Telah lama Ayu menjalin kasih dengan Hendra kira-kira enam tahun lamanya. Dan selama itu pula keluarga Ayu tak merestui hubungan mereka. "Ayu lebih baik jauhi saja Hendra itu. Kita semua tahu Hendra itu seminaris, calon imam Katolik yang enggak boleh menikah. Kalau nanti dia gagal menjadi imam kamu yang akan dimusuhi oleh keluarga besarnya." Begitu nasihat Ibunya Ayu setiap hari.
Namun siapa yang bisa mengalahkan rasa yang bertabur cinta dan rindu? Bagi Ayu dan Hendra kisah cinta mereka sangat inspiratif dan membanggakan. Pacaran enam tahun saling meyayangi dan mendukung agar pribadi masing-masing menjadi lebih baik lagi. "Kami pacaran bukan tidak berfaedah Bu. Aku dan Hendra pacaran untuk saling mendukung dan bertumbuh bersama menuju cita-cita yang kami impikan. Sejak aku berpacaran dengan Hendra toh aku banyak berubah. Itu karena dia yang selalu mengingatkan dan menasehatiku layaknya kakakku." Begitulah jawaban Ayu setiap kali Ibunya memarahi.
"Mas Hendra. Bagaimana kejelasan hubungan kita ini?" Ayu bertanya saat ia bertemu si penawar rindu setelah pulang gereja.
"Kamu mulai bawel lagi deh. Kan aku sudah bilang tenang saja. Semua pasti beres dan lancar," jawab Hendra dengan malas-malasan.
"Tapi aku butuh kejelasan dari kamu Mas Hendra. Kamu nanti benar-benar mau jadi imam atau mau jadi orang awam saja. Kalau kamu jadi imam berarti kamu harus hidup selibat dan kita tak bisa menikah." Ayu mengutarakan kekhawatirannya.
"Ah sudahlah Ayu. Kamu tak perlu memikirkan hal itu, yang penting sekarang aku menamatkan pendidikanku dulu. Begitu juga kamu." Hendra selalu menutup perbincangan soal kejelasan hubungan dengan berkilah.Ayu tak pernah mempermasalahkan hubungannya dengan pria yang lazim dipanggil frater Hendra itu menggantung tanpa arah. Ia tak pernah berpikir mau dibawa kemana hubungan kita, macam lagunya Armada Band itu. Gadis yang terlanjur mencintai si biarawan itu turut larut dalam kenyamanan yang sebenarnya tidak nyaman itu. Hingga suatu hari Ayu telah diwisuda dan siap bekerja Hendra tak kunjung selesai studi filsafatnya karena kuliahnya calon imam itu memang rentang waktunya lebih lama daripada mahasiswa biasa.
Setelah Ayu diterima bekerja pun ia masih sabar menanti Hendra untuk menamatkan kuliah. Siapa tahu Hendra akan memutuskan untuk menjalani hidup awam dan batal menjadi imam dengan begitu mereka bisa menikah. Tetapi rekan-rekan kerja Ayu mulai memberinya nasehat yang sama dengan nasehat ibunya Ayu. "Aduh kamu enggak takut dosa Yu? Dia itu hamba Tuhan mana boleh kamu memacarinya," kata Siska atasannya. "Benar lho Yu. Lagipula kamu rugi menunggunya. Kapan dia diwisuda? Masih empat tahun lagi kan? Saat itu usiamu sudah dua puluh delapan sudah tua. Nah, setelah lama menunggu iya kalau dia meninggalkan hidup selibatnya lalu menikah denganmu. Kalau tidak? Sia-sia deh. Usiamu tua jodoh tiada." Wahyu teman seruangannya pun turut angkat bicara. Kuping gadis itu memanas mendengar kata-kata orang yang memojokkannya. "Huh dasar orang kurang kerjaan hobbinya ngurusin hidup orang. Kenapa sih enggak mau ngurusin perutnya yang buncit itu," gerutunya dalam hati. Kemudian ia tersenyum menanggapi Siska dan Wahyu.
Ayu menemui Hendra dan menceriterakan pendapat teman-temannya soal hubungan mereka. "Tak perlu kamu dengarkan kata-kata mereka, anggap saja itu suara radio rusak." Hendra menimpali sambil menggenggam jemari gadisnya itu. Ayu yang penasaran akhirnya bertanya, "memangnya cita-citamu ini apa sih Mas Hendra? Kamu mau bekerja sebagai apa setelah lulus?" Mendengar tanya si gadis Hendra tersenyum dan menjawab, "jadi orang sukses." Ayu masih tak mengerti dengan cara berpikir sang kekasih. Jika ingin menjadi sukses orang harus bekerja nah ini dari dulu ia bertanya mau kerja apa si Hendra? Tapi selalu saja ia tak menjawab. Ayu bukan lagi seorang mahasiswi yang motivasi utamanya adalah menyelesaikan skripsi dan memperoleh nilai yang tinggi. Ia kini berubah menjadi wanita dewasa yang mulai berpikir tentang karir dan jodohnya. Cita-citanya bukan lagi meanamatkan kuliah dengan gemilang melainkan menikah dan membangun keluarga kecil bahagia. Kini hatinya sendiri mulai ragu akan perasaannya. Mau meninggalkan tapi sudah terlanjur cinta, mau menunggu kepastian tak kunjung ada.
Minggu ini Ayu dan rekan-rekan sekantornya berekreasi di pantai suasana yang ramai dan gembira membuat pikiran kembali segar setelah setiap hari berkutat dengan buku-buku di tempat percetakan. Momen seperti ini biasa digunakan oleh para karyawan itu untuk mencari kenalan baru sekaligus jodoh bagi yang masih jomblo. Nining mendatangi Ayu yang tengah melahap degan seraya menggandeng seorang pria tampan.
"Ayu kenalan dong sama teman aku ini," kata Nining.
"Ayu," ia menjabat tangan pria yang kini duduk di sampingnya.
"Raja," ia tersenyum dan dengan lekat memandangi Ayu.
Sejak perkenalan itu Nining, Siska, dan Wahyu selalu saja berusaha menjodohkan Ayu dengan Raja. "Yu, Raja itu pejabat di bank lho. Katanya dia terpincut oleh kecantikanmu sejak pandangan pertama." Nining mulai mengompori suasana. Siska mengangguk setuju lalu menambahkan, "Rugi kalau kamu menolaknya. Muda, tampan, karir cemerlang, lancar duit lagi. Kalau sampai kamu jadi bininya, kamu enggak usah kerja disini lagi deh. Jadi Nyonya Raja saja yang sekali minta duitnya datang sendiri." Ayu hanya senyum-senyum kecut saja mendengar bujuk rayu dua wanita yang sangat getol ingin ia memutuskan Hendra dan kini ditambah wahyu si waria prematur itu tak mungkin diam saja, "Ayu, udah gaet saja si Radja itu. Kepastiannya lebih terjamin. Kamu enggak akan jadi perawan tua deh. Malah bisa segera jadi ibu muda."
"Maaf aku sudah terlanjur mencintai Hendra," kata Ayu dengan tegas. Ia ingat perkataan bapaknya saat dulu pertama kali ia mengenalkan Hendra kepada orang tuanya. "Tuhan saja ia bohongi apalagi perempuan macam kamu. Janji sama Tuhan saja ia ingkari apalagi kesetiannya padamu. Nol besar!" Begitu kata Bapak Ayu yang tak berfaedah sama sekali di telinga sang putri. Orang tuanya saja ia tentang habis-habisan apalagi cuma sekedar rekan kerja tidak akan mampu mengoyak kesetiaannya pada Hendra. Begitulah Ayu selalu keras kepala dan menolak dikenalkan dengan pria lain. Cintanya hanya berkiblat pada Hendra seorang.
Ayu tengah menikmati teh bersama keluarga besarnya. Tak ada perayaan khusus hanya saja bude merindukan Ayu dan adiknya jadilah kakak perempuan bapak itu mengunjungi rumah mereka. Tiba-tiba saja Ayu menyeletuk, "bude kalau Ayu mau menikah nanti bagaimana?"
"Tidak apa-apa kamu kan sudah cukup umur. Ya bawa calon suamimu kesini, maka bude akan mengurusnya." Lalu wanita berkonde itu menambahkan, "Ayu tapi Bude enggak suka kamu pacaran sama frater itu."
"Mengapa bude?" Ayu bertanya sekaligus berusaha membangkang.
"Ya memang bude tidak suka. Pertam jelas-jelas itu hal yang salah. Kedua, keluarganya si Hendra itu mengharapkan putranya menjadi imam, kalau sampai ia gagal karena kamu maka kamu akan dimusuhi oleh keluarga besarnya. Mereka akan marah besar padamu. Yang ketiga, aku tidak akan mau mengurusmu aku tidak mau menanggung malu gara-gara dicibir oleh warga gereja karena keponakannya menggoda seorang frater." Sungguh sang ibu besar itu mengungkapkan amarah yang membuat nyali Ayu ciut. Karena sebenarnya kakak perempuan ayah ini sangat ia segani tak berani bila harus membantahnya.
Dan ketika rembulan menampakan wajah berserinya di balik awan Ayu mengambil handphone miliknya dan mulai mengetik sms yang berbunyi,
"Selamat malam frater Hendra yang terkasih, aku ingin menyampaikan perpisahan. Aku tak kan lagi mencintaimu sebagai kekasih, aku tak akan menunggu cintamu lagi. Terima kasih untuk enam tahun kebersamaan kita. Aku melakukan ini demi kebikanku sendiri. Aku harus melepasmu karena aku harus menikah dan berumah tangga juga aku tak mau menjadi samsak yang dituju oleh keluargamu. Tuhan memberkatimu."
