Abstrak 13 - Jatuh di Lubang yang Sama

7.1K 1.1K 43
                                    

Seperti sudah diduga Diandra. Malam itu Maria berniat menginap di rumahnya. Meski agak enggan, tapi Diandra tak mungkin mengusir gadis itu. Bisa-bisa keluarganya curiga. Mengira persahabatan kedua gadis itu bermasalah.

Maria langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Tapi Diandra yang tak mungkin berkata jujur, hanya menjawab sekenanya pada Maria. Tanpa benar-benar menejelaskan apa yang terjadi pada dirinya.

“Gue nggak percaya, Di. Sebenarnya lo kenapa? Jujur sama gue, Didi!” pekik Maria gemas karena Diandra tak mau juga mengatakan yang sebenarnya.

“Aku baik-baik aja, Maria. Benaran deh. Tadi pagi aku memang tiba-tiba nggak enak badan. Makanya aku mintain izin sama kamu.”

“Oh ya? Terus, apa ini ada hubungannya dengan muka kusut Om Shaun?”

Diandra terkesiap. Bagaimana Maria bisa menyimpulkan secepat itu?

“Maksudnya?”

“Enggak usah pura-pura blo’on. Lo, masih suka kan sama Om Shaun?” cecar Maria.

Diandra diam. Membuat Maria makin yakin bahwa gadis itu menyembunyikan sesuatu darinya. Diandra terlalu polos jika ingin bermain petak umpet dengannya.

“Jujur sama gue, Didi. Ada hubungannya dengan Om Shaun kan?”

Diandra menyerah. Maria terlalu mengenalnya. Sebelum bercerita, gadis itu berusaha menguatkan diri. Terutama dari penghakiman Maria yang mungkin sebentar lagi akan didapatkannya.

“Kamu benar. Ada hubungannya dengan Om Shaun.”

Mata Maria membulat.  “Cerita. Semua!” tuntutnya.

Diandra menguatkan hatinya. Pelan-pelan gadis itu menceritakan semua yang ia sembunyikan dari Maria. Bagaimana ia menjalin hubungan backstreet dengan Shaun. Namun hanya bertahan satu hari karena Shaun yang mencuranginya. Bagaimana pria itu jujur pada Diandra bahwa ia sudah tidur dengan perempuan lain. Dan bagaimana hati Diandra yang remuk berkali-kali karena pria itu. Bahkan sebelum mereka menjalani yang namanya pacaran backstreet. Selama berkisah, kembali Diandra harus merasakan retakan dalam hatinya. Terutama bagian ketika Shaun mengaku padanya.

“Didi ....” Maria kehilangan kata-kata. “Udah gue kasih tahu, jangan main api! Begini kan jadinya. Lo pikir Om Shaun itu apa? Tokoh novel kesukaan lo yang hanya karena mengaku jatuh cinta sama cewek ingusan kayak lo terus berubah jadi laki-laki penuh komitmen dan jujur?”

“Dia jujur, Maria ...”

“Iya. Jujur kalau dia udah tidur sama perempuan lain. Wow, patut diapresiasi.” Maria berkata sarkas.

Diandra menggigit bibir bawahnya. Ucapan Maria laksana taburan garam di luka hatinya. Perih. Tapi memang itulah kenyataannya. Dan Diandra tak mungkin bisa menutup mata bahwa Shaun memang mengkhianatinya. Bahkan di hari pertama mereka resmi berpacaran.

“Terus, lo mau gimana sekarang? Mengundurkan diri? Itu lebih baik sih. Daripada lo masih satu atap sama dia. Dan gue yakin lo pasti nggak bisa ngendaliin hati lo yang gampang baper itu.”

“Masa harus resign sih?”

“Itu jalan paling aman, Didiku sayang.”

“Terus, aku jadi pengangguran lagi dong?” keluh Diandra. Perlahan perasaannya mulai lega setelah ia bercerita.

“Nanti gue bantuin. Asal lo nggak ketemu lagi sama si kambing itu.”

Diandra tak dapat menahan tawanya kala Maria menyebut Shaun sebagai kambing. “Begitu juga dia Om kamu loh.”

Maria hanya melengos. Tak peduli jika ia harus berkata kasar pada Shaun. Gadis itu kemudian membaringkan dirinya di sebelah Diandra yang sejak perbincangan tadi duduk di atas ranjangnya.

“Dari awal gue udah kasih tahu kan, Di. Jangan sampai lo berurusan sama Om Shaun. Tapi kadang lo terlalu keras kepala. Ya memang gue juga nggak bisa melarang sama siapa lo jatuh cinta. Tapi gue Cuma mengantisipasi. Melindungi hati lo sedini mungkin.”

“Aku tahu,” balas Diandra cepat.

“Jangan berhubungan lagi dengan Om Shaun ya, Di?” pinta Maria. Kali ini suaranya tak lagi berapi-api.

Diandra menatap ragu pada Maria. Ia ingin sekali mengatakan ya dengan lantang pada sahabatnya. Tapi ia juga tahu seperti apa hatinya. Bahkan meski saat ini masih sakit, Shuan tetap ada dalam hatinya.

“Di?”

“Aku coba.”

Tanpa Diandra duga, Maria memeluk erat dirinya. Kedua gadis itu kemudian saling berpelukan. Saling menguatkan satu sama lain. Diandra tahu bahwa tak akan semudah itu baginya menyingkirkan Shaun. Tapi ia akan berusaha. Juga Maria yang sangat mengenal sahabatnya itu. Akan berusaha sebisa mungkin untuk membantu Diandra menjauh dari Shaun.

Di saat yang sama, Shaun pun tengah menikmati kesendiriannya. Sebotol anggur menjadi teman pria itu menghabiskan malam. Ia sadar, dirinya begitu menyedihkan. Setelah menyakiti Diandra, Shaun justru masih mengharapkan gadis itu memaafkannya.

Berkali-kali panggilannya ditolak Diandra. Tapi pria itu tak menyerah. Berbagai pesan sudah pria itu kirimkan. Meski hasilnya tetap sama. Diandra tak menggubris apapun. Membuat Shaun dilanda frustrasi. Tapi tak tahu bagaimana mengatasinya.

Gilakah ia? Sebagai pria berumur justru mengharapkan gadis muda yang memiliki masa depan cerah. Pria mana pun pasti akan mudah jatuh hati pada Diandra. Tak akan sulit bagi Diandra menemukan pria muda yang lebih baik dari Shaun. Yang bisa membahagiakan gadis itu. Harusnya Shaun sadar itu.

Namun, sama halnya dengan Diandra, ia tak mampu menyingkirkan Diandra dari kepalanya. Ia sangat ingin bisa melihat gadis itu. Mendekap tubuh hangatnya. Bahkan mencium bibir merah mudanya yang selalu mampu menggoda dan menghilangkan akal sehat Shaun. 

Pria itu tidak ingin menyerah pada Diandra. Ia ingin memiliki Diandra. Tak peduli banyaknya penghalang yang akan menghadang hubungan mereka. Shaun yakin dirinya hanya menginginkan Diandra. Jika memang harus berubah, pria itu akan mencoba. Membuktikan pada Diandra jika ia pun memiliki rasa yang sama besar seperti gadis itu.

Seandainya sahabat-sahabatnya mengetahui betapa lemah pria itu saat ini, mereka pasti akan menertakan Shaun. Sang pria pencari kesenangan wanita, berhasil takluk di kaki seorang gadis polos seperti Diandra. Bukankah itu hal yang luar biasa.

Terlebih jika para wanita yang pernah berhubungan dengannya. Mereka semua pasti tak akan menyangka jika petualang cinta seperti Shaun berhenti berkelana dan menetapkan satu hatinya pada Diandra.

Meski begitu, ada ketakutan di hati Shaun. Ia masih memiliki ketakutan akan masa lalunya. Masa muda yang ia habiskan untuk mencintai satu wanita. Tapi sayangnya cinta pun tak dapat mempertahankan utuhnya ikatan pernikahan di antara mereka.
Dan kini, mampukah ia membuktikan bahwa ia mampu berkomitmen dengan hatinya. Saat luka masa lalu masih membayangi Shaun. Terlebih Diandra yang masih begitu muda. Siapa yang tahu jika suatu saat hati gadis itu pun bisa berubah.

...

Diandra akhirnya mengambil satu keputusan. Ia sudah memikirkan pembicaraannya dan Maria akhir pekan lalu saat gadis itu menginap di rumahnya. Dan di sinilah dia berada. Di dalam ruangan Lani,  Manajernya. Dengan sepucuk surat pengunduran diri di tangan.

Ya, Diandra sudah memutuskan bahwa ia akan mengundurkan diri. Maria benar. Ia tak akan bisa bekerja dengan baik tanpa melibatkan hati. Yang Diandra butuhkan adalah lingkungan kerja yang sehat. Jauh dari sumber rasa sakitnya. Dan itu artinya ia harus jauh dari Shaun.

“Apa ini?” tanya Lani ketika gadis itu menyerahkan surat di atas meja kerjanya.

“Surat pengunduran diri saya.”

Lani mengernyit. “Kenapa? Kamu bahkan baru hitungan bulan bekerja di sini. Apa ada masalah?”

Diandra menggeleng. Tak mungkin ia mengatakan bahwa pengunduran dirinya berhubungan dengan atasan mereka, Shaun. Gadis itu tidak cukup gila untuk membeberkan fakta yang ada.

“Saya hanya merasa kalau saya ... tidak bisa memberikan kontribusi yang baik untuk perusahaan. Karena itu, saya memutuskan untuk resign.”

“Tapi kamu kan juga masih baru bekerja di sini. Wajar jika kamu belum memberikan kontribusi yang maksimal untuk kemajuan perusahaan, Diandra.”

“Saya menemukan pekerjaan yang membuat saya nyaman. Tanpa tekanan,” ucap Diandra asal.

“Hah? Pekerjaan tanpa tekanan? Pekerjaan apa?”

“Eh ...” Diandra mencoba memikirkan jawaban yang masuk akal. Entah mengapa ia malah teringat akan kafe dan florist milik pria bernama Dewa yang minggu lalu dikunjunginya. “Florist. Merangkai bunga.”

Lani kembali mengernyit. Ia tak habis pikir dengan jawaban pegawai juniornya ini. Tapi bagaimana pun ia tak punya hak untuk menahan seseorang jika memang sudah tak nyaman bekerja di perusahaan itu.

“Kalau memang begitu, saya bisa apa. Kamu tahu prosedurnya kan?” tanya Lani kemudian. Diandra mengangguk. “Kalau begitu kamu boleh keluar. Selesaikan apa yang harus kamu selesaikan sebelum resmi keluar dari perusahaan ini.”

Sekali lagi Diandra mengangguk. Gadis itu berpamitan pada Lani untuk kembali ke meja kerjanya. Setelah berada di luar ruangan Lani, Diandra mengembuskan napas lega. Rasanya sedikit bebannya terangkat setelah ia mengambil keputusan untuk resign.

Seperti apa yang diperintahkan Lani, Diandra mulai membereskan pekerjaan yang akan ditinggalkannya. Ia punya kewajiban yang harus dipenuhinya di perusahaan ini. Sebelum ada karyawan yang menggantikannya.

“Gimana pengunduran diri lo? Lancar?” Maria langsung memberondongnya dengan tanya ketika Diandra duduk di meja makan siangnya.

“Lancar. Bu Lani nggak banyak tanya. Aku cuma harus beresin pekerjaan sampai tenggat waktu. Dan nunggu pegawai baru.”

Maria mengangguk tenang. Keduanya kemudian melanjutkan makan siang tanpa banyak bicara. Sampai pandangan keduanya menangkap sosok Shaun yang baru memasuki kantin. Cepat-cepat Diandra menghabiskan makanannya. Berencana untuk segera menghilang dari hadapan Shaun.

Namun sayangnya kenyataan tak mendukung. Saking terburu-burunya Diandra makan, gadis itu sampai tersedak makanannya. Hingga membuatnya menjadi pusat perhatian. Cepat-cepat Maria menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk Diandra.

“Lo baik-baik aja kan, Di?” tanya Maria sambil mengelus lembut punggung Diandra. Gadis itu mengangguk-angguk sebagai jawaban. Tak sadar jika sejak tadi pandangan Shaun tak lepas darinya.

“Udah, Maria. Aku baik-baik aja kok. Makasih.”

Diandra kemudian memerhatikan sekelilingnya. Masih ada beberapa orang yang menatapnya. Hingga tanpa diduga, tatapannya dan Shaun bersirobok. Terburu-buru Diandra mengalihkan pandangannya. Tak ingin berlama-lama bertatapan dengan Shaun.

“Balik yuk. Udah kan makannya?” tanyanya pada Maria.

Maria mengangguk. Kedua gadis itu lantas bergegas meninggalkan kantin kantor. Mereka bagaikan mangsa buruan yang ketakutan. Tanpa Diandra tahu, jika Shaun tak bisa mengalihkan matanya sekejap pun. Hingga gadis itu menghilang dari pandangannya.

Shaun hanya bisa menghela napas lelah. Terlebih saat tadi ia mendapatkan surat pengunduran diri Diandra yang diserahkan Lani. Ia ingin marah. Tapi pria itu tak mungkin melampiaskan emosinya di kantor. Lagipula ia tahu alasan Diandra terpaksa mengundurkan diri. Apalagi jika bukan dirinya.
Tapi Shaun sudah menentukan keputusannya. Ia tak akan membiarkan Diandra pergi dari hidupnya. Pria itu sudah berniat untuk menyelesaikan segala permasalahan apapun yang ada di antara mereka. Tak akan membiarkan semua makin berlarut-larut.

Maka dari itu, ketika jam kantor berakhir, Shaun sudah siap di mobilnya. Berencana menemui Diandra. Beruntung hari ini gadis itu tak membawa kendaraannnya. Terlebih Maria juga tak bisa memberikannya tumpangan. Karena itu saat ia melihat Diandra yang tengah menunggu taksi di lobi kantor, Shaun menghentikan mobilnya di depan gadis itu.

Diandra berjengit terkejut saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Terlebih ia sangat tahu milik siapa kendaraan tersebut. Ingin lari, tapi Diandra tahu ia tak akan bisa. Terlebih sikapnya akan membuat seisi kantor memerhatikannya.

“Masuk!” perintah tegas Shaun ketika pria itu menurunkan kaca jendela mobilnya.

Tahu tak akan ada guna Diandra melawan, gadis itu masuk ke mobil Shaun dengan langkah gontai. Selama di jalan, tak ada satupun dari mereka yang bersuara. Keduanya sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sampai mobil Shaun akhirnya berhenti di parkiran apartemennya. Barulah Diandra menyadari ke mana pria itu membawanya. Atau memang sejak awal ia tahu hal itu.

“Mau apa Bapak bawa saya ke sini?” tanya Diandra meski sebenarnya tak perlu.

“Kita harus bicara, Diandra.”

“Sepertinya nggak ada yang harus dibicarakan lagi antara kita.”

“Ada. Sekarang turun!”

Kembali perintah itu keluar dari bibir Shaun. Tapi Diandra tak ingin menjadi gadis penurut. Gadis itu bertahan di dalam mobil Shaun sembari bersedekap. Membuat Shaun menghela napas kasar. Sepertinya tak akan mudah bicara dengan Diandra kali ini.

“Turun atau saya gendong kamu keluar.”

Mendengar ancaman serius Shaun, mau tak mau Diandra menurut. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian. Bukan tak mungkin Shaun akan melancarkan aksinya untuk membuktikan apa yang dikatakannya sangat serius. Ketika gadis itu turun sambil menghentakkan kakinya di lantai, sudut bibir Shaun terangkat sedikit.

Keduanya kembali berjalan dalam diam menuju unit kediaman Shaun. Diandra bahkan memikirkan banyak cara untuk kabur saat ini di kepalanya. Namun ia tahu tak akan mudah karena Shaun seperti singa yang siaga menjaga buruannya agar tak lepas.

Tapi lagi-lagi mereka dikejutkan dengan kehadiran wanita yang biasa berseliweran di hidup Shaun. Langkah Diandra terhenti. Matanya bersirobok dengan sosok perempuan cantik yang sudah menyunggingkan senyum cantiknya pada Shaun. Gadis itu ingin berlari. Tapi cengkeram di lengannya menghentikan apapun yang akan dilakukan Diandra. Terlebih saat Shaun menarik Diandra merapat ke tubuhnya. Melingkarkan lengannya ke pinggang Diandra. Menunjukkan pada wanita siapapun itu bahwa Diandra adalah seseorang yang berarti baginya.

“Ada apa?”  tanya Shaun.

Suaranya terdengar datar. Tak pernah Rinka mendapati Shaun berbicara tanpa nada seperti itu padanya. Tapi melihat adanya gadis muda di sisi Shaun, Rinka tahu bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa-biasa saja dalam hidup Shaun.

“Aku pikir kamu lagi free. Tadinya aku mau ajak ke kelab. Ketemu sama yang lain.”

Rahang Diandra mengetat. Kelab katanya? Oh, tentu, memangnya di mana lagi kumpulan para orang tua itu biasa berkumpul. Tak mungkin mereka seperti dirinya dan Maria yang menghabiskan waktu luang di kafe atau toko buku.

“Rinka, kamu tahu, aku sudah katakan agar ...”

“Iya, aku tahu. Enggak usah dijelasin lagi. Kalau gitu aku pergi.”

Jika sebelumnya, Rinka bisa dengan bebas memberi ciuman perpisahan pada Shaun, tapi tidak kali ini. Karena Diandra justru balas merangkulkan lengannya ke pinggang Shaun. Menunjukkan kepemilikannya pada pria itu. Agar wanita cantik di hadapannya bisa menjaga sikapnya. Meski terkejut, baik Rinka dan Shaun sama-sama menyunggingkan senyum simpulnya.

Setelah kepergian Rinka, Shaun membawa gadis itu masuk. Mempsilakan Diandra untuk duduk nyaman selagi menunggu pria itu membawakan minuman. Selama menunggu, Diandra mengirimkan pesan pada Mamanya bahwa ia akan pulang terlambat lagi.

“Apa yang mau Pak Shaun bicarakan?” Diandra tak ingin berbasa-basi kala melihat Shaun kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman.

“Bisa kita tenang dulu, Diandra?”

“Enggak. Saya harus pulang.”

“Diandra ...”

Diandra mengakui dirinya lemah. Karena hanya dengan melihat sorot penuh permohonan gadis itu bahkan mulai menitikkan airmata. Bukankah ia yang paling tersakiti di sini? Tapi mengapa ia tak bisa mengeraskan hatinya sedikit saja untuk Shaun.

“Kalau kamu cuma mau buat aku sakit hati lagi, lebih baik jangan ...” pinta Diandra dengan suara terisak.

Shaun kalah. Dirinya benar-benar kalah kali ini. Jika dulu ia tak akan pernah termakan oleh airmata siapapun, tapi tidak dengan Diandra. Ketika gadis itu menatapnya dengan mata beningnya yang basah oleh airmata. Shaun menyadari dirinya benar-benar jatuh kali ini. Jatuh untuk kedua kalinya di lubang yang sama bernama cinta.

...

Note : siapa yang sudah nebak Didi pasti bakal luluh? Kayaknya udah bisa menebak sih ya gimana Didi, hahaha. Masuk lagi ke jebakan kambing. Nasibmu lah Di, wkwkwk

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 03/19/03

Abstrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang