Lingkaran itu masih hening, tidak ada suara lain kecuali jangkrik yang berbunyi di halaman serta ketukan pulpen yang berulang di atas lantai.Jeno berdiri, menyibak rambutnya berkali-kali seraya berjalan dengan cemas; bolak-balik seperti alat pelicin pakaian. Sesekali ia berhenti, melihat ke dalam lingkaran; matanya memperhatikan semua orang yang tergabung di dalamnya bergantian, satu persatu. Kemudian napas frustasi kembali terdengar beserta acakan pada rambutnya yang halus.
Kacamatanya ia lepas hanya untuk memijit batang hidungnya secara leluasa, rasa pusing itu sudah menjalar dan tetap masih sulit untuk menemukan jalan keluar.
Menjelang periode akhir kepengurusan, beban yang ia pikul di pundak rasanya semakin berat. Selaku ketua angkatan, Jeno selalu menjadi orang pertama yang dicari oleh angkatan atas untuk ditanyakan berbagai macam hal, termasuk pencalonan ketua himpunan. Di akhir periode ini, beban dan fokusnya semakin terpecah. Antara kuliah dengan segala kesibukan tugas, presentasi dan kuisnya, persiapan menuju musyawarah besar ditambah dengan pencalonan ketua himpunan yang akan dipegang oleh angkatannya.
Jam tidurnya semakin sedikit karena banyaknya tanggung jawab yang harus dibagi. Menghadiri kelas pada pagi hingga sore untuk kemudian rapat dan mempersiapkan kebutuhan musyawarah besar. Sampai tempat kos pun Jeno tidak bisa langsung beristirahat, masih ada tugas-tugas yang menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi jika ada panggilan tiba-tiba dari para senior yang ingin mengajaknya untuk diskusi.
"Jadi siapa yang mau maju?" tanya Jeno, mengulang pertanyaan yang sudah menjadi pembahasan sejak dua jam lalu.
Hening kembali menjadi jawaban, orang-orang yang ia tanya menundukan kepala atau membuang pandangan; enggan melihat atau memberikan jawaban atas pertanyaan Jeno.
Suara berbisik saling menunjuk terdengar, semua terlalu sibuk melempar tunjuk, tidak ada yang berinisiatif untuk mengangkat tangan mengajukan diri.
"Udah dua jam gue ngulang pertanyaan, masih ngga ada yang mau jawab? Masih mau pura-pura ngga denger? Masih mau saling tunjuk? Apa perlu gue tulis nama kalian semua terus gue ambil acak buat nentuin siapa yang mau maju?" rentetan pertanyaan itu keluar dari mulutnya yang mulai bergetar.
"Masa harus urang sih yang maju..." satu suara yang lebih terdengar seperti monolog mengisi kosongnya jawaban atas pertanyaan, membuat sekeliling memperhatikannya.
Ia mengangkat kepala, sadar bahwa suara hatinya sudah ia keluarkan melalui mulut.
"Ng-ngga maksud urang..."
"Sikat Can."
Terlambat, Mark sudah terlanjur berdiri dan menjabat tangan Akmal—yang masih kerap mereka panggil dengan nama akrab, Ecan, seolah pernyataan tidak sadarnya barusan adalah sebuah sikap dari persetujuan.
Akmal terlihat bingung melihat teman-temannya mulai berdiri satu persatu, bertepuk tangan, menyalami dan memeluknya seolah ia adalah penyelamat atau bahkan pahlawan. Ia bahkan sempat tidak diberikan ruang untuk memberikan penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMPUNAN VOL.2
Fanfiction"Ternyata capek ya ngurus himpunan." "Emang siapa yang bilang ngga capek?"