Lena memandangi bayangan dirinya di cermin yang menampakan wajah lesu dan murung. Kantung mata yang menghitam dan lebam di bibirnya tak mampu disembunyikan walau riasan tebal telah ia poleskan diseluruh wajahnya. Pakaian terbuka yang kedodoran terasa tak nyaman di tubuh mungilnya yang baru berusia dua puluh tahun, belum lagi higheels sepuluh senti yang membuat kakinya kram. Namun, semua itu belum seberapa bila dibandingkan dengan penderitaan batinnya karena tertawan di rumah bordil ini. Bau minuman keras, asap rokok, gelak tawa lelaki hidung belang, dan wanita-wanita penghibur yang berebut pelanggan sangat mengganggu ketentraman batinnya. Rasa sakit di hatinya tumpah ruah mengalir dipipinya ketika semalam ia diperlakukan sangat biadab oleh pria setengah baya yang menggunakan jasanya. Lelaki itu benar-benar tak berperikemanusiaan ketika menyalurkan naluri binatangnya dengan kekerasan yang teramat menyakitkan. Ah, Lena tak mampu mengenangnya.
Lena hanya pasrah pada nasibnya yang tragis. Ingin kabur tetapi itu sama saja dengan membuat masalah baru. Nona Mamon si germo kejam itu akan mencari kemanapun gadis cantik itu pergi dan mengancam akan melaporkan orang tua Lena ke polisi. Wanita setengah baya penggila harta itu tak akan diam saja melihat uangnya telah sia-sia terbuang di tangan pengedar narkoba, penjudi, dan pemabuk seperti orang tua Lena. Nona Mamon memberi modal besar pada mereka dengan syarat Lena harus menjadi pelacur tanpa upah di rumah bordilnya yang terkutuk itu. Dengan senang hati orang tua tak beradab itu menukar putri tunggalnya dengan sepuluh gepok uang seratus ribu.
"Aku harus kuat aku harus bertahan pasti ada jalan keluar dari keadaan ini!" Lena mengguncangkan kepala dan mengepalkan tangan untuk menyadarkan dirinya. Beruntung ia menempati gudang ini seorang diri jadi tak ada yang melihat afirmasi positifnya setiap pagi. Gudang kecil dengan banyak tikus ini menjadi tempat aman baginya untuk memanjatkan puji syukur dan permohonan pada Tuhan. Gudang yang tak layak huni ini terasa bagai bait suci yang mampu menjadi tempat Lena mencurahkan segala derita pada salib Yesus. Hati Lena terasa nyeri bila menyadari kenyataan ia tak dapat beribadah di tempat layak. Ia tak pernah mengunjungi gereja sejak terkurung di rumah bordil. Bagaimana mungkin ke gereja bila ia hanya mampu merasakan hangatnya mentari di halaman rumah bordil yang terpencil ini. Jika bisa ke gereja apakah umat lain akan menerima kehadirannya? Apakah ia diperbolehkan menerima komuni? "Aku rindu Komuni." Bisiknya lirih.
"Lena!!! Buka pintunya!!!" Tedengar gedoran dan teriakan keras. Sudah pasti Nona Mamon yang melakukannya. Jelas ia marah karena Lena tak kunjung keluar gudang untuk menjajakan dirinya. Dengan malas Lena membuka pintu dan melangkah siap memghadapi dampratan kasar bosnya itu. "Cih seribu tahun kamu berdandan pun wajahmu tetap saja buruk! Tak usah terlalu cantik kau hanyalah barang gratisan!" Dengan Angkuh nona Mamon menghina Lena. "Huh selalu saja kau diam setelah kuhina tidak asyik! Ikut aku!" Nona Mamon menyeret lengan Lena menuju ruang depan tempat para hidung belang menanti. "Layani dia," kata Nona Mamon seraya menghempaskan tubuhnya pada seorang gelandangan kumal. "Bagaimana? Bayaranku ini setimpal dengan pekerjaanmu kan?" Ia berpaling pada si gelandangan. "Tidak buruk. Bolehkah aku membawanya keluar," tanya pria dengan cambang dan rambut gondrong yang tidak terawat itu. Nona Mamon mengerutkan kening dan menaikan sebelah alisnya yang tebal dan bertanya, "Kau mau menidurinya dimana? Kau tidak punya rumah, Nuell." Gelandangan yang bernama Nuell itu hanya tersenyum memandangi Lena lalu katanya, "Sudah ku katakan aku bukan dari sini. Karena itu aku tak punya rumah. Namun, aku punya tempat yang layak tuk membaringkan tubuh gadis manis ini." Lena tak ingin tubuhnya disentuh oleh lelaki kumal itu dengan keras ia berteriak, "Aku tidak mau mengikutimu!!!" Plakk!!! Tamparan keras mendarat di pipinya, terasa panas saat tangan nona Mamon bersentuhan dengan kulit wajahnya. "Dasar perempuan tak tahu diri!! Sudah kubilang kau itu barang gratisan di rumahku, tapi lelaki ini rela sebulan merenovasi kamar utama hanya dengan upah menidurimu semalam! Cepat ikuti dia!!!" Nona Mamon marah besar hingga matanya seolah ingin keluar dari rongganya. Tak lama kemudian Lena merasa tubuhnya digendong oleh Nuell, yang tanpa basa-basi langsung meninggalkan tempat itu.
Lena meronta-ronta di bahu Nuell. "Turunkan aku," teriaknya sambil memukul punggung gelandangan itu. Nuell yang lelah akhirnya menuruti kemamuan gadis yang rambut panjangnya kini sangat berantakan. "Aku tak mau mengikutimu," kata Lena kemudian meninggalkan Nuell yang berusaha mencegahnya. "Kau serius ingin kembali ke rumah terkutuk itu?" Nuell berkata, "sia-sia saja usahaku ini. Terlanjur merenovasi rumah milik wanita sialan itu tetapi kau tak mau ku bebaskan." Mendengar itu Lena tertegun karena tak percaya pada kata-kata Nuell. "Kau kira aku gadis bodoh? Pura-pura menyelamatkan padahal kau ingin memuaskan birahimu yang liar itu."
"Percayalah padaku Lena. Aku tahu kau selalu berdoa untuk dibebaskan dari kungkungan nona mamon. Kini aku mau menolongmu bahkan aku rela kerja tak di bayar demi membawamu pergi dari tempat jahanam itu. Ikutlah aku." Nuell membujuk Lena.
"Bagaimana bila nona Mamon mengejarku?"
"Itu urusanku, ayo kuantar kau ke tempat aman."
Mereka berjalan beriringan dan semakin jauh dari rumah bordil. Ketika perjalanan memasuki kilometer yang ke delapan Lena merasa lemas kemudian Nuell menggendong gadis itu di bahunya membuatnya nyaman dan membiarkannya tertidur pulas selama perjalanan.
Nuell membangunkan Lena ketika mereka tiba di depan biara Susteran Maranata. Dan menitipkan gadis itu kepada suster kepala. "Tinggalah disini Lena. Kalau bisa selama-lamanya. Inilah tempat paling aman bagimu. Aku harus pergi untuk menyelesaikan tugasku." Nuell berpamitan dan pergi meninggalkan Lena yang kini dirawat oleh para biarawati di Susteran Maranata.
"Apa yang bisa aku lakukan disini?" Lena bertanya pada dirinya sendiri. Lalu ia mulai mengikuti cara hidup para biarawati itu. Berdoa, belajar, dan bekerja di kebun. "Jika niat hatimu tulus kau bisa jadi biarawati disini," kata suster kepala pada suatu hari. Telinga Lena bagai mendengar warta sukacita. "Apakah aku layak menjadi biarawati dengan kondisi seperti ini? Aku ini mantan pelacur sudah tidak murni lagi." Lena tampak meragukan dirinya sendiri. Suster kepala tersenyum serta membelai rambut Lena. "Yang dibutuhkan dalam melayani Tuhan adalah niat hati yang tulus dan kemauan untuk merasakan penderitaan Kristus serta kesediaan untuk menjadi berkat bagi orang lain." Lena merasa lega mendengar jawaban suster kepala yang melegakan hatinya. Niatnya kini bulat ia harus bertobat dan mempersembahkan dirinya pada Yesus.
Kini gadis itu harus memasuki masa persiapan untuk menjadi seorang suster. Hari-harinya berjalan diiringi sukacita dan kegembiraan juga tak pernah ia melewatkan doa untuk Nuel orang yang telah menyelamatkannya. Tepat di hari Jumat Agung Lena mendengar kabar Nuell ditemukan mati di tiang salib diduga ia dibunuh oleh suruhan nona Mamon yang dendam karena telah dijebloskan ke penjara oleh Nuell.
