Terlahir di keluarga berada tak lantas menjadikan Diandra layaknya putri Raja yang harus selalu dimanja. Sejak remaja meski segala kebutuhannya terpenuhi dengan baik, tapi sebisa mungkin orangtuanya mendidik Didi dengan baik. Gadis itu diajarkan untuk tak selalu bergantung pada orang lain.
Pun begitu saat Didi menginjak usia 23 tahun. Ketika dirinya sudah resmi menyandang gelar Sarjana. Tak semudah itu bagi Didi untuk mendapatkan pekerjaan karena koneksi kedua orangtuanya. Bahkan sang kakak pun tak berniat sama sekali untuk membantu Didi. Ia ingin adik semata wayangnya itu berjuang di atas kakinya sendiri.
Karena itu hingga lebih dari setengah tahun Didi menyandang status sebagai pengangguran. Padahal jika mau, papa pasti bisa memasukkan Didi di kantor tempatnya bekerja. Tapi beliau ingin si bungsu berusaha.
Dan itulah yang dilakukan Didi saat ini. Berusaha mendapatkan pekerjaan dengan kemampuannya sendiri. Sayang keberuntungan belum berpihak padanya. Ketatnya persaingan di dunia kerja membuat Didi tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Terlebih ia harus bersaing dengan ribuan pelamar setiap tahunnya. Makin menipis lah kesempatan yang ia miliki.
“Sudah coba tanya ke teman kamu yang lain? Kali saja mereka bisa bantu?” mama berucap kala keduanya menikmati santap siang.
Hanya ada Didi, mamanya juga seorang ART di rumah. Papa dan kedua kakak lelaki Didi jelas masih berada di kantor masing-masing.
“Belum Ma. Lisa bilang kalau ada lowongan di kantornya dia bakal usahain buat aku.”
“Enggak pengin coba usaha sendiri? Mama bisa bantu modalin kamu.”
Usaha sendiri? No. Satu hal yang Didi tak bisa lakukan adalah berniaga. Berwirausaha. Katakan dia begitu aneh, lulusan ekonomi tapi sama sekali tak cakap perihal bisnis. Didi lebih cakap sebagai konsumen. Mungkin jika para dosennya tahu betapa memalukannya Didi, mereka akan dengan senang hati mencabut gelar Sarjana di belakang namanya.
“Mama kan tahu, aku itu paling payah urusan begitu. Yang ada usahanya bisa bangkrut. Dan modal Mama nggak akan balik.”
Sang mama bergidik ngeri. “Iya ya. Yang ada modal Mama habis sama kamu.”
Diandra tertawa mendengar ucapan mamanya. Keduanya pun kembali melanjutkan makan siang tanpa berbincang perihal pekerjaan. Selesai makan, Didi berinisiatif untuk mencuci piring kotor bekas makannya. Meski memiliki asisten rumah tangga, tapi tak elok rasanya jika semua beban pekerjaan mereka bebankan pada ART. Apalagi tugas ringan seperti mencuci piring. Kadang Didi tak segan turut membantu bi Harti yang sudah bekerja cukup lama pada keluarga Didi.
Selepas mencuci piring, Didi kembali ke kamarnya. Tak ada yang bisa pengangguran sepertinya lakukan selain makan, tidur dan bersenang-senang. Bukan ingin Didi, tapi apa mau dikata jika kesempatan kerja belum menghampirinya. Bukan tak sedikit Didi mengirimkan surat lamaran pada berbagai perusahaan. Tapi belum ada satupun yang melakukan panggilan terhadapnya.
Baru saja Didi akan membaringkan tubuhnya, handphone miliknya berdering. Dengan cepat Didi segera menjawab panggilan. Terdengar lah suara cempreng nan nyaring dari ujung sana.
“Di... gue punya kabar baik buat lo. Mau dengar nggak?” teriak Maria dari ujung sana.
Didi memutar matanya. Sahabatnya satu itu tak pernah berubah. Meski sudah menjadi wanita muda tetap saja hobi berteriak Maria tak pernah hilang.
“Berita apaan?” tanya Didi akhirnya.
“Kantor gue lagi butuh staf. Lo kalau mau langsung kerja, besok datang bawa cv. Gue jamin lo bakal langsung diterima.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Abstrak
Lãng mạnJatuh cinta punya banyak rupa. Bahkan mungkin yang tak dapat dijelaskan bentuknya.