Terima kasih telah menghidupiku selama 18 tahun belakangan.
Terima kasih telah menjadi orangtua virtualku yang tak berwujud.
Terima kasih untuk surat-suratmu setiap bulan, yang bisa membuat aku bertahan untuk tetap hidup, demi sebuah surat warna-warni di kotak pos usang.
Terima kasih untuk kartu-kartunya: kartu untuk ulang tahunku, untuk tahun baru masehi, untuk tahun baru hijriah, untuk bulan ramadhan, untuk hari raya idul adha, untuk hari raya idul fitri, untuk hari-hari dimana kamu pergi ke luar negeri.
Terima kasih untuk buket-buket bunga dan kotak-kotak hadiahnya yang datang tepat waktu di hari-hari yang penting: ketika aku mau ujian, ketika kenaikan kelas, ketika mendapat peringkat satu di sekolah, di hari kelulusan, hari pertama masuk SMP, hari pertama masuk SMA, kelulusan SMA.
Aku akan membalasnya. Aku tidak suka hutang budi, apalagi hutang emas. Karena aku tidak punya banyak emas untuk membayarnya kembali. Dan setiap hutang akan dihitung di akhirat nanti. Aku enggak mau malu di depan Tuhan. Masa menghadap Dia dengan membawa hutang?
Jadi aku akan pergi, ke daerah rantau, untuk mengganti semua biaya yang dikeluarkan selama menghidupiku. Jumlah hutangku sudah aku hitung. Dan pernyataannya terlampir bersama surat ini dengan materai 6000.
Jangan mencariku ke mana-mana, karena aku akan ada di mana-mana.
Salam hangat,
Binda
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lampu kamar sudah aku matikan sejak tadi, biar orang-orang menyangka aku telah tidur. Tapi sesungguhnya aku tidak bisa tidur, mataku menolak untuk istirahat. Sebagai gantinya, sejak adzan isya selesai berkumandang tadi aku berkemas. Memasukan pakaian secukupnya ke dalam tas dan beberapa hal lain yang kukira perlu untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh. Tirai-tirai kamar kubuka lebar-lebar, membiarkan cahaya lampu di teras masuk melalui kaca jendela yang bening. Dekut burung hantu terdengar dari kejauhan, dengan bulan purnama penuh yang menggantung di sepertiga langit, tertutupi awan abu-abu besar.
Malam yang sempurna.
Kamu enggak bisa pergi begitu saja, pikirku sebentar.
Tapi, aku sudah meninggalkan surat di dalam rumah itu.
Sejujurnya surat bukan hal yang tepat untuk menjadi media berpamitan.
Terus bagaimana? Pamit baik-baik? Tidak perlu mendengar dekut burung hantu dan berangkat ketika malam sedang gelap-gelapnya, jika aku mau berpamitan secara tatap muka!
Surat yang kamu tinggalkan itu butuh sebuah kejelasan. Beri satu janji.
Janji?
Ya, janji.
Seperti biasa. Kepalaku, pikiranku ini seperti bukan milikku sendiri. Aku tidak bisa bebas mengambil keputusan yang kumaui. Terbagi dua sisi. Selalu ada pro dan kontra dalam diriku sendiri dan itu selalu membuat bingung. Ini seperti aku punya 2 kepribadian tanpa kehilangan waktu-waktu. Seperti ada 2 kelompok massa yang saling menyerang, kemudian salah satunya akan menang oleh keputusan yang kadang-kadang aku sendiri meragukan keabsahannya.
Aku membuka kembali lipatan kertas dan menuliskan beberapa catatan di bawah tanda tangan. Bukan sebuah janji seperti yang dimaui sisi lainku, cuma sebuah pengertian singkat.
Aku mengendap-endap, lalu memasuki rumah itu lagi diam-diam. Melipat surat biru muda dan meletakannya di atas meja, kutindih dengan ujung vas bunga supaya tidak terbang tertiup angin atau jatuh ke selipan antara meja dengan dinding.
Kemudian aku kembali untuk mengganti pakaian dengan kaos lengan panjang, jaket, dan celana olahraga.
Tas besar berisi baju, alat mandi, pakaian dalam, handuk, alat cuci, pengisi daya, map ijazah. Jam tangan, dompet, telepon genggam tanpa kartu, kartu bus. Tas pinggang berisi peta, voucher-voucher diskon dari toserba yang pasti akan berguna suatu saat. Lengkap.
Kugeser pelan-pelan jendela kaca dan melompat keluar. Aku mendarat dengan ujung kaki, supaya tidak berisik dan malah membuat bangun seisi rumah. Setelah memastikan kondisi rumah ketika aku ada dan aku kabur tidak ada bedanya, aku mulai berjalan.
Selangkah demi selangkah. Ragu demi ragu. Pasti demi pasti. Pergi. Meninggalkan segala kenangan panjang yang akan terus membayangi selama hidup.
Aku tidak pernah menangis. Bahkan ketika dipukul dengan centong di kepala oleh Liana ketika umur 7, aku tidak menangis. Atau saat lututku dijahit karena jatuh didorong Liana saat umur 8 dan terkena ujung kerikil, aku tidak menangis. Menurutku menangis tidak membantu apa-apa. Kepalaku justru tambah pening, mukaku jadi bengkak, merah, dan jelek. Ingus meler kemana-mana dan air liur tumpah-tumpah.
Aku tidak suka menangis, tapi malam ini aku menangis.
Menangisi rumah di belakangku yang kelihatansemakin suram, padahal ada begitu banyak lampu LED yang menyala terang.Menangisi begitu banyak kenangan yang mesti kupikul sendirian di kepala,jejak-jejak kaki yang tidak bisa kuhapus di belakang tanpa menimbulkan jejakbaru, goresan-goresan cerita yang belum selesai dan menangisi banyaknya hutangyang harus aku bayarkan.