Kotak Pos di Ujung Jalan

158 8 12
                                    

Masalahnya adalah apa yang dikatakan laki-laki dengan boneka panda itu benar. Aku enggak tahu mau ke mana dan enggak tahu tempat apa yang sedang kujalani. Aku hanya melangkah lurus ke barat, yang semakin lama semakin sunyi. Ini situasi yang agak mengkhawatirkan bagi perempuan yang baru menerima KTP dan pertama kali ke kota.

Aku belum pernah ke kota. Tidak pernah terpikirkan bahwa kota bisa menjadi sebegini menakutkannya. Ramai, dingin, berisik, dan membuat adrenalin mengalir deras ke ujung-ujung syaraf.

"Saya pikir kamu tersesat."

Suara polos itu membayangi telingaku. Aku menggigit bibir, merasa jengkel sekaligus panik mengetahui apa yang dipikirkan laki-laki itu benar. Tapi dia sudah tidak ada di sini. Lagipula, kalau dia memang ada di sini dari tadi, mungkin aku sudah mati. Siapa tahu kalau sebenarnya dia orang jahat yang menyamar jadi anak polos?

Orang-orang jahat selalu bersembunyi di balik topeng manusia baik untuk melancarkan aksinya. Sekarang, banyak topeng-topeng orang baik yang dijual oleh pengalaman. Jadi, seharusnya tidak perlu lagi bertanya darimana orang jahat mendapatkan muka baik seperti itu.

"Kamu tersesat, kan?"

Aku menghentikan langkah dan berbalik. Rupanya suara itu nyata dan bukan cuma bayanganku semata. Laki-laki itu sudah berdiri tegak seratus meter di belakangku. Tubuhnya hanya membentuk siluet, karena lampu jalan menyinarinya dari belakang. Dalam posisi seperti ini, dia terlihat seperti tokoh utama komik yang ganteng dan kuat. Tapi boneka pandanya yang besar dan menutupi sebagian wajahnya yang nampak malu-malu itu merontokkan semua halusinasi.

"Ngapain kamu di situ?"

"Memastikan kalau kamu tidak tersesat."

Aku mengernyit, merasa terganggu dengan ucapannya yang ambigu dan terkesan memiliki modus tersembunyi. Aku menegakkan tubuh dan mengangkat dagu tinggi-tinggi.

"Apa maksudmu sebenarnya?"

Dia diam beberapa saat sambil bergerak-gerak tidak nyaman di tempatnya. "Saya cuma takut kamu tersesat."

"Kamu sindikat perdagangan manusia, ya? Mau culik aku buat diambil organnya? Atau aku mau dijual ke pasar gelap?"

Matanya yang tadi menatap dengan redup mendadak membeliak. "Enggak, kok. Saya bukan orang jahat."

"Terus ngapain kamu ngikuti aku sejak tadi kalau bukan orang jahat?"

"Saya cuma takut kamu tersesat."

Aku menghela napas. Menurutku, lelaki ini tidak memiliki banyak kosakata yang lain selain 5 kata tadi, yang terus diulang-ulangnya dalam percakapan. "Terus, kamu siapa?"

Dia mengerjap beberapa kali. "Saya Kuma."

"Kenapa ikuti aku? Jangan bilang karena kamu takut aku tersesat!"

"Kenyataannya begitu," jawabnya. "Kamu kelihatan terlalu polos untuk ada di sini. Sebaiknya kamu pulang."

"Pulang?" tanyaku pelan, nyaris berupa desisan sinis. "Kemana? Aku enggak punya rumah. Karena itu aku berkeliaran di sini."

Dia membuka mulut, kemudian menutupnya lagi. Kemudian menatapku lamat-lamat. Kurasa, dia sedang menelanjangiku dengan matanya. Aku menurunkan ujung topi hingga nyaris menutup mata dan berbalik. Ketika aku mulai melangkah lagi, dia berkata. Pelan, tapi cukup kuat untuk bisa kudengar.

"Kamu berjalan menuju kuburan."

"Hah?" Aku mengernyit dan berbalik penuh antisipasi. Kataku padanya, "Jangan berprosa."

"Enggak, itu fakta. Jalan yang kamu tempuh itu menuju kuburan. Ini kenapa saya mengikuti kamu sejak tadi. Karena saya tahu kalau kamu buta arah."

Aku menyipit, menelusuri jalan yang sedang kulalui jauh ke depan dengan mata. Samar-samar, aku melihat pagar tanaman hidup yang terpangkas rapi setinggi dada. Juga gerbang yang terbuka di tengah-tengah. Beberapa batu marmer berwarna putih mencolok di antara kegelapan malam memberi sebuah pertanda. Nisan.

Beruang PandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang