"Nah, gini dong lo tuh kerja, bukannya diem aja," ucap Raffi yang terus berceloteh sejak tadi. Ayra hanya diam saja, ia terlalu malas untuk menanggapi ucapan lelaki disebelahnya itu.
Saat ini mereka berada di taman rumah sakit, sebenarnya sedari tadi Ayra sudah ingin masuk dan meninggalkan Raffi, tapi laki-laki itu terus menghalanginya. Cuaca siang ini sangat terik, dijam-jamnya panas seperti ini Raffi mengajak Ayra untuk jalan-jalan. Sudah gila mungkin ya, pikir Ayra.
"Kok lo diem aja sih?" tanya Raffi seraya mencolek bahu Ayra.
"Ish, males gue ngomong sama lo," jawab Ayra asal.
"Suster macam apa ini." Raffi berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pun dengan santainya duduk di kursi taman rumah sakit.
"Duduk lo, ga pegel berdiri terus?" Raffi menepuk kursi yang kosong di sebelahnya, lalu menyuruh Ayra yang sedang berdiri dengan wajah kesalnya untuk duduk.
"Gue balik ah." Ayra hendak berbalik, namun lagi-lagi dengan cepat Raffi memegang tangan Ayra.
"Kok gitu sih lo kerjanya?!"
"Heh! Gue ini kerja bukan buat nganter lo jalan-jalan doang, di dalem masih banyak tugas yang harus gue kerjain. Kalau lo mau jalan-jalan, jalan-jalan aja sendiri ga usah ajak gue!"
Raffi beranjak dari tempat duduk yang ia duduki, lalu memandang wajah Ayra yang sedang menatapnya dengan pandangan sinis. Tapi Raffi tidak mengucapkan satu katapun ia masih saja berdiri di depan Ayra.
Ayra melepaskan kontak mata dengan Raffi, yang sedari tadi terus menatapnya. Ayra membuang pandangannya ke lain arah dan memundurkan satu langkah kakinya, namun ternyata Raffi tidak menghalanginya untuk pergi. Ayra pun langsung meninggalkan taman ini yang membuatnya naik darah di siang hari yang sangat terik ini.
Raffi masih diam di tempatnya berdiri. Dia tersenyum tipis melihat punggung Ayra yang sudah lumayan jauh meninggalkannya.
Wanita itu masih sama, sama seperti dulu.
Sepuluh tahun silam, anak kecil manja itu selalu dirinya ejek, entah mengapa Raffi senang sekali mengejek Ayra, membuat Ayra marah dan merasa kesal. Wajah Ayra masih sama seperti dulu bila Raffi mengejeknya, tapi Raffi tidak sama sekali merasa bersalah atau takut kepada Ayra, justru Raffi ingin terus menerus membuat Ayra kesal. Itu satu-satunya yang membuat Raffi bahagia dan sudah menjadi hobinya, dulu. Mungkin sekarang akan terjadi lagi dalam hidupnya.Ayra memasuki gedung rumah sakit dengan wajah kesalnya, bisa-bisanya Raffi membuang-buang waktu kerjanya dan membuat emosinya kembali memuncak.
"Ayra!" Ayra membalikan tubuhnya kala ia menyadari ada seorang wanita memanggil namanya.
"Lo dari mana aja sih?!" lanjut seorang wanita yang sudah berdiri di belakang Ayra, tangannya sudah berlipat di atas dadanya.
"Gue—"
"Lo ga tau apa di dalem banyak banget kerjaan lo, kalau Dokter tau bisa mati lo," katanya memotong ucapan Ayra, ia terus mengatakan kata-kata kepada Ayra dengan sinis, matanya menatap Ayra kesal.
"Sori, tadi gue—"
"Ah udah deh lo ga usah banyak membela diri!" Lagi-lagi ucapan Ayra dipotong oleh wanita muda di hadapannya itu. Ayra mulai kesal, belum sempat Ayra menjelaskan pada teman kerjanya ini dia sudah memarahi Ayra tanpa tahu apa yang terjadi padanya.
"Ada apa ini?" Tiba-tiba ada seseorang datang menghampiri Ayra dan wanita yang memarahi Ayra
"Rendi?" Ayra menatap Rendi yang ada di sampingnya, apakah wanita ini memarahi Ayra dengan suara yang sangat keras hingga orang lain bisa tahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, enemies.
Teen FictionSeumur hidupnya, Ayra Nifsa Hanaya tidak akan pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan manusia semenyebalkan Prahansa Raffiansyah. Meskipun sudah hampir sepuluh tahun yang lalu, ingatan buruk tentang Raffi yang selalu mengejeknya masih terasa nyata...