Bang Rumi sialan! Laki-laki modus! Dadaku bergemuruh mengingat ciuman panas mereka tadi di depan rumah bang Rumi.
Rumah kami memang saling bersebrangan, dan baru kali ini aku merasakan ke sialan karena rumah bersebrangan seperti itu.Aku terus berjalan tanpa menoleh kanan-kiri-belakang. Rasanya ingin sekali mencakar wajah Bang Rumi sambil meneriakinya, dan memakinya.
Sampai di koridor sekolah, langkahku terhenti mendengar sapaan dari suara serak basah.
"Selamat pagi, Bu."
Nah siapa yang menyapaku?
Aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang menyapaku.
Setelah melihat siapa orangnya, terpaksa aku harus tersenyum."Selamat pagi kembali, Pak," balasku ramah.
Arvino, guru muda yang kira-kira seumur dengan Bang Rumi dan Bang Faiz. Dia memang tampan, tapi ketampanannya tak cukup membuat hatiku bergetar.
Arvino melangkah mendekatiku, senyumannya juga menawan, tapi tetap saja tidak bisa membuat perutku mulas apalagi salah tingkah.
"Kita ke ruangan sama-sama?" Tawarnya menatapku lekat.
Aku tetap mempertahankan senyumanku. "Mari," balasku terpaksa.
Aku segera berjalan, dan Arvino menyamakan langkahnya, sehingga kami berjalan beriringan.
"Wah Pak Vino datang kepagian ya? Biasanya saya jarang melihat Bapak sepagi ini," ucapku mulai membuka suara.
Arvino guru muda dan juga guru paling disiplin. Dia selalu datang pas jam mengajar saja. Jarang sekali dia datang pagi, apalagi mengikuti upacara. Arvino guru Fisika yang terkenal dengan kekejamannya dalam hal tugas.
Arvino menoleh padaku, dia tersenyum tipis. "Apa itu sebuah sindiran, bu?" Balasnya menatapku lekat.
Hah ... "Tidak, Pak. Mana ada sindiran seperti itu," elakku cepat.
Dia terkekeh pelan. Mengejekku?
"Ya, saya datang pagi karena bukankah kepala sekolah akan mengadakan rapat semester?"Aku membulatkan bibirku, untung saja aku selalu datang pagi. Hanya hari ini terlambat tiga puluh menit, itu juga karena melamunkan hubunganku dengan Bang Rumi.
Ah Bang Rumi ...."Ah iya, saya lupa Pak," jawabku jujur. Memang benar aku lupa, pikiranku pagi ini melayang entah ke mana.
Percakapan mengalir begitu saja, sampai akhirnya kami tiba di ruang guru. Meja Arvino bersampingan dengan mejaku. Makanya aku bisa tahu seberapa kejamnya Arvino, bahkan Arvino tak segan-segan memberi hukuman berat pada siswa yang seenaknya di mata pelajarannya.
"Bu Nira tidak ada jadwal pelajaran di sekolah lain?" Tanyanya ketika kami sudah duduk di kursi kerja masing-masing.
Aku menoleh ke samping, menggeleng pelan. "Hari ini tidak ada, tapi senin nanti saya ngisi jadwal di SD Pandana dan siangnya ke SMP Mekar," jelasku membalas tatapan Avino.
Begitu setiap harinya Aku mengisi waktu luang. Kebetulan besok hari sabtu, hari di mana sekolah libur. Di sekolah dasar, Aku mengajar MIPA, dan di sekolah menengah pertama, aku mengajar Biologi. Itu memang cita-citaku, dan nanti jika aku jadi ke Inggris, aku berharap, bisa jadi dosen.
Dia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Padat sekali ya ...," gumamnya masih terdengar olehku. "Apa malam ini, Ibu tidak ada acara keluar?" Tanyanya tiba-tiba.
Hah? Kenap dia bertanya seperti itu segala? "Saya jarang keluar, Pak. Setiap malam saya selalu di rumah," jawabku sedikit heran.
Dahiku mengerut, "Tapi, kenapa Bapak menanyakan itu?"Dia mengulum senyum penuh arti menatapku. "Tidak ada, Bu. Saya hanya bertanya saja."
Lah, bertanya hal yang tidak berbobot. Ish, aku geleng-geleng kepala, kembali fokus pada pekerjaanku.
***
Suara riuh kesenangan terdengar ketika bel pulang berbunyi.
Siswa-siswi mulai berhamburan keluar kelas, dan begitupun dengan aku yang sedang merapihkan barang bawaanku. Seperti biasa, setumpuk tugas minggu lalu yang dikumpulkan hari ini."Mau saya bantu, Bu?"
Aku memutar bola mata malas, dia hanya basa-basi. "Tidak usah Pak, dikit lagi sampe kok," tolakku secara halus.
Kenapa aku merasa, Arvino sedang mendekatiku? Rasanya risih sekali. Astaga ... Aku masih trauma atas perpisahanku dengan Bang Rumi. Please ... Jangan modus Arvino.
Tiba-tiba tanganku terasa ringan, dan ternyata, Arvino mengambil alih tumpukan buku yang tadi aku bawa.
"Duh jadi tidak enak ngerepotin," ucapku sungkan.
Dia melirikku kemudian tersenyum samar. "Tidak apa-apa, Bu."
Ehm, kenapa dia berubah ya? Kemarin-kemarin dia biasa saja. Kami memang sering mengobrol, tapi tidak sampai begini. "Em ... Pak, Saya kok ngerasa ada yang aneh ya?"
Dia menoleh menghentikan langkahnya. "Iya, Saya ngelihat cincin pertunangan Ibu tidak ada di tangan Ibu. Jadi saya pikir ...," ucapannya terhenti seperti sedang menerka perasaanku.
Ah aku mengerti, aku bergeming tanpa ekspresi. Mengambil alih kembali tumpukan buku itu.
"Cukup sampai di sini Pak. Terimakasih." Dengan langkah seribu aku berjalan melewatinya, tanpa menoleh ke belakang lagi.Laki-laki dengan segala kemodusannya. Terkutuklah laki-laki tukang modus!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih (Tamat)
Short StoryAku mencintainya, dia cinta pertamaku bahkan bisa jadi dia pula cinta terakhirku. Tak bisakah dirinya melihat cintaku yang besar untuknya? Aku memang hanya seorang bocah baginya, tapi, Apakah seorang bocah ini tak layak untuk dicintai? Apakah Aku ta...