Melangkah maju, adalah hal yang dilakukan Diandra. Tak mudah untuknya kembali berdiri tegak. Tapi Diandra akhirnya mampu melakukannya. Keluarga dan sahabat setianya selalu berdiri di sisinya. Mendampingi ketika gadis itu kehilangan arah untuk melangkah. Sisa cinta itu tentu saja tak sepenuhnya hilang dari hati Diandra. Tapi gadis itu mampu menguncinya di sudut terdalam. Hingga kini ia mampu menegakkan kepala dan tersenyum seperti Diandra sebelumnya.
Sudah setahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Shaun. Tak ada kabar apapun yang Diandra dengar. Dan memang gadis itu sendiri yang membatasi dirinya untuk tak mencari tahu. Meski mudah saja dengan perantara Maria. Tapi Diandra sudah bertekad tak akan terjebak lagi dalam perasaan yang ia sebut abstrak.
Bukan tanpa sebab Diandra menyebut perasaannya dahulu terhadap Shaun adalah sebuah bentuk abstrak. Cinta itu ada dan nyata. Hanya saja bagi Diandra itu seperti sebuah lukisan tanpa rupa yang Diandra pun tak mampu mengukir maknanya. Karena nyatanya baik ia dan Shaun, sama-sama tak bertahan dalam rasa cinta tersebut.
“Kamu sudah terima email dari klien kita kan, Diandra?” Dewa menghampiri Diandra yang sedang berkutat di depan meja kerjanya.
Diandra mengangkat kepala, menatap sang atasan. “Sudah. Nanti sore katanya klien akan datang untuk membahas lebih lanjut detailnya.”
Sudah beberapa bulan Diandra memang bekerja di florist milik Dewa. Secara tak sengaja gadis itu mengajukan diri kala datang berkunjung ke kafe milik Dewa. Awalnya pria itu pikir Diandra hanya bercanda. Karena menurutnya mana mungkin gadis seperti Diandra bersedia bekerja di sebuah florist kecil seperti miliknya. Tapi saat Diandra mengatakan bahwa saat itu dirinya adalah pengangguran, Dewa pun mengabulkan keinginan gadis itu. Terlebih saat mereka semakin dekat tak hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai teman. Dan Dewa pun tahu perjalanan cinta Diandra yang tak mulus dari bibir gadis itu sendiri. Itulah salah satu sebab Dewa mengizinkan Diandra bekerja di floristnya. Sebagai bentuk dukungan untuk membantu gadis itu memulihkan patah hatinya.
Kedekatan Diandra dan Dewa sempat menumbuhkan harapan pada keluarga Diandra. Terutama kedua kakak lelakinya. Tapi hingga saat ini pun, Diandra merasa nyaman bersama Dewa dalam hubungan pertemanan mereka. Begitu pun Dewa yang sama sekali tak menunjukkan tanda bahwa ia memiliki perasaan lebih terhadap Diandra.
“Sudah waktunya makan siang. Kamu nggak mau istirahat dulu?” Tanya Dewa saat melihat Diandra masih berkutat di meja kerjanya.“Sebentar lagi.”
“Sebentar lagi tuyul kecil itu akan datang dan gangguin waktu makan siang kamu.”
Diandra tertawa. Sangat tahu siapa yang dijuluki sebagai tuyul kecil oleh Dewa. Siapa lagi jika bukan Fika, keponakan Dewa sendiri. Sejak mengetahui jika Diandra bekerja bersama pamannya, Fika sangat sering mengganggu Diandra. Meski Diandra sama sekali tak keberatan dengan gadis kecil itu. Tapi Dewa takut kehadiran Fika akan menghambat pekerjaan Diandra.
Benar saja, lima belas menit kemudian, teriakan menggema terdengar dari arah pintu masuk florist. Fika dengan kotak bekal makan siangnya segera menghampiri Diandra. Mengajak gadis itu untuk makan siang bersama. Dewa hanya bias menggeleng pasrah kala keponakannya menarik tangan Diandra untuk mengajaknya makan siang bersama.
Keduanya lantas menaiki tangga menuju atap florist yang diubah menjadi taman kecil oleh Dewa. Tempat paling nyaman yang menjadi pojok kesukaan Diandra dan Fika. Gadis kecil yang sebentar lagi beranjak remaja tersebut begitu senang setiap kali bersama Diandra. Mungkin karena Fika merasa kembali menemukan sosok ibu dalam diri Diandra.
“Hari ini Fika bawa bekal tempura sama chicken katsu, Tante Di,” ujar gadis kecil itu sembari membuka kotak bekalnya.
“Wah, enak banget. Ini siapa yang masak? Bibi?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Abstrak
RomanceJatuh cinta punya banyak rupa. Bahkan mungkin yang tak dapat dijelaskan bentuknya.