artinya hubungan mereka sudah berjalan lima tahun pula.
Selama lima tahun itu, Aku terus berharap agar hati Bang Rumi luluh padaku, lalu berbalik mencintaiku. Namun ternyata Aku salah, Bang Rumi mana bisa mencintaiku sementara hatinya sudah terisi oleh wanita yang ia cintai. Miris sekali hidupmu ini Janira, batinku mengejek.

"Nira...," lirihnya memanggilku.

Aku mengusap air mataku tanpa melunturkan senyumanku.
"Tidak masalah Abang, Aku bisa menerimanya. Asal wanita yang Abang cintai bisa membuat Abang bahagia, Nira pun pasti ikut bahagia." berbohong kau Nira...

"Dia sangat baik Nira, makanya Abang jatuh cinta padanya." Matanya menerawang ke depan terpancar binaran cinta di matanya.

Dadaku semakin berdenyut ngilu merasa pilu dengan pernyataannya. Apakah Bang Rumi memang tidak pernah bisa mencintaiku? Kenapa sesak sekali dadaku ini..
Tanganku meremas dada kiriku berharap rasa ngilu itu berkurang.

Hentikan Nira.. Kamu harus segera pergi dari hadapan Rumi. Kecuali Kamu ingin terluka lebih dalam lagi.

"Ah Bang, Aku akan membantu nanti di depan orangtua Kita. Abang pilih waktu yang tepat saja agar nanti Aku sedikit mempersiapkan diri mencari alasan."

"Tentu saja, Kamu memang yang terbaik Nira. Abang pikir, Abang akan melihatmu meraung menyumpah serapahi Abang. Tapi ternyata, Kamu malah mendukung Abang. Ah Abang sangat menyayangimu."
Sadarkah Bang Rumi jika perkataannya sebenarnya sama dengan menabur duri dalam hatiku.

Aku mendukungmu karena Aku mencintaimu Abang.
Kamu adalah cinta pertamaku, dan Kamu juga adalah pilihan hatiku. Tak ada ruang di hatiku untuk Pria manapun, ruang hatiku telah terpenuhi seluruhnya olehmu.

Aku tersenyum menelan ludahku susah payah. "Abang bisa mengandalkanku," ujarku bangga menutupi kesakitan hatiku. "Ah iya Bang, Aku baru ingat ada janji dengan teman-temanku. Aku harus segera pergi." Iya, Aku memang harus pergi menghindari semuanya.

"Abang anterin ya?" Bang Rumi menatapku tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Apa dia tidak melihat air mataku? Atau dia hanya pura-pura tidak melihatnya agar ada alasan untuk mengabaikannya.

Aku menggeleng keras, segera beranjak dari duduk ku.
"Nggak perlu Bang. Aku harus mampir juga ke beberapa tempat," tolakku secara halus.
Aku melangkah berhenti di sampingnya, sedikit merunduk kemudian mengecup pipinya.
Itu sudah kebiasaan kita berdua, antara Aku yang mengecupnya, atau dia yang mengecupku.

"Aku pergi dulu, Bang," pamitku kemudian berlalu meninggalkan tempat yang jadi saksi bisu patah hatinya seorang Janira.

Aku menyentuh dadaku yang masih berdenyut. Bang Rumi bagaikan serigala bagiku, dia mengintaiku, menerkamku, kemudian mencabik-cabik seluruh hatiku.

Bagus! Selamat bergalau ria Janira...

Hati Terpilih (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang