Tap, tap, tap.
Aku berjalan. Kuturunkan mulut topi sampai menutupi mata, kueratkan tali tas yang beratnya mungkin sudah bertambah menjadi ribuan ton. Langit sudah menggelap dan bulan temaram menandakan akhir bulan. Rasanya sunyi mencekam sampai tenggorokan. Aku berdeham pelan.
Tap, tap, tap.
Keberanian datang di waktu yang mendesak. Leher terasa mau patah, tapi aku tidak bisa berhenti. Jalan terus, sekarang atau tidak sama sekali. Bukannya mau jadi anak nakal, hanya saja butuh lebih dari sekerat impian buat menuntaskan rasa penasaran. Tahu, kan, kalau rasa penasaran itu bisa membunuh? Dia akan menggerogoti selebrummu pelan-pelan dan mengisinya dengan serotonin tidak berguna sehingga kau akan terus-terusan mengkhayal tanpa henti.
Aku tidak mau mati pelan-pelan hanya karena otakku habis digerogoti rasa penasaran. Barang kali aku salah, tapi itu yang kupercayai.
Tap, tap, tap, tuk!
Sebuah batu kerikil menahan langkahku. Jempolku yang terkurung dalam sepatu vans putih terasa sakit sekali. Campuran antara geringgingan karena terlalu lama tertekuk dalam bus dan sakit karena tersandung batu.
"Kamu tersesat?"
Aku mengangkat ujung topi dan mencengkeram pegangan koper dengan lebih erat. Setelah sepersekian sekon, kakiku kembali melangkah tanpa menoleh.
Bukannya mau bertindak tidak sopan dengan mengabaikan kata-kata orang lain. Masalahnya, orang yang bertanya padaku itu adalah laki-laki bertubuh tinggi besar yang berada di belakang tiang listrik karatan 2 meter di belakangku. Laki-laki itu sesekali mengintip ke arahku. Tangan kanannya memegang tiang listrik dan tangan kirinya memeluk boneka panda.
Aku ulangi sekali lagi.
Tangan kanannya memegang tiang listrik dan tangan kirinya MEMELUK BONEKA PANDA.
Laki-laki dewasa mana yang memeluk boneka panda?
Aku hanya memandangnya sekilas, lalu cepat-cepat berjalan meninggalkan orang aneh itu di belakang. Tapi bisa kurasakan kalau dia mengikutiku, karena aku mendengar langkah kakinya yang pendek-pendek dan diseret. Semakin kupacu langkahku, semakin cepat bunyi kaki yang diseret itu. Dan dia terus mengikuti seperti layangan putus yang benangnya tersangkut di ujung sepatu.
Aku tidak tahan. Sampai di ujung jalan, aku berbalik dan melotot kepadanya.
"Apa, sih maumu?"
Dia mengedip. "Saya mau tolong kamu."
"Aku enggak butuh ditolong," jawabku ketus. "Pergi sana!"
"Kamu tersesat, kan?" tanyanya keras kepala sambil mengikutiku. Aku memperbaiki letak tas besar di punggung supaya lebih simetris dan tidak berat sebelah sambil dengan susah payah menyeret koper di trotoar. Kuabaikan keberadaan lelaki yang sudah membayangi sejak aku turun dari bus 15 menit lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beruang Panda
Ficción GeneralBinda datang ke kota untuk mencari donaturnya. Kuma memiliki kamar kosong yang ingin disewakan. Mereka bertemu dan menjalin takdir yang sudah terikat.