Abstrak 24 - Lucky Ending

14.6K 951 121
                                    

Diandra sedang bersiap di kamarnya ketika ketukan di pintu menginterupsi. Gadis itu berseru mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu untuk masuk. Mama Diandra yang sudah rapi tersenyum melihat putri bungsunya tampil cantik dengan balutan kebaya. Tak terbayang cantiknya Diandra seandainya ia mengenakan kebaya pernikahan nanti. Walau tak tahu hal itu kapan akan terwujud karena sampai saat ini Diandra masih betah untuk terus sendiri.

“Sudah siap kan? Kita mau berangkat.” Mama Diandra memastikan kembali.

“Sudah. Ini tinggal pasang anting doing kok.”

Sang ibu mendekati Diandra. Mengambil alih anting kecil berhias berlian tersebut. Memasangkan dengan perlahan di kedua telinga Diandra. Diandra sendiri merasa senang saja ketika mamanya membantunya bersiap.

“Sudah. Enggak kebayang gimana cantiknya anak Mama nanti saat nikah.”

Diandra hanya bisa tersenyum kecil. “Nanti. Kalau sudah saatnya, aku pasti bakal nikah juga kok, Ma. Lagi Mas Devan juga belum nikah kok. Masa aku mau melangkahi Mas Devan dengan nikah duluan. Umurku juga belum tua-tua amat kan.”

“Iya. Nanti. Sekarang kamu biar jadi anak kecilnya Mama dan Papa dulu.” Mama Diandra ikut menimpali.

“Sudah yuk. Nanti Papa sama Mas Devan ngomel-ngomel lagi kalau kita kelamaan turun.”

Ibu dan anak gadisnya tersebut berjalan beriringan menghampiri anggota keluarga yang lain. Semua tampak sudah siap. Terlebih Darryl yang sepertinya sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan kekasih hatinya. Hari ini memang hari khusus bagi Darryl. Pria itu akan melamar seorang gadis yang sudah berhasil mencuri perhatiannya.

Saat pertama kali Darryl menyampaikan keinginannya menikah, seluruh anggota keluarga tampak terkejut. Namun ketika Darryl menjelaskan siapa calon wanita yang akan dinikahinya, hanya Diandra yang tampak sudah menduganya. Firasat Diandra terbukti saat akhirnya Darryl berhasil bersatu dengan anak gadis penjual martabak di mana Darryl pernah mengajak Diandra bersamanya.

Takdir memang tak pernah bisa ditebak. Siapa sangka, putri seorang penjual martabak yang bersahaja mampu menarik perhatian Darryl. Layna memang bukan gadis tercantik dengan latar belakang keluarga yang hebat. Tapi sikap sederhana dan kasih sayang gadis itu mampu meluluhkan hati Darryl. Entah sejak kapan tepatnya, tapi Darryl semakin sering mendekati gadis itu melalui ayahnya. Mungkin Tuhan memang mengikatkan tali jodoh di antara mereka. Tak sulit bagi Darryl juga untuk meluluhkan gadis itu. Hingga kini mereka akan bersiap untuk menuju jenjang yang lebih sacral. Pernikahan.

Dua mobil yang membawa keluarga Diandra tiba di kediaman sederhana namun asri milik keluarga Layna. Kedatangan mereka pun disambut hangat oleh keluarga Pak Mahmud. Setelah sambutan ramah-tamah kedua keluarga mulai membicarakan perihal lamaran yang antara Darryl,selaku putra sulung keluarga Diandra. Sedang Layna sendiri adalah putri bungsu dari dua bersaudara. Kakak lelakinya sudah menikah dan memiliki seorang putra.
Raut malu-malu terlihat jelas di wajah Layna. Gadis itu tak menyangka akan mendapatkan jodoh seperti Darryl. Layna sadar, dirinya hanyalah gadis biasa saja. Sempat terbersit ketakutan dalam hatinya ketika Darryl menyatakan keseeriusannya. Ia merasa kurang pantas untuk bersanding dengan pria semapan Darryl. Tapi pria itu mampu memberikan kepercayaan diri pada Layna. Terlebih bagaimana Darryl berusaha mendekatinya melalui sang ayah. Hingga akhirnya gadis itu perlahan percaya dan memantapkan hatinya untuk menerima Darryl.

Setelah menerima lamaran Darryl, kedua keluarga pun mulai menentukan tanggal pernikahan. Layna tak butuh pernikahan mewah, karena ia tahu orang tuanya tak akan sanggup membiayai hal tersebut. Tapi Darryl sebagai pria yang memiliki kemampuan finasial, menginginkan pesta pernikahan yang tak akan dilupakan Layna seumur hidupnya. Ia ingin Layna merasakan kebahagiaan dari pesta pernikahan mereka. Apalagi orang tua Darryl pun menginginkan pesta yang cukup meriah. Karena bagaimana pun, Darryl adalah putra sulung mereka. Mereka tentunya menginginkan sesuatu yang berkesan bagi pernikahan pertama di keluarga mereka.

Cukup sulit mencapai kata sepakat perihal pesta pernikahan. Namun akhirnya keluarga Layna mengalah. Karena Darryl bersikeras bahwa dirinya lah yang akan mengusahakan segala biaya untuk resepsi mereka. Selama perdebatan berlangsung, Diandra hanya menjadi pendengar yang budiman saja. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun karena merasa tak memiliki andil dalam hal tersebut.

Sampai akhirnya kesepakatan penuh telah tercapai. Setelah melewatkan makan siang bersama, Diandra dan keluarganya pun berpamitan. Dalam perjalanan pulang, Diandra tak lepas memandang wajah penuh bahagia kakak lelakinya. Ia pun turut merasakan hal yang sama untuk Darryl.

“Mas Darryl bakal jadi milik orang lain. Terus siapa yang bakal sayang-sayang aku lagi?” rajuk Diandra dengan nada bercanda.

Darryl tersenyum. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengelus puncak kepala Diandra. “Mas akan tetap jadi Mas-nya Didi. Akan selalu sayang sama Didi. Lagi pula masih ada Devan kan.”

Diandra mencibir. “Beuh, mana mungkin. Mas Devan galak.” Diandra mengeluarkan uneg-unegnya karena Devan memang berada di mobil satunya lagi bersama kedua orang tua mereka.

“Galak begitu juga Mas Devan paling sayang sama kamu.”

“Iya dong. Aku kan adik satu-satunya.”

Senyum Darryl kembali tersungging. Apalagi ketika Diandra dengan manja menyandarkan kepalanya ke lengan Darryl. Memeluk erat sebelah lengan Darryl erat. Karena hanya menyetir dengan sebelah tangan, Darryl pun melambatkan laju kendaraannya.

“Kalau Mas sudah nikah, jangan lupa sering-sering main ke rumah ya. Sering-sering ajak aku main juga. Mbak Layna nggak akan cemburu kan?”

“Enggak lah. Layna sama seperti kamu. Anak perempuan bungsu dan satu-satunya. Jadi pasti dia tahu sekali bagaimana rasanya jadi si bungsu. Lagi pula selama Mas kenal dia, Layna bukan tipe perempuan egois yang menginginkan semua perhatian terpusat padanya. Bahkan dia tipe perempuan yang senang berbagi kasih sayang dengan orang lain. Mas bisa lihat itu. Kamu juga kan?”

Diandra mengangguk pertanda setuju. “Mas, bahagia ya sama Mbak Layna. Langgeng sampai akhir hayat. Sayangi dan jaga Mbak Layna seperti bagaimana Mas, Mas Devan dan Papa jagain aku.”

“Kamu juga, selalu bahagia. Dan secepatnya ketemu sama pasangannya.”

Bibir Diandra seketika mencebik. Tapi kemudian ia tertawa. Rasanya setelah ia tak lagi terlihat ingin berpacaran, seluruh keluarganya tampak khawatir. Bahkan Mama seperti selalu berusaha menjodohkan dirinya dengan Dewa. Padahal sudah berulang kali Diandra menjelaskan bahwa perasaannya terhadap Dewa hanya sebatas sahabat dan rekan kerja. Begitu pun yang dirasakan Dewa terhadapnya.

“Kenapa sih, semua orang selalu saja minta aku cepat-cepat punya pacar?” tanya Diandra akhirnya.

Mobil berhenti karena lampu menyala merah. Diandra pun menarik dirinya dari sandaran lengan Darry. Beberapa saat, hanya hening yang menguasai keadaan.

“Di, kamu masih cinta dia?” Darryl bertanya lirih.

Diandra tak berniat menatap Darryl. Tapi gadis itu mengangguk kecil. “Bohong besar kalau aku bilang sudah nggak ada rasa cinta lagi sama dia, Mas. Aku juga nggak tahu kenapa susah banget ngelepasin perasaan itu. Tapi … sudah nggak sesakit dulu kok. Aku masih bisa ingat dia. Dan rasanya, di sini,” Diandra menunjuk ke arah dadanya. “Sudah tidak sesakit dulu.”

Kini Diandra menatap Darryl dengan berani. Bahkan senyum lebar pun gadis itu sunggingkan tanpa beban. Membuat Darryl merasa lega karena ternyata adik kecilnya banyak belajar dari keadaan yang lalu.

“Mas tahu kamu kuat. Mas bangga sama kamu.” Darryl mengecup cepat puncak kepala Diandra sebelum menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas yang kini berubah hijau.

Tak hanya Darryl yang merasa bangga. Diandra pun merasa bangga pada dirinya sendiri. Sekian waktu berlalu, meski rasa sakit itu selalu membayangi, tapi Diandra mampu bertahan. Kini ia bisa berdiri tegak. Luka itu masih ada. Sama seperti rasa cinta Diandra terhadap Shaun yang tak sepenuhnya bisa pudar. Tapi bukan berarti Diandra tak mampu menghadapinya. Ia tahu, dirinya akan mampu berdiri dengan senyum terukir andai takdir kembali mempertemukan dirinya kembali dengan Shaun.



Hari ini Diandra kembali pulang terlambat. Banyaknya deadline mengharuskannya untuk bekerja lembur. Padahal hari ini adalah hari yang spesial untuknya. Tapi apa mau dikata, karena Dewa yang sedang memiliki urusan ke luar kota, Diandra mengambil alih semua tanggung jawabnya.

Setelah sekali mengecek segala hal dan memastikan tak ada kesalahan, Diandra pun bersiap kembali ke rumah. Hari ini bertepatan dengan hari kelahirannya. Usia Diandra bertambah, tapi hidupnya sepertinya masih berjalan di tempat. Yang lebih menyedihkan, sejak pagi seolah semua orang melupakan hari terbaik baginya itu. Tak ada satu ucapan selamat pun yang mampir ke ponselnya. Bahkan Maria, orang yang setiap tahunnya tak pernah absen memberikan ucapan selamat, ikut juga melupakannya.

Mobil yang dikendarai Diandra tepat berhenti di depan rumah orang tuanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Rumah orang tuanya tampak agak redup. Lampu-lampu masih banyak yang dibiarkan tak menyala. Hanya lampu teras dan taman yang tetap menyala. Bingung dengan keadaan sekitar, Diandra segera menghubungi ponsel milik mamanya. Namun sayang panggilan Diandra tak diangkat. Bahkan ketika ia mencoba menghubungi ke nomor papanya dan yang lain, tak ada satu orang pun yang menjawab panggilannya. Sampai sebuah pesan masuk dari kakak iparnya yang meminta Diandra untuk segera datang ke rumah sakit. Panik, Diandra segera melajukan kendaraannya ke rumah sakit yang disebutkan Layna.

Setiba di sana, Diandra segera berlari sembari terus mencoba menghubungi Layna. Sampai beberapa kali mencoba akhirnya panggilan Diandra dijawab. Tanpa sempat Diandra bicara, Layna segera menyebutkan nomor kamar di mana dirinya berada. Dengan kecepatan penuh, Diandra menggerakkan kakinya. Dalam hati berharap semoga tak terjadi hal buruk pada siapa pun anggota keluarganya.

Tanpa peduli dengan keadaan sekitar, Diandra langsung menerobos masuk ketika tangannya menjangkau pintu ruangan. Namun alangkah terkejutnya Diandra saat dirinya masuk. Teriakan selamat ulang tahun, juga dekorasi kamar rawat yang diubah sedemikian rupa membuatnya tak bisa berkata-kata. Satu persatu anggota keluarganya memeluk Diandra sembari mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan si kecil Leon, putra Darryl pun turut serta mengucapkannya. Dari tangan mungilnya Leon menyerahkan setangkai mawar putih pada Diandra. Dengan senang hati Diandra menerimanya sambil mencium pipi keponakannya sebagai ucapan terima kasih.

“Siapa yang punya ide gila ini? Jadiin kamar rawat sebagai lokasi pesta? Apa kalian gila?” tuntut Diandra pada kedua kakak lelakinya.

“Enggak sengaja, Di. Tadinya Layna pingsan. Karena panik, jadinya dibawa ke rumah sakit. Dan Devan dan Maria malah ngajuin ide gila begini,” jelas Darryl.

“Kamar rawat?” Diandra kembali berucap tak percaya.

“Sudah dapat izin dari perawat dan dokternya kok,” jelas Maria.

Meski cemberut, tapi Diandra benar-benar terharu akan kejutan yang diberikan keluarganya. Mereka pun kemudian meminta Diandra untuk meniup lilin sambil berdoa untuk kebahagiaan Diandra. Hadiah terbaik Diandra dapatkan dari Layna yang mengatakan bahwa sebentar lagi keponakan Diandra akan bertambah.

“Tante Didi, kapan kasih sepupu buat Leon dan calon adiknya?” ledek Maria.

Diandra yang sedang menikmati kue ulang tahunnya menatap jengkel pada sang sahabat. “Kamu aja dulu, kapan mau diresmiin sama Mas Devan? Enggak capek apa main petak umpet?”

Devan dan Maria tersedak bersamaan. Sedang yang lainnya tertawa melihat reaksi mereka. Meski Devan dan Maria tampak seolah tak memiliki hubungan selain sebagai kakak dan sahabat Diandra, tapi semua orang tahu keduanya sedang menjalin kasih. Walau masih ditutup-tutupi.

“Jadi, kapan Dev?” tanya papa Diandra akhirnya.

“Secepatnya,” ujar Devan akhirnya. Maria yang masih malu hanya bisa menatap Devan dengan wajah terperangah.

Diandra tak bisa menutupi rasa senangnya. Segera ia memeluk sahabatnya. Mengucapkan selamat karena sebentar lagi Maria akan selangkah meninggalkannya. Meski masih tertinggal jauh dari kedua kakak dan sahabatnya, tapi Diandra tetap bahagia. Sekian waktu menjalani hidup dan menjadi lebih dewasa, Diandra banyak belajar. Tak perlu egois untuk merasakan kebahagiaan. Karena dengan melihat orang yang disayangi mendapatkan kebahagiaannya, sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Diandra.



Minggu pagi ini Diandra akan membawa Leon untuk bermain bersamanya. Darryl dan Layna menitipkan putra mereka padanya. Karena Darryl harus bertugas ke luar kota. Ia tak ingin berangkat sendiri dan ingin ditemani oleh sang istri. Terlebih lagi Layna yang sedang hamil muda pun tak ingin berjauhan dari suaminya. Sedang Leon masih harus mengikuti kelas PAUD-nya hingga tak mungkin bocah berumur 4 tahun tersebut ikut bersama orang tuanya. Diandra lah akhirnya yang mendapat jatah tugas mengasuh keponakannya. Diandra sendiri sama sekali tak keberatan karena ia sangat menyayangi keponakannya. Kapan lagi Leon akan bermanja-manja padanya. Waktu cepat berlalu, tanpa disadari, esok nanti mungkin Leon tak akan mau lagi berada dalam pelukan Diandra.

Setelah berpamitan pada orang tuanya, Diandra membawa Leon ke sebuh taman kota. Mengajak anak lelaki tersebut untuk berolah raga sekaligus bermain. Setelahnya nanti Diandra berjanji akan membawa Leon bermain sepuasnya seharian ini. Tentu saja saat dijanjikan bermain oleh Diandra, Leon langsung bersemangat.

“Tapi pertama-tama, kita harus olah raga dulu ya. Biar badan Leon sehat.”

“Tapi nanti Tante Didi janji ajak main kan?” Leon bertanya kembali. Berusaha meyakinkan diri akan janji Diandra.

“Janji!”

“Hore …” Leon berlari penuh semangat mengitari pelataran taman. Membuat Diandra harus berlari mengejar anak itu.

“Leon! Hati-hati!” teriak Diandra.

Meski masih kecil kemampuan anak itu berlari patut Diandra acungi jempol. Gerakan Leon begitu gesit. Anak lelaki tersebut seperti memiliki tenaga berlebih. Diandra sampai kewalahan untuk mengejarnya.

“Jangan lari-larian begitu. Bahaya. Nanti kamu nabrak orang gimana? Tante Didi juga nggak punnya tenaga ekstra buat ngejar kamu.” Diandra memperingatkan keponakannya ketika berhasil menangkap Leon.

“Olah raga santai saja. Lihat yang lain tuh, cuma lari-lari kecil dan jalan santai. Oke?” Leon mengangguk paham. “Nah, jalan sama-sama Tante Didi ya. Jangan jauh-jauh, nanti Tante Didi susah cari kamu.”

Setelah memberikan peraturan pada Leon, Diandra pun mengajak keponakannya untuk berolah raga ringan. Mereka memulai dengan mengelilingi pelataran taman. Setelah dirasa cukup, Diandra mengajak Leon untuk mencari makanan atau minuman.

“Tante Didi, boleh main di sana?” tunjuk Leon pada ruang bermain anak di taman tersebut.

Diandra pun mengangguk. Ia mengikuti langkah Leon kea rah taman bermain anak. Banyak ana-anak bermain di sana ditemain orang tua atau pengasuhnya. Diandra memilih mengawasi Leon dari sebuah kursi batu yang berada di bawah pohon rindang. Sesekali Diandra tersenyum saat melihat ulah keponakannya yang aktif. Hingga saat Leon tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis kecil hingga membuat anak tersebut menangis. Segera Diandra berlari menghampiri. Bertepatan dengan seorang pria yang juga menghampiri ke arah Leon dan anak perempuan tersebut.

“Papa …” rengek anak perempuan itu yang langsung meraup dalam pelukan ayahnya.

Diandra sendiri langsung merangkul keponakannya yang tampak takut karena tak sengaja menjatuhkan anak perempuan tersebut.

“Tante Didi …” panggil Leon dengan suara parau.

Tepat saat itulah ayah dari anak perempuan itu menoleh pada Diandra. Detik itu juga waktu seakan berhenti bagi Diandra dan pria yang tak lain adalah Shaun. Tatapan keduanya saling mengunci. Hingga rengekan dari anak perempuan Shaun membuat kesadaran kedua orang dewasa tersebut kembali.

“Mana yang sakit?” tanya Shaun lembut pada Giza.

Suara yang mampu membuat relung hati Diandra bergetar. Tapi cepat-cepat Diandra menyadarkan dirinya.

“Leon, minta maaf ya. Kan sudah salah nggak hati-hati dan nabrak temannya jatuh.”

Leon mengangguk. Anak lelaki tersebut dengan patuh mendekati Giza yang masih berada di pelukan ayahnya. Tangan kanannya terulur ke hadapan Giza. Sembari mengucapkan kata maaf. Giza sendiri masih terdiam. Wajah bingungnya menatap sejenak pada sang ayah. Hingga anggukan kecil Shaun membuat Giza akhirnya menerima uluran tangan Leon.

“Lain kali hati-hati ya,” ucap Giza kemudian.

“Iya!” balas Leon. “Mau main lagi?”

Sebentar saja perseturuan kedua anak itu terselesaikan. Bahkan kini keduanya tampak akrab bermain bersama. Meski usia Giza lebih tua dibandingkan Leon, tapi sebagai anak lelaki jiwa melindungi Leon sudah melekat sejak kecil. Sebisa mungkin ia berhati-hati agar tak menyakiti Giza dan anak-anak lainnya.

Berbeda dengan kedua anak tersebut, Diandra dan Shaun masih berada dalam fase canggung. Mereka hanya berdiri bersisian dengan jarak tak kurang dari semeter. Keduanya masih tak tahu harus bagaimana setelah sekian tahun tak saling bertemu. Tapi dalam benak masing-masing jelas sedang bersepekulasi perihal kehidupan yang mereka jalani.

“Apa kabar, Diandra?” Shaun lah yang lebih dulu memutus kecanggungan.

Diandra sempat terkejut, namun secepatnya gadis itu menormalkan ekspresinya. “Baik.”

“Kamu … sudah menikah?”

Dahi Diandra berkerut. Sekian banyak pertanyaan, mengapa Shaun justru mengajukan pertanyaan tersebut. Lagi pula mau Diandra sudah menikah atau belum, tidak ada hubungannya dengan Shaun. Mereka sudah memiliki kehidupannya masing-masing. Dan Diandra bisa melihat Shaun hidup bahagia. Terbukti dengan adanya anak perempuan tersebut.

“Itu privasi saya.” Hanya itu jawaban yang diberikan Diandra.

Shaun mengangguk kecil. Ia sadar, tak seharusnya bertanya perihal tersebut pada Diandra. Ia tak memiliki hak atau kepentingan akan kehidupan Diandra.

“Kamu … benci saya?”

Kembali Shaun mengajukan pertanyaan yang membuat Diandra terkejut. Gadis itu kemudian menolehkan wajahnya pada Shaun. Menatap Shaun dengan seksama. Tak ada yang berubah. Pria itu tetap tampan. Meski kerutan tampak samar menghiasi wajahnya menandakan usia Shaun yang makin bertambah. Tapi Diandra akui, pria itu tetap tampan dan memiliki pesona tersendiri.

Tidak! Bukan saatnya Diandra mengagumi sosok Shaun. Walau ada hal baik juga karena saat memandang wajah Shaun, Diandra tak lagi merasakan Sesuatu tergores di hatinya. Menandakan ia sudah semakin baik dalam kedewasaannya dalam mengontrol diri.

“Saya nggak pernah benci kamu. Sakit hati, mungkin dulu. Tapi sekarang tidak lagi. Buktinya, saya bisa berhadapan dengan kamu lagi. Waktu mengajarkan saya banyak hal. Dan sangat benar, waktu menjadikan kita semakin kuat dan dewasa.” Diandra menjeda. “Tapi saya minta maaf. Harusnya saya yang bertanya, kamu benci saya?”

Shaun kini dengan berani menatap wajah Diandra. Ada rasa yang tak pernah bisa hilang di mata keduanya. Tapi mereka tahu, rasa itu cukup dirasakan oleh keduanya tanpa perlu ditunjukkan pada dunia.

“Saya nggak pernah benci kamu.” Shaun mengalihkan sejenak pandangannya pada kedua anak yang masih asyik bermain tersebut. “Bahkan, cinta yang selalu berusaha saya kubur dalam-dalam untuk kamu masih tetap ada.”

Diandra menundukkan wajahnya. Ada senyum terbit di sudut bibirnya yang tak ingin ia tunjukkan pada Shaun.

“Tapi … kita sudah menemukan apa yang kita butuh, ya kan?”

Shaun mengangguk setuju. Keduanya kemudian bersama-sama menatap Leon dan Giza yang kini sedang bermain ayunan. Dengan Leon yang menjadi pendorongnya. Giza sendiri sudah tertawa-tawa ketika tubuhnya melayang tinggi karena dorongan Leon. Senyum terbit di masing-masing wajah Shaun dan Diandra. Tawa bahagia kedua anak kecil tersebut seperti menajdi refleksi bahwa mereka pun sudah menemukan kebahagiaan masing-masing. Meski tak bersama, tapi bukan berarti Shaun dan Diandra tak bisa menggapai bahagia mereka. Seperti yang sudah mereka lakukan selama ini. Keduanya tak akan pernah menyesal pernah dipertemukan. Pernah merasakan jatuh cinta. Pernah merasakan luka karena cinta. Karena pada akhirnya mereka menemukan keberuntungan dalam ketidak adilan cinta yang sempat mereka rasakan.



Note : Sudah. Itu saja. Ini ending tervangke yang pernah kubuat sumpah. Tapi entah kenapa aku senang, HAHAHAHAH. Mereka sudah selesai. Jangan tanya-tanya lagi ya. Kita cukupkan saja, wkwkwkwkwk

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Pss : jangan lupa dengerin mulmed. Itu sesuai judul dan entah kenapa kumerasakan adanya korelasi antara lagu itu dan ending cerita ini, hahahah

Rumah, 22/19/07

Abstrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang