Lima

5.7K 705 11
                                    

Aku sampai di rumah sore hari, kenapa hari ini terkesan sangat menyebalkan ya? Huft .... Aku menghela napas panjang sebelum keluar dari mobil.

Saat sampai di depan pintu rumah, dahiku mengerut dalam melihat rumah yang sepi.

"Nira?"

Suara Mama Elia, Mamanya Bang Rumi. Aku berbalik menatap Mama Elia. "Mama sudah pulang dari Manado?" Tanyaku menghampiri Mama Elia.
Pasalnya Mama Elia sudah satu bulan di Manado, aku juga tidak tahu Mama Elia sudah tahu apa belum tentang kandasnya hubungan kami.

Mama Elia memelukku erat, dan aku balas memeluknya. Aku merasakan bahu Mama Elia bergetar, Mama Elia menangis?

"Mama?" Bisikku pelan.

Mama Elia tak kunjung melepasakan pelukannya, aku mendengar isakan Mama Elia.
Astaga ... Mama Elia menangis, tapi kenapa?

"Mama, menangis?" Dengan terpaksa aku melepaskan pelukannya menatap Mama Elia lekat. "Mama kenapa menangis? Mama tidak kuat ya saking rindunya sama Nira?" Godaku dengan nada bercanda.

"Sayang, Mama tahu kamu dan Rumi ...," ucapan Mama Elia tersendat. "Kamu dan Rumi ...,"

"Mama jangan menangis, kasihanilah aku ... Kalau Mama nagis nanti air matanya nyiksa aku sama Bang Rumi."

"Rumi memang kurang ajar, dia malah milih wanita binal itu daripada kamu."

Hah? Wanita binal?

"Mama ..., Mama kok gitu sih. Dia kan wanita yang bisa buat Bang Rumi bahagia."

"Mereka pikir Mama tidak tahu sepak terjang mereka di belakang Mama! Mereka, sudah buat Mama malu," ujar Mama mendesis kesal.

Iya juga sih, wanita itu sedikit liar. Bagaimana tidak, kalau wanita baik-baik, mana mau ciuman di depan umum. Memang sih ciuman di zaman sekarang itu hal yang lumrah, tapi di Negara ini kan masih menjadi hal yang tabu.
Di depan umum saja mereka berani, apalagi bila berduaan, bisa terjadi adegan lebih panas dari itu.

"Ah iya sayang, Mama sama Papa kamu pamit ke Surabaya tadi siang. Katanya telepon kamu tidak aktif. Faiz sama Ayu juga sedang pergi ke rumah orangtua Ayu, katanya ada yang sakit."

"Iya Ma, ponselku tidak aktif. Baterainya habis," sahutku cepat.

"Ya sudah, kamu nginap di rumah Mama ya ..."

Refleks aku menggeleng keras. "Makasih Ma, tapi aku--"

"Tidak ada penolakan Nira ... Kamu anak perawan. Tidak baik tinggal sendirian di rumah," sergah Mama cepat.

"Tapi Ma--"

"Nanti kalau ada apa-apa gimana? Tidak ya, pokoknya kamu menginap di rumah Mama."

Astaga ... Sulit sekali kalau sudah berdebat dengan Mama Elia.
Terpaksa, Aku menganggukan kepalaku mengiyakan.

"Mama duluan saja, aku masukin mobil dulu ke garasi."

Setelah mengatakan itu kami berpisah, Mama yang berjalan menuju rumahnya dan aku yang masuk kembali ke dalam mobil.

***

"Enaknya masak apa ya, Nir?"

"Masak yang ringan saja lah Ma, kebetulan tadi sebelum pulang aku mampir makan bakso dulu," sahutku duduk di kursi makan.

Beginilah aku pada Mama Elia, Mama Elia sudah seperti Mamaku sendiri. Tidak ada rasa canggung atau apalah itu yang bisa membatasi kedekatan kami.
Bahkan, Mama Elia juga tahu kalau aku mencintai Bang Rumi.

"Ah iya Ma, Papa ke mana? Bukannya Mama pergi sama Papa?" Tanyaku baru sadar tidak melihat Papa Razi tadi.

"Papa dari Manado langsung ke Bandung, ada masalah di kantor cabang yang harus diurus. Mungkin sampai dua hari."

Aku mengangguk-anggukan kepalaku paham. Bertopang dagu memperhatikan Mama Elia yang sedang memasak. Jarak dapur dan meja makan tidak jauh, hanya terbatas oleh dinding setengah badan. Jadi aku bisa melihat Mama Elia dari meja makan.

Cup

Siapa yang mengecup pipiku? Aku mengendus mencium bau aroma yang sangat tidak asing bagiku. Perlahan aku melirik ke samping, benar saja. Ada Bang Rumi yang berdiri menjulang tinggi di sampingku.

Berusaha mengabaikan debaran di dadaku. Aku menahan napas untuk beberapa detik, rasanya sesak kembali merayapi. Ya Tuhan ....

Lagi, tangan Bang Rumi mengusap puncak kepalaku.
"Masih mau cuekin Abang?" Suara beratnya terpaksa membuatku menoleh padanya.

Aku tersenyum tipis menatap Bang Rumi yang menatapku lekat. Manik abunya membiusku, menarikku untuk menyelam lebih dalam lagi.

"Hai Abang," sapaku kaku.

Cup

Dia mengecup pipiku yang sebelah. "Abang berdiri sedaritadi di sini, Sayang ..."

Deg

Please .... Bang Rumi, jangan membuatku semakin tak bisa bangkit darimu, batinku menangis.

"Hem ... Aku terlalu sibuk ngelihatin Mama yang lagi masak," sahutku mengalihkan tatapanku ke arah dapur.

"Ah, mungkin tubuh Mama lebih indah daripada Abang sepertinya."

Mama ...! Bantu aku ...
Tidak sadarkah dirimu Abang, dirimu sudah menyakiti hati dan jiwaku. Ah aku akan menangis sebentar lagi.

Aku mendengar kursi berderit, aku melirik sekilas, dan wala! Bang Rumi duduk dekat sekali denganku.

"Mama ...," rengekku merasa terganggu dengan ulah Bang Rumi.

Mama Elia berbalik menatapku dan Bang Rumi. Mama berdecak berkacak pinggang. "Rumi ...," peringatan Mama penuh penekanan.

Aku dengar Bang Rumi terkekeh kemudian mengacak-acak rambutku. "Aku kan cuman bercanda, Ma," pembelaan Bang Rumi membuatku menatapnya jengah. "Sudah lama juga kan tidak godain adik manisku ini," lanjutnya mencolek daguku dengan jari telunjuknya.

Adik manisku? Aku tersenyum getir mendengarnya. "Ma, Nira pamit ke kamar mandi dulu ya." Segera aku beranjak menjauhi bang Rumi, berjalan pelan menuju kamar yang dikhususkan memang untukku.

"Ma, Amira mau ketemu Mama."
Sayup-sayup aku dengar Bang Rumi menyebutkan nama wanitanya. Jadi namanya Amira?

Aku berhenti melangkah, menyembunyikan diri bersandar di dinding besar dekat ruang makan.

"Mama tidak suka sama wanita itu Rumi ..." Suara Mama Elia terdengar jengah.

"Ma, aku sudah lima tahun bersamanya. Aku sangat mencintainya."

Apakah di dalam hatiku ada pedang atau samurai? Kenapa rasanya seperti ditusuk ribuan kali mendengar kalimat terkahir yang diucapkan Bang Rumi.

Apa hanya sebatas adik saja aku di mata Bang Rumi? Tak terasa air mataku menetes, perih, sangat perih. Di sini, di dada ini.
Aku kembali melangkah, bangkit melepaskan cinta dalam hati ternyata tak semudah yang aku pikirkan.

Hati Terpilih (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang