Mawar Merah (ii)

20.2K 1.1K 60
                                    


“Jadi, sekarang kita jadian?” ucap Ayya malu-malu.

“Iya,” Rey tersenyum, sambil melepas jaket dan menyampirkan di pundak Ayya agar gadis itu tidak kedinginan. “Kamu milikku sekarang.”

Sekujur tubuh Ayya gemetar dan berkeringat. Samar-samar suara Shawn Mendes terdengar pelan hingga lama-kelamaan berubah sangat kencang. Ia membelalak dan
tersengal-sengal. Hal pertama yang Ayya lihat adalah sulur-sulur cahaya menembus jendela kaca karna gorden yang tersibak sempurna.

Mimpi apa aku tadi malam?!

Ayya tersipu-sipu begitu mengingat perbuatannya di dalam mimpi bersama Rey. Ya, ampun! Bagaimana bisa ia bersikap begitu liar dengan mendesahkan nama suaminya keras-keras begitu tubuhnya mengejang tidak karuan.

Ayya tidak tahu apa yang akan dipikirkan oleh Rey bahwa ia sudah memimpikan bercinta dengan makhuk kaku itu. Bisa jadi Rey akan lari pontang panting sambil berteriak bahwa ia sudah gila bila sampai berpikir ia akan menyentuhnya.

Suara ponsel yang sempat membangunkannya berhenti berbunyi. Hampir saja Ayya mengambilnya begitu ia tersadar bahwa ponselnya sudah rusak beberapa hari yang lalu.

Apa itu milik Kak Rey?

Ayya melihat tempat disebelahnya sudah kosong dengan sprai acak-acakan. Pipinya memerah lagi saat mengingat Rey sempat mencumbunya namun tak sampai
melakukan hal lebih dari itu.

Selang beberapa detik ponsel itu berbunyi lagi. Ayya menjulurkan kepalanya berusaha melirik dan menemukan sebuah nomor sedang menari-nari seolah menunggu sang empunya segera mengangkat.

Lalu panggilan itu berhenti.

Ayya menghembuskan napas panjang. Ia akan membiarkan saja dan pura-pura tidak medengar. Akhirnya dengan piama gambar Winnie the pooh ia beringsut turun dan melakukan kegiatan di kamar mandi.

Ayya berencana untuk berendam karna tubuhnya terasa sakit seperti sudah dikeroyok supporter sepak bola. Tapi begitu menemukan bercak darah di sela pahanya, akhirnya ia memutuskan mandi di bawah shower dan melangkah keluar untuk mengambil pembalut.

Selesai dengan segala aktifitas di dalam kamar, Ayya hendak turun ke meja makan namun suara ponsel lagi-lagi mendengug keras-keras seolah sedang berteriak marah kepadanya.

Ayya jadi membayangkan Rey marah karna ia sudah mengabaikan panggilan dari dirinya.

Bisa jadi, kan itu panggilan dari Rey karna ponselnya ketinggalan?

Ayya memutuskan medekati benda itu dan menggeser tombol hijau.

Suara petama yang ia dengar adalah desisan lembut seorang wanita. Lalu disusul suara Rey dengan nada ragu-ragu. “Ayya?” panggilnya.

Ayya tercekat sebentar sebelum menjawab, “M-maaf, aku pikir ponselmu ketingggalan dan ini panggilan penting.”

Hening sejenak. Ayya semakin cemas kalau-kalau setelah ini Rey melemparkan teriakan murka padanya.

“Apa aku mengganggu tidurmu?” Tanya Rey.

Ayya terdiam beberapa lama seolah kupingnya bermasalah. Tapi begitu Rey mengulang pertanyaannya barulah ia sadar bahwa apa yang ia dengar memang benar-benar kenyataan.

“T-tidak. Aku sudah bangun dari tadi.” Ayya tidak tahu kenapa ia harus berbohong.

Terdengar hembusan napas lega di ujung sana. “Bisakah kamu mengantar ponselku ke kantor sekarang? Aku ada meeting sebentar lagi.”

“Kantor?” Ayya membeo.

“Iya. Kalau kamu bisa, Pak Tama akan mengantarmu.” Jawab Rey tanpa beban.

Perlu pengulangan kata beberapa kali sebelum Ayya berkata iya. Akhirnya ia membatalkan rencana sarapan dan berlari mengganti pakaian.

Ayya tidak mempunyai gambaran harus mengenakan apa untuk ke kantor yang Rey maksud. Karna berpikir ia cuma sekedar mengantar ponsel lalu pulang setelahnya, Ayya mengambil setelah kaos warna putih dengan gambar banana dan rok kotak-kotak berwarna kuning.

Maemunah menyapa ketika ia sampai di ruang tengah, "Nyonya sudah bangun?" Ayya menggaruk tengkuk dan tersenyum. Maemunah mengulurkan sebuket mawar merah dengan pita biru bermotif banana. "Tadi ada ķurir ke sini. Katanya bunga ini untuk nyonya."

Ayya mengernyit heran. "Dari siapa, Bi?"

Perempuan paruh baya itu terlihat salah tingkah. "Maaf, nyonya, saya lupa tidak menanyakanya."

"Ya sudah, Bi. Makasih ya."

Setelah Maemunah pamit dari hadapanya, Ayya meneliti bunga itu lalu menemukan note kecil dengan tulisan;

See you ❤

Ayya tersenyum tanpa alasan. Ia bergegas memasukkan bunga ke dalam tas dan berjalan cepat ke arah sopir pribadi suaminya yang sudah menunggu di depan teras.

Sepanjang perjalanan Ayya tidak berhenti menciumi bunga itu. Ia baru meletakkan bunganya saat Pak Tama menegur ketika mereka sudah sampai di lobi kantor.

Seperti kembali ke masa pertama kali melihat rumah Rey yang superbesar, kali Ayya menganga sebentar  karna kantornya bahkan jauh lebih besar dari itu.

Ayya melangkah masuk dan menuju meja resepsionis. Wanita dengan pakaian sopan itu melempar senyum ramah kepadanya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau bertemu Kak Rey.” Ucap Ayya yang disambut kernyitan dahi wanita itu. Buru-buru ia menambahkan, “maksud saya, Pak Reynand Abrisam.”

“Apa adek sudah membuat janji sebelumnya?” mungkin karna cara berpakaian Ayya yang mirip gadis SMA atau wajahnya yang masih terlihat sangat muda hingga ia dipanggil adek padahal sudah berstatus nyonya.

“Sudah.”

Resepsionis dengan nama Meta tersenyum dan menunjukkan jalan menuju dimana ruangan Rey berada.

Untuk menghampiri suaminya, Ayya harus menaiki lift menuju lantai Empat Puluh. Lalu meneruskan jalan selama beberapa menit di lorong panjang dengan pilar yang dirambati tanaman hijau.

Suasana kantor seeperti itu membuat Ayya merasa takjub sekaligus nyaman. Jarang-jarang ada gedung perkantoran yang memilih tema seperti itu. Ia jadi ingin bekerja di sana juga.

Di ujung lorong terdapat pintu besar berwarna hitam yang Ayya yakini sebagai ruangan suaminya seperti petunjuk mbak resepsionis tadi. Ia sempat berhenti berjalan saat seorang wanita yang berstatus teman lama di sanggar tari menghadang dirinya dan dengan tergesa-gesa menyambar seluruh tubuhnya untuk dipeluk erat-erat.

“Ayya, kamu apa kabar?” Kalisa tersenyum lebar seolah melihat cinta lama ditemukan.

“Lisa, kok kamu bisa di sini?”

Masih dengan senyuman, Kalisa menjawab, “Aku kerja di sini sekarang.”

Ayya masih terkejut oleh kenyataan bahwa anak konglomerat bersedia bekerja meskipun di perusahaan sebesar ini. Sejauh ia mengenal Kalisa, gadis itu tidak pernah mau melakukan pekerjaan apa pun demi mendapatkan uang. Kebutuhannya selalu tercukupi oleh orang tua yang kaya raya dan hidup bergelimang harta.

Kalisa kembali memeluk Ayya bersamaan dengan pintu hitam yang terbuka. Sosok Rey muncul sambil mengangkat alis melihat adegan itu. Ayya tersenyum kaku sambil berusaha melepas pelukan Kalisa yang seolah tidak mau melepaskannya.

“Kamu sudah sampai?” Rey melangkah dan berhenti tepat di sebelah Ayya. Dengan santai, Rey menempatkan sebelah tangan di pinggangnya. “Ayo masuk?”

Kalisa menatap diam saat Rey menggiring Ayya memasuki ruangannya. Ayya hanya sempat mengangguk kaku dan tersenyum malu-malu sama seperti waktu Rey menjemputnya di sanggar tari dua tahun lalu.

Ia tersenyum kecut dan kembali ke meja kerjanya. Sepertinya kisah mereka begitu kuat sampai-sampai Rega tidak cukup untuk membuat Rey berhenti menempel dengan Ayya.

•••

😄😄

See you~

Pengantin Pengganti ✔ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang