"Ranti!!!" Nyonya memanggil dengan nada tinggi pembantunya. "Iya nyonya," jawab gadis lugu dari desa itu dengan gugup. "Kamu ngapain aja sih rumah kok berantakan begini. Cepat rapikan!" Nyonya bercakak pinggang memerintah Ranti. Gadis dengan daster kumal bekas pakai sang nyonya itu hanya menunduk dan mulai membereskan mainan anak-anak dan juga remah-remah cemilan yang berserakan di lantai ruang tamu rumah mewah keluarga Kartanegara. Ranti berusaha menekan gejolak hatinya yang membantah tuduhan sang nyonya bahwa ia bekerja tak becus. Sudah tiga kali gadis introvert itu membereskan rumah namun Bella putri tunggal Tuan dan Nyonya Kartenegara yang berusia lima tahun itu selalu mengobrak-abriknya lagi. "Kalau bukan karena desakan ekonomi aku tak mau kerja begini," gerutu Ranti dalam batinnya.
Senja merambat naik ke langit mewarnainya dengan jingga yang indah menjadi latar perayaan ulang tahun pernikahan majikan Ranti. Gadis itu dengan cekatan mengatur sajian di meja makan tempat tamu undangan akan menikmati jamuan malam. Nyonya melambaikan tangannya pada Ranti. "Kamu itu kalau kerja yang betul ya. Masa menyemir sepatu saja tidak bisa. Sepatuku jadi belang-belang begini." Nyonya memarahi Ranti di depan para tamu undangan. "Katanya sepatu mahal tapi disemir saja warnanya jadi belang-belang," sindir salah satu teman Nyonya yang semakin mengobarkan amarahnya pada Ranti, "dasar pembantu kampung gara-gara kamu nih saya jadi malu. Maklum saja jeng di kampungnya saja dia tidak pernah pakai sandal bagaimana mungkin mampu merawat sepatu. Ya salah saya juga sudah tahu babu dungu eh tapi menyuruh menyemir sepatu."
Sakit hati sekali dihina seperti itu apalagi dituduh dengan sesuatu yang tidak ia lakukan di depan orang banyak. Ranti ingat betul dan tak mungkin ia lupa kalau Nyonya sendiri yang menyemir sepatu mahalnya itu bahkan membentaknya dengan kasar saat Ranti ingin membantu, "jangan sentuh sepatu dari Paris dengan tanganmu yang kampungan itu!" Kali ini Ranti tak dapat menahan tangisnya ia berlari masuk ke kamarnya yang berada di sebelah gudang kemudian tersedu-sedu ia sambil memeluk selimut usangnya. Tak diperdulikannya kondisi jamuan yang tanpa pengatur. Biarkan saja pesta nyonya congkak itu berantakan.
Benar saja Nyonya Congkak kelabakan mengatur jamuan karena Ranti tak ada. "Bu meja kami kok tidak ada lauk pauknya?" Seorang wanita muda berpakaian sexy memprotes Nyonya rumah. "Masih mending situ enggak ada lauknya, disini air putih saja belum kita minum," sambung pria tampan berjas sutera." Betapa malunya wanita yang sangat menjunjung tinggi harga diri itu. "Mohon maaf atas ketidaknyamanannya ya," kata Nyonya pada para tamu undangan sambil menyenggol lengan sang suami untuk segera mencari babunya itu.
Tuan Kartanegara menjauhi Sang Istri yang baginya sangat memuakkan itu. Tubuh gemuk, kulit gelap, rambut keriting, dan sikap kasarnya itu membuat pria berambut kelabu itu jengah. Jika saja istrinya bukan wanita kaya yang mewarisi banyak harta ia tak mau menikahinya. Pernikahan terpaksa yang dijalaninya selama sepuluh tahun itu tak akan terjadi andai saja ia tak butuh uang. Siapa mau mendapat wanita buruk rupa nan culas macam istrinya, yang perempuan bau itu miliki hanya segudang harta yang mampu memanjakan pemiliknya dan juga membuat pria miskin yang lusuh menjadi terhormat.
"Dimana sih babu sialan ini? Gara-gara dia aku harus malu dan sekarang pusing mencarinya batal deh niatku menonton kemolekan teman -teman istriku." Tuan menggerutu sambil mengelilingi seluruh penjuru rumahnya yang luas itu. Langkah kakinya berhenti di muka pintu kamar Ranti yang tak terkunci dan sedikit terbuka itu. Pria tua itu melihat Ranti yang tertidur tanpa tahu menahu bahwa daster lusuhnya tersingkap hingga ke paha. Pemandangan yang membuat lelaki manapun penasaran dan tergoda untuk menelusurinya.
Si hidung belang itu mengendap-endap masuk ke kamar babunya yang lelap karena tangis, darahnya berdesir demi melihat dada wanita itu yang naik turun kala menarik dan menghembuskan napas.
Tuan segera membekap saat mata Ranti terbuka dan akan menjerit. Lalu ia mengancam, "Jangan teriak atau kamu saya cekik!" Anak sungai di mata Ranti merupakan luapan kepedihan dan amarahnya yang tak bisa berbuat apa-apa kala ia dinodai oleh pria bejat yang merupakan majikannya sendiri.Nyonya Kartanegara kebingungan sendiri menghadapi tamu-tamu yang tak teratur. Ia bergegas mencari suami serta pembantunya dengan geram. Betapa terkejutnya ia melihat pemandangan yang terpampang di wajahnya sungguh menjijikan dan tak bermoral. Kemudian dengan sangat tidak berperasaan ia menyeret wanita tanpa busana itu ke tengah keramaian sambil berteriak, "Dasar pelacur tak tahu diri! Berani sekali kau menggoda suamiku!!! Rasakan ini!!" Nyonya yang kejam itu melempari Ranti dengan peralatan makan yang terbuat dari perak. Sementara Tuan hanya menggeleng-geleng tak mengakui bahwa ia melecehkan babunya dan justru berkata, "wanita ini yang menggoda dan memaksaku untuk melakukannya. Mana mau aku sukarela melakukannya bersama babu buruk rupa ini." Malam itu juga Ranti diusir dari rumah majikannya tanpa sempat membawa pakaiannya dan hanya berbalut handuk ia segera menjauhi rumah iblis yang laknat itu.
Seminggu setelah kejadian itu keluarga Kartanegara meninggalkan putri kecilnya di tempat penitipan anak yang sangat tidak nyaman. Berkali-kali Bella menangis karena dijahili anak lain atau dipaksa makan oleh pengasuhnya dengan cara yang kasar. Ia memilih menyendiri di taman belakang rumah penitipan menunggu ayah ibunya datang menjemput. Mata gadis cilik itu berbinar memancarkan kegembiraan kala dilihatnya orang yang ia rindukan datang menghampirinya. "Mbak Ranti," serunya lalu menghambur ke pelukan wanita dengan wajah datar yang lusuh. "Kamu menungguku sayang," tanya Ranti tanpa ekspresi sambil mengelus kepala anak yang pernah diasuh olehnya itu.
Ranti menggendong Bella membawanya jauh dari rumah penitipan. "Kita mau kemana mbak," tanya si kecil ingin tahu. "Kita ke rumah mbak dan bersenang-senang disana." Kembali Ranti menjawab datar dengan ekspresi dingin. Ia menurunkan gadis kecil itu di depan pintu gubuknya kemudian membuka daun pintu yang berderit.
"Selamat datang di rumah mbak. Maaf rumah ini gelap dan kurang nyaman."
"Enggak apa-apa kok yang penting bersama Mbak Ranti."
Ranti mendudukan gadis itu di bangku kayu lalu memberinya makan nasi yang dilumuri kecap. "Waaaah nasi kecap ini kan kesukaanku. Kapan mbak pulang? Aku ingin bobo sama Mbak lagi," ujar Bella sambil mengunyah nasi yang Ranti jejalkan ke mulutnya. "Mbak akan pulang kalau malam ini Bella nurut sama mbak dan ikuti permainan yang mbak buat dengan baik." Bujuk Ranti yang dibalas anggukan patuh oleh Bella.
Sesudah menghabiskan sepiring nasi kecap Bella diikat oleh Ranti di tiang peyangga atap yang terletak di tengah ruangan. "Ini namanya permainan apa mbak," tanya Bella polos. "Menjemput maut." Ranti mulai menyiksa anak itu dengan kejam. "Jangan menangis dan jangan berteriak nanti mbak enggak mau pulang," bentaknya kasar dan Bella pun seketika diam walaupun rasa sakit disekujur tubuhnya tak tertahankan. Ia menggigil dan menggigit bibirnya sendiri melihat Ranti membawa parang tajam dan mengarahkan ke leher anak itu. Lalu mengirisnya perlahan dan terdengarlah jeritan melengking Bella yang terakir kali diiringi jatuhnya kepla berkepang itu ke tanah yang dingin.
Ranti tertawa puas lalu memotong bagian tubuh anak majikan laknatnya itu dan memasukannya ke karung lalu meletakannya sebagai ganjal di pintu gubuk ya. Kemudian ia menaiki kursi, mengarahkan lehernya pada tambang yang digantung di kayu penyangga atap lalu mencabut nyawanya sendiri.
