Pemberontakan Pelangi

4 1 0
                                    

   Kita bersahabat sangat dekat dari kecil. Aku Pelangi dan Kau Hujan. Nama itu disematkan oleh Ibu kita yang juga bersahabat. Aku gadis yang bawel sedangkan kamu laki-laki yang tenang, perpaduan inilah yang mempererat tali persahabatan kita. Persahabatan yang mengundang tatapan iri dan curiga teman-teman di sekolah kita.

  "Hujan, akhirnya aku jadian sama Kak Erik." Aku menghampirimu dan berbagi kebahagiaan karena kakak kelas yang kusukai akhirnya menyatakan cintanya. "Oh gitu, selamat ya." Wajah datarmu mengiringi tutur katamu. "Ih kok gitu aja sih tanggapanmu." Aku merajuk dengan mengerucutkan bibirku. "Kamu bawel banget sih, kamu enggak lihat aku lagi belajar untuk ulangan fisika?" Benar-benar sebuah respon yang tak kuharapkan. Namun, aku tahu ada sejuta kasih dihatimu untukku walau sikapmu sedingin namamu.

  Hari ini aku sedih sekali hingga tangisku pecah di bahu hujan. "Aku enggak nyangka Erik ternyata bajingan. Dia mencium bibirku secara paksa, padahal aku enggak mau. Habis itu dengan bangganya dia cerita pada teman-temannya," tuturku menumpahkan segala perih yang kurasa. Hujan memelukku dengan hangat dan menenangkan diriku. Siang hari ketika bel tanda usai sekolah berdering Hujan menghampiri Erik dan mendaratkan kepalan tangannya di wajah cowok brengsek itu kemudian perkelahian sengit tak mampu terelakan.

  Erik membalas dengan cara menendang perut sahabatku. Tak terima diperlakukan demikian Hujan melompat dan menendang Erik hingga tersungkur. "Jangan lagi kamu sentuh pelangi kalau kamu enggak mau mati!" Hujan mengancam dengat tatapan tajam. "Ancamanmu basi banget! Jadi demi cewek receh itu kamu memukulku?" Erik tertawa sambil menghina. Mendengar hal itu Hujan menendang tulang kering dan menampar pipi Erik. Kemudian ia menarikku keluar dari kelas yang masih dipenuhi oleh siswa-siswi yang menonton perkelahian itu.

  "Aku tadi hanya ingin curhat tak bermaksud mengadu. Kamu jadi babak belur gara-gara aku," sesalku. "Walau kamu enggak cerita aku sudah tau kejadiannya," ujar Hujan. "Erik itu lelaki brengsek. Karena itu waktu dulu kamu bilang naksir dia sebenarnya aku enggak setuju. Namun, karena keras kepalamu ya sudah aku biarkan saja. Eh ternyata benar-benar terjadi," marah hujan padaku.

  Aku merutuki kebodohanku yang tak mendengarkan nasihat Hujan dan memilih untuk mengejar Erik. Aku memandang Hujan yang bisu sambil mengatur emosi yang bergemuruh dalam dirinya. "Pelangi bisa enggak sih kamu berubah? Aku mohon stop mengejar lelaki brengsek. Ini bukan baru sekali. Kali pertama Aldo memaksamu minum miras, kali ini Si Erik cium paksa kamu. Parah banget seleramu kalau soal cowok." Hujan kembali menyemburkan amarah.

  "Seandainya kamu enggak jadian sama Prita, aku enggak mungkin jadi seperti ini Hujan," ujarku parau. "Maksud kamu apa pelangi?" Hujan nampak tak mengerti dengan perkataanku barusan. "Aku suka sama kamu tapi kamu enggak pernah peka. Ah bukan, kamu sengaja pura-pura enggak peka dan memilih jadian sama sainganku itu. Aku melakukam semua ini untuk melupakanmu hujan!" Aku berteriak meluapkan kesedihan yang selama ini kupendam. Tak mampu lagi aku menyimpan rasa ini sendirian, aku tak perduli bila hujan menganggapku egois yang kuinginkan saat ini hanyalah memilikinya.

  "Kamu enggak serius kan pelangi," tanya Hujan sambil tertawa berharap ini hanya leluconku semata. "Aku serius hujan!" Dengan tegas aku menjawab. Hujan tertegun wajahnya trrlihat linglung menghadapi kenyataan yang tak pernah terduga olehnya. "Aku bakal berhenti mengejar cowok kalau kamu mau jadi pacarku," kataku lantang seraya menggenggam tangan Hujan. "Aku tunggu kamu putus." Setelah mengatakan niatku itu aku beranjak dari teras rumah Hujan.

CeritakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang