Light My Cigarettes

2.2K 185 22
                                    




Jimin membenci setiap ide musim panas dari kedua orang tuanya, apalagi yang mengharuskannya untuk menghabiskan waktu  lebih banyak di luar kamarnya. Kamarnya adalah tempat favoritnya, tempat paling nyaman, tempat dia menghabiskan detik yang berjalan tanpa henti sambil membaca sejumlah buku favoritnya. Kamarnya adalah zona ternyamannya.

Jimin tidak mudah bersosialisasi dengan orang lain. Ia adalah penyendiri, tidak terlalu menyukai ide untuk bersosialisasi dengan orang lain. Ia tidak suka berbaur, tidak suka untuk berbicara. Ia lebih memilih untuk diam dan sendiri. Kesunyian adalah surganya dan keramaian adalah nerakanya.

Jimin membenci Busan. Ia membenci Busan di saat musim panas. Ramai, berisik dan panas. Tawa yang terlalu nyaring, musik yang terlalu kuat dan sinar matahari yang terlalu menyengat. Jimin membenci Busan dan musim panas. Jimin sangat membenci Busan di musim panas.

Seperti kutukan, Jimin harus melalui musim panasnya di Busan dengan keluarganya. Ia harus meninggalkan kamarnya, ia harus membiasakan diri selama 3 bulan di Busan yang selalu menjadi tujuan orang untuk berlibur di musim panas.

Jimin tidak ingin menjadi cucu yang durhaka, tidak ingin menyalahkan neneknya yang sakit, tidak ingin menyalahkan kedua orang tuanya yang menjalankan peran sebagai anak yang berbakti. Jimin hanya ingin menyalahkan semesta. Kenapa neneknya harus sakit di musim panas?

Jimin awalnya bersikeras untuk tinggal di Seoul, untuk tidak ikut dengan kedua orang tuanya ke Busan. Kalau pun ia harus ikut ke Busan, bukankah tiga hari sudah lebih dari cukup? Ia hanya perlu menjenguk neneknya, bukan? Kenapa ia harus tinggal selama tiga bulan penuh di Busan?

"Ayo dong, kak. Ikut mama sama papa ngejenguk nenek. Kasian nenek lagi sakit. Nenek juga kangen sama kamu. Lagian nanti kamu bisa ketemu Jihoon"

Busan, musim panas dan Park Jihoon. Jimin tidak menyukai Park Jihoon. Ia tidak menyukai Jihoon yang selalu tersenyum, yang selalu penuh dengan imajinasi dan pertanyaan naifnya, yang selalu disebut sebagai happy pill di keluarga besarnya dan kini ia harus melewati musim panas bersama Jihoon. 

Seperti saat ini, Jimin duduk diam memandangi sejuta umat yang sedang menghabiskan waktu dengan bersantai di pantai. Ada yang sibuk kejar-kejaran di tepi pantai, menghabiskan waktu dengan membuat sand castle tak peduli dengan ombak yang tetap datang menghancurkannya, mengabadikan momen di pantai dengan berfoto, saling mencipratkan air laut ke orang lain atau mungkin melakukan pda tanpa rasa malu.

Jimin hanya duduk diam memandangi berbagai macam kejadian yang terjadi di depan matanya. Jihoon sudah lama hilang, berbaur dengan orang lain, tidak memedulikan Jimin yang memilih duduk sendiri di tepi pantai. Jimin juga merasa lebih baik jika Jihoon menghilang. Ia bisa pulang kapan saja, semaunya dia.

Jimin hanya bertahan sepuluh menit disana, memandang langit cerah pukul 15.30 sore, sampai akhirnya ia bangkit berdiri, beranjak pergi dari pantai itu. Ia tidak suka keramaian dan disini terlalu ramai. Ia menyesali menuruti kemauan orang tuanya yang menyuruhnya ke pantai, menyuruhnya untuk bersenang-senang di pantai. Membosankan, batinnya.

Jimin memutuskan untuk mampir ke toilet umum, mencuci kakinya yang sudah dipenuhi dengan pasir. Ia tidak menyukai sensasi pasir di kakinya dan akan lebih baik jika ia membasuh kakinya terlebih dahulu sebelum berjalan pulang ke rumah neneknya. Ia akan merasa jauh lebih nyaman.

Ketika ia keluar dari toilet, ia dikejutkan dengan tangan seseorang yang tiba-tiba menepuk bahunya. Jimin menoleh ke belakang, berusaha mencari tahu siapa yang seenaknya menepuk bahunya. Kedua mata Jimin bertemu dengan seorang pria, mungkin umurnya tidak berbeda jauh dengan dirinya. Pria itu sedikit lebih tinggi dari dia, rambut mullet-nya diberi warna strawberry blonde.. Pria itu memiliki hidung yang mancung, mata yang besar, dengan kulit yang tanning. Mungkin dia kebanyakan menghabiskan waktunya di bawah sinar matahari, pikir Jimin. Terselip sebatang rokok di antara kedua bibirnya. Pria itu..tampan.

Jimin berusaha fokus, berusaha untuk tidak membiarkan matanya menelusuri setiap inci wajah dan tubuh pria yang kini jaraknya semakin dekat  dengannya.

"Punya korek ga?"

Jimin menggeleng. Emang wajahku kayak orang yang ngerokok?

"Hmm nyalain rokokku dong"

Jimin mengernyitkan dahi. Ia bingung. Bukannya ia baru saja menggelengkan kepalanya? Bukan saya ia baru saja memberika jawaban tidak?

"Kok ga punya?"

"Ya karna ga punya"

"Hmm sayang banget"

Sayang banget? Apa yang perlu disayangkan?

"Sayang banget?"

"Sayang banget kamu ga punya korek. Coba kalo punya. Rokokku bakal terasa manis kalo koreknya dari kamu"

Wow.

Jimin berusaha untuk tidak terpengaruh. Berusaha gombalan yang baru saja terlontar keluar dari mulut pria asing ini tidak membuatnya tersipu. Jimin tidak pernah menerima gombalan dari orang lain. Ini kali pertamanya.

"Mau kemana?"

Pria itu kini memegang lengan Jimin ketika ia beranjak pergi meninggalkannya.

"Pulang" sahutnya. Orang ini kenapa sih?!

"Kan belum kenalan"

"Emang perlu?"

"Perlu kalau orangnya semanis kamu"

Jimin ingin cepat-cepat pulang. Tiba-tiba ia merindukan rumah neneknya.

"Aku mau pulang" Jimin mencoba terdengar galak. Ia tahu suaranya hanya sebatas bisikan, tetapi ia ingin segera pulang. Pria di depan ini bisa membuatnya gila.

Pria itu tersenyum. Jimin menahan nafasnya, berusaha sekali lagi untuk tidak terpengaruh senyum pria yang kini melepas pegangannya di lengannya Jimin dan merogoh sakunya. Ia mengeluarkan korek apinya dan menyalakan rokoknya yang sedari tadi ada di mulutnya.

"Hati-hati"

Tanpa menunggu lagi, Jimin membalikkan badannya, memulai langkahnya meninggalkan pria itu sampai akhirnya pria itu berteriak.

"Namaku Kim Taehyung. Tolong diingat."

Kim Taehyung. Namanya bagus.

Strawberries And CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang