Cukup lama Diandra dan Shaun dalam posisi berpelukan. Pria itu dengan sabar menunggu hingga isakan Diandra mereda. Diandra pun seolah lupa dengan rasa kecewa dan sakit hatinya. Ia membiarkan dirinya terlena dalam pelukan Shaun. Karena entah mengapa pelukan Shaun serasa menjadi tempat ternyaman baginya.
Mungkin jika perut keduanya tak berbunyi, mereka akan betah berpelukan sepanjang waktu. Tapi tak mungkin bagi Shaun membiarkan gadis itu kelaparan. Karenanya ia berinisiatif untuk memesan makanan dari restoran langganannya yang memang menyediakan layanan pesan antar.
Hampir lima belas menit kemudian pesanan mereka datang. Shaun terpaksa melepas pelukannya untuk menghampiri sang kurir di depan pintu. Setelah membayarkan pesanan, Shaun langsung membawanya ke ruang makan. Menyiapkan semua dengan baik. Lalu mengajak Diandra untuk makan malam.
“Kamu suka ayam bakar?” tanya Shaun ketika membantu gadis itu duduk di kursinya. Diandra hanya mengangguk. Ia bukanlah orang yang pemilih dalam urusan makan.
Selama makan malam, pandangan Shaun tak pernah lepas dari Diandra. Meski gugup, Diandra mencoba untuk menutupi dan bersikap biasa. Terlebih dengan tatapan Shaun yang tak pernah lepas darinya, makin membuat Diandra tak karuan.
Shaun sendiri benar-benar tak bisa melepaskan pandangan dari Diandra. Seolah jika ia berkedip sekejap saja, sosok Diandra akan menghilang. Dirinya sungguh mendapatkan karma yang langsung berbayar atas pengkhianatannya pada Diandra. Dengan perasaan was-was akan kehilangan gadis itu.
“Kenapa daritadi lihatin aku terus?” tanya Diandra akhirnya.
“Saya hanya ingin meyakinkan diri saya bahwa kamu saat ini nyata. Ada bersama saya.”
Sisi tololnya merongrong isi kepala Diandra. Hati gadis itu berbunga tanpa bisa dicegah. Harusnya Diandra sadar, bisa mematikan dari ucapan Shaun adalah hal yang patut gadis itu waspadai. Tapi lagi-lagi, perasaan lebih mendominasi Diandra dibandingkan akal sehatnya.
Setengah jam kemudian, keduanya sudah kembali duduk berdampingan di sofa ruang tamu. Diandra yang mencoba menjaga jarak aman sama sekali tak diizinkan Shaun untuk bergerak seinci pun menjauh darinya. Hingga gadis itu hanya bisa pasrah saat Shaun mencengkeram kedua pergelangan tangannya. Memaksa tubuh Diandra agar berhadapan dengannya.
“Apa?” tanya Diandra ketika Shaun belum juga bersuara.
“Saya butuh kesempatan kedua dari kamu.”
Lama Diandra hanya menatap Shaun. Mengikuti keinginan hatinya, Diandra sangat ingin memberikan pria itu kesempatan. Tapi rasa ragu jelas ada dalam hatinya. Ia benar-benar takut Shaun akan kembali mengkhianatinya. Buktinya saja wanita dari masa lalu Shaun masih berkeliaran di sekitar pria itu.
“Aku takut ...”
“Jangan. Saya janji Diandra. Kali ini, saya benar-benar akan menjaga kepercayaan kamu. Saya akan buktikan itu. Saya benar-benar sudah jatuh cinta pada kamu.”
Mata Diandra mengerjap. Tak menyangka kalimat itu akan benar-benar terlontar dari bibir Shaun. Terlebih saat gadis itu akan menjawab, Shaun lebih dulu membungkam bibirnya dengan ciuman. Ciuman mampu membuat Diandra kembali kehilangan akal sehatnya. Beruntung Shaun melepaskan ciumannya kemudian. Hingga Diandra tak perlu merasakan kekurangan oksigen lebih lama dan mabuk akan ciuman pria itu.
“Berikan saya kesempatan, Diandra,” bisik Shaun.
Jarak bibir keduanya hanya beberapa senti. Jelas hal itu tak menguntungkan Diandra. Karena logika gadis itu dibungkam oleh deru napas dan detak jantungnya yang tak beraturan.
“Kamu janji nggak akan nyakitin aku lagi?” balas Diandra lirih.
Shaun mengangguk pasti. “Saya janji, Diandra.”
Diandra mengangguk. Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya pada dekapan Shaun yang dibalas pria itu tak kalah erat. Diandra tahu dirinya sudah seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama. Tapi ia tak peduli. Baginya kebahagiaannya yang utama. Manusia bisa berubah, dan ia pun ingin percaya bahwa Shaun akan berubah demi dirinya.
Meski ingin berlama-lama bersama gadis itu, tapi Shaun tak mungkin bisa menahan keberadaan Diandra. Ia harus mengantar Diandra pulang jika tak ingin bermasalah dengan keluarganya. Selama di perjalanan, kedua insan yang sedang dimabuk cinta itu seakan tak bisa melepas diri satu sama lain. Genggaman jemari yang kian erat seolah jadi penanda keduanya tak terpisahkan. Hingga mobil Shaun berhenti beberapa meter dari rumah Diandra. Terpaksa keduanya melepas tautan jemari masing-masing.
“Istirahat yang nyenyak. Semoga malam ini kamu mimpi indah,” ucap Shaun sebelum melepas Diandra.
Gadis itu hanya mengangguk. Tapi pancaran bahagia di wajahnya tak bisa Diandra tutupi. Sebelum ia keluar dari mobil Shaun, sekali lagi Diandra memberanikan diri. Mengecup singkat bibir Shaun hingga pria itu terperanjat.
“Ingat janji kamu.”
Diandra kemudian bergegas keluar dari mobil Shaun. Tanpa menoleh lagi gadis itu segera berlari ke arah rumahnya. Jalanan malam yang sepi membuatnya bebas bergerak. Namun sebelum membuka gerbang rumahnya, sekali lagi Diandra melayangkan pandangan ke arah mobil Shaun yang masih tak bergerak. Gadis itu melambaikan tangan sembari tersenyum. Lalu menghilang dari pandangan Shaun.
Di dalam mobilnya, Shaun masih bergeming. Pria itu kembali memutar kejadian beberapa saat lalu bersama Diandra. Ini gila. Sesuatu paling gila yang memang pernah dilakukan Shaun di dalam hidupnya. Tapi Shaun juga sadar, inilah yang diinginkan hatinya. Bersama Diandra. Entah bagaimana kelanjutan hubungan mereka nantinya, itu bisa dipikirkan nanti. Saat ini ia hanya ingin menjalaninya sebaik mungkin.
Hal terpenting yang harus ia lakukan mulai kini adalah menjaga dirinya. Dari segala hasrat liar yang selama ini menjadi bagian dari hidup Shaun. Tak mudah mendapatkan kesempatan kedua. Meski ia tahu Diandra adalah gadis baik hati yang dibutakan oleh cinta. Bukan tak mungkin jika Shaun mengulang kesalahan yang sama, gadis itu akan menutup rapat-rapat kesempatan untuknya. Jelas Shaun tak menginginkan itu.
...
Ada yang berbeda dari Diandra. Maria bisa melihat hal itu dengan jelas. Tak ada lagi raut murung dan sendu di wajah sahabatnya. Dan Maria jelas tahu bahwa hal itu berhubungan dengan hubungannya dan Shaun. Maria sudah gatal ingin menginterogasi gadis itu dengan berbagai pertanyaan. Tapi ia masih harus bersabar karena saat ini mereka masih berada di kantor.
Maria tahu betul, kemarin Diandra masih lah si naif yang patah hati. Tapi pagi ini ketika mereka bertemu di kantor, ada aura berbeda dalam diri Diandra. Jika sampai spekulasinya benar, maka Maria akan menjadi orang yang paling menentang kebodohan gadis itu.
“Di, mau makan di mana?” tanya Maria, waktu makan siang mereka hampir tiba.
Diandra yang masih berkutat dengan komputernya berpikir sejenak. Ia ingin mencoba makan di tempat lain. Seketika ingatannya langsung terarah pada kafe dan florist Afikah. Sosok gadis kecil itu membuat Diandra rindu untuk bercengkerama dengannya. Padahal mereka baru saling mengenal.
“Makan di kafe Afika yuk.”
“Hah?” Maria terperangah. “Di mana itu?”
“Nanti aku kasih tahu.”
Sesuai keinginan Diandra, jadilah siang itu mereka mampir ke kafe Afika untuk makan siang. Pertama kali menginjakkan kaki di kafe itu, Maria merasa nyaman. Suasana di kafe itu benar-benar membuat pengunjungnya betah. Terlebih dengan adanya bunga-bunga segar menghiasi kafe. Mereka sengaja memilih meja yang dekat dengan jendela kaca besar yang mendominasi sebagai dinding kafe. Membuat pengunjung bisa menikmati makanan sambil memandangi jalanan.
“Tante Didi?” teriakan tak asing menyapa telinga Diandra.
Afika, gadis kecil itu berlari menghampiri Diandra dan Maria. Melihat bagaimanan Diandra tersenyum pada gadis kecil yang menghampiri mereka, membuat Maria bertanya-tanya.
“Halo, Afika? Apa kabar?” tanya Diandra ketika gadis itu sudah berada di hadapan mereka.
“Afika baik, Tante.”
“Siapa?” Maria menyela.
“Oh, anak yang punya kafe. Enggak lihat nama kafe dan florist ini?”
Maria hanya mengangguk. Tepat setelahnya seorang pramusaji mendatangi meja mereka untuk mencatat pesanan. Melihat Diandra yang masih sibuk meladeni gadis kecil yang ikut bergabung bersama mereka, Maria memilih untuk memilih makanan. Setelah menentukan pilihannya, ia bertanya pada Diandra.
“Afika mau makan siang juga?” Diandra kembali bertanya pada Afika.
“Enggak usah, Tante. Afika sama Om Dewa makan di kantor aja. Afika pamita ya.” si kecil berpamitan pada Diandra dan Maria yang dibalas kedua gadis itu dengan lambaian dan anggukan.
“Saya pesan nasi ayam dan jus jeruknya saja, Mbak.”
Pramusaji tersebut segera mencatat pesanan kemudian berpamitan. Selama menunggu, Diandra memilih untuk fokus pada ponselnya. Hal itu ia lakukan karena ia tahu Maria ingin mengorek informasi darinya.
“Darimana lo kenal anak kecil tadi?” tanya Maria tiba-tiba.
“Oh, Afika? Enggak sengaja ketemu di taman seberang.”
“Kapan?”
“Saat aku bolos ngantor.”
Maria mengangguk. “Oh, saat lo sakit hati karena Om Shaun?”
Diandra meneguk air putih di depannya yang memang tadi disediakan. Gadis itu menatap Maria dengan mata polosnya. Berharap sahabatnya itu tak menginterogasinya saat ini.
“Enggak usah sok polos. Lo tahu apa mau gue kan, Di?”
Diandra tahu ia tak akan bisa menghindar. Karenanya ia mengangguk. “Nanti. Pulang kantor ya?” pinta Diandra.
Maria akan protes, tapi ia tahu, mereka tak memiliki cukup waktu. Jam makan siang tak akan cukup bagi Maria untuk berkonfrontasi dengan Diandra. Maria bisa menebak bahwa apa yang akan disampaikan Diandra jelas akan membuatnya meledak. Karena itu mereka butuh waktu dan ruang yang jauh dari hiruk pikuk orang lain.
Kembali ke kantor setelah menikmati makan siang yang menurut Maria memang luar biasa enak, membuat perasaan gadis ituu sedikit membaik. Meski ia masih penasaran setengah mati akan Diandra, tapi Maria mencoba menahan diri hingga waktu pulang kantor nanti.
Diandra sendiri menyelesaikan segala pekerjaannya dengan baik. Meski ia dan Shaun sudah berbaikan, bukan berarti ia akan menarik kembali surat pengunduran dirinya. Lagi pula, mungkin memang lebih baik jika ia dan Shaun tak bekerja di kantor yang sama.
“Pak Shaun ingin bertemu dengan kamu.” Lani tiba-tiba muncul di depan meja kerja Diandra. Membuat gadis itu terlonjak kaget.
Bukan hanya Diandra, mungkin beberapa orang yang mendengar apa yang Lani katakan pun sama terkejutnya. Memangnya ada apa hingga Diandra, yang seorang staff biasa saja sampai harus berhadapan dengan Shaun, atasan mereka.
“Ada apa ya, Bu?” Diandra mencoba bertanya.
“Mengenai pengunduran diri kamu.”
Beberapa orang yang tadinya penasaran akhirnya merasa maklum. Hanya Maria yang masih menatap Diandra penuh selidik. Shaun memang atasan mereka. Tapi Maria yakin pemanggilan Diandra kali ini tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Diandra pun meski bingung, akhirnya berpamitan pada Lani untuk segera menemui Shaun.
Sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tiba di depan pintu ruangan Shaun. Setelah mengetuk dan dipersilakan masuk, Diandra melangkah ke dalam ruangan. Di meja kerjanya, Shaun tampak serius bekerja. Wajah matangnya yang dibingkai kaca mata terlihat lebih dewasa dari biasanya. Membuat Diandra berdiri terpaku menatap pria itu.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di sana dan menatap saya?” tegur Shaun hingga gadis itu tergeragap. “Duduk, Diandra.”
Patuh, gadis itu duduk di sofa yang memang ada di hadapan meja kerja Shaun. Sofa yang mungkin berfungsi untuk menjamu tamu yang datang ke kantor Shaun. Selagi Shaun masih tetap fokus pada pekerjaannya, mata Diandra menjelajah seisi ruangan. Tak ada yang spesial dari ruangan itu. Kecuali sofa yang kini ia duduki. Pikiran Diandra segera berkelana. Mungkinkah Shaun pernah melakukan hal yang tak pantas bersama wanitanya di ruangan ini?
Menyadari kebodohannya, Diandra memukul pelan kepalanya. Gadis itu mengembuskan napas hingga anak rambut di atas kepalanya bergerak karena tiupan napasnya. Hal itu tak lepas dari pandangan Shaun yang ternyata sejak tadi sudah memerhatikan Diandra.
“Kenapa kamu menghela napas begitu?”
Diandra menaikkan pandangan hingga bertemu mata dengan Shaun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. “Jawab jujur ya, Pak Shaun pernah ... pernah ...” entah mengapa Diandra tak sanggup mengutarakannya.
Shaun seperti bisa menebak apa yang gadis itu pikirkan. Karenanya ia memilih meninggalkan pekerjaannya dan ikut bergabung bersama Diandra di sofa.
“Sama sekali tidak. Saya bukan orang yang tak bisa membedakan profesionalitas dalam bekerja, Diandra.”
Diandra menundukkan kepalanya. Merasa malu akan spekulasinya. Jemari Diandra saling meremat di atas pangkuannya. Hal itu tak luput dari perhatian Shaun. Perlahan pria itu mendekatkan diri pada Diandra. Meraih jemari Diandra dan mengurainya.
“Maaf. Wajar kalau kamu berpikir seperti itu. Karena kenyataannya hidup saya memang nggak jauh dari hal seperti itu.”
Diandra mengerjap perlahan. “Harusnya aku yang minta maaf.”
“Bukan salah kamu,” ujar Shaun sembari mengelus lembut kepala Diandra.
Sempat gadis itu terlena sejenak hingga akhirnya ia sadar tujuannya datang ke ruangan Shaun.
“Oh, ya, kenapa Pak Shaun manggil saya?” tanyanya kemudian.
Shaun berhenti mengelus kepala Diandra. Kini menegakkan tubuhnya di hadapan gadis itu.
“Perihal pengunduran diri kamu. Kamu yakin mau resign?”
“Yakin. Mungkin lebih baik kalau kita nggak kerja di kantor yang sama. Meminimalisir ketahuan,” ucap Diandra dengan nada bercanda.
“Saya serius, Diandra.” Meski begitu senyum tak lepas dari wajah tegas Shaun.
“Aku juga serius. Rasanya was-was kalau kita masih satu kantor. Gimana kalau ketahuan. Sekarang saja Maria sudah curiga,” keluh Diandra.
“Jangan khawatirkan, Maria. Biar saya yang tangani anak itu.”
Diandra menaikkan sebelah alisnya. “Yakin?”
Sekali lagi Shaun mengelus kepala Diandra. “Yakin. Jadi, di mana kamu akan bekerja setelah ini?”
“Ehm, belum tahu. Lihat nanti deh.”
Diandra kemudian diam. Menikmati usapan lembut tangan Shaun di kepalanya Jika saja tak ingat bahwa keduanya masih berada di kantor, mungkin mereka akan betah dalam posisi seperti itu. Atau bahkan yang lebih intim.
“Aku balik kerja ya. Nanti yang lain curiga kalau aku nggak balik-balik juga.”
Diandra berdiri dari duduknya. Namun ketika gadis itu akan meninggalkan ruangan Shaun, pria itu mencekal pergelangan tangannya. Hingga Diandra tertahan. Gadis itu menatap Shaun dengan pandangan heran. Hingga tiba-tiba Shaun berdiri dan melayangkan satu ciuman ringan di bibirnya. Membuat Diandra mematung di tempatnya.
“Sekarang kamu boleh kembali bekerja.”
Shaun kembali ke kursi kerjanya. Seolah tak peduli akan apa yang baru saja ia lakukan. Bahkan tak ambil pusing dengan Diandra yang masih berdiri kaku. Hingga suara Shaun memerintahkan Diandra untuk keluar dari ruangannya menyadarkan gadis itu. Dengan langkah linglung Diandra keluar dari ruangan Shaun. Tak berani menoleh lagi. Meninggalkan Shaun yang tersenyum simpul sembari menekuri pekerjaannya.
...
Note ; Didi dan om kambing kembaleeee. Akhirnya ya setelah hiatus yang cukup panjang. Lapak ini dipupuk juga, hahaha. Siapa yang mau ngebego-begoin Didi? Ayo silakan, wkwkwkwk
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 20/19/03
Uri Didi and Maria 😋 silakan imajinasikan sendiri ya 😁
Dan, ini bukan om kambing tolong 😂 aku cuma mau nunjukin kalau masih ada om duda hawt meski umur sudah 40an. Dan om ini salah satunya 😋 duda, 40an, tapi masih cakep dan stamina jangan ditanya 😂😂. Jadi gak ada yg gak mungkin di dunia wattpad ini ya *ngeles mode on* 😋
KAMU SEDANG MEMBACA
Abstrak
RomanceJatuh cinta punya banyak rupa. Bahkan mungkin yang tak dapat dijelaskan bentuknya.