Pagi ini mungkin adalah pagi yang cukup membahagiakan bagi Ayra. Setelah hari-hari kemarin yang dipenuhi dengan emosi, hari ini ia mengawalinya dengan senyuman. Ayra merasa menang karena pada akhirnya manusia itu bisa pergi dari hidupnya, dan Ayra harap setelah ini Raffi tidak akan muncul lagi dihadapannya.
Ia kembali merapihkan barang-barang yang akan dibawanya ke rumah sakit hari ini. Kemudian ditatap wajahnya sendiri didepan cermin. Ayra sungguh terlihat ceria, rona wajahnya menunjukan kesemangatan.
Hari ini tidak akan ada mata kuliah, jadi Ayra akan seharian berada dirumah sakit. Ayra jadi tidak sabar, menanti waktu yang akan memperlihatkan Raffi keluar dari rumah sakit. Bagi Ayra pintu-pintu untuk Raffi bisa mengganggunya lagi sudah tertutup, sudah tidak akan lagi Ayra melihat wajah yang selalu memperlihatkan seolah tanpa dosa itu.
Selepas mandi tadi Ayra mendapati pesan WhatsApp dari Rendi, katanya ia akan menjemput Ayra pagi ini. Itu juga yang mungkin menambah rasa semangat dari dalam diri Ayra. Mengapa Rendi selalu membuatnya sesenang ini?
Ketukan pintu itu yang pada akhirnya menghentikan senyum di wajah Ayra. Ia yakin itu pasti Rendi, setelah itu Ayra mengenakan jaketnya, membawa tasnya dan segera beranjak menghampiri Rendi diluar sana.
"Hai Ren." Sapanya saat mendapati Rendi didepan pintu, hari ini Rendi menggunakan jaket kulit berwarna cokelat, tasnya ia gandong dibahu sebelah kiri. He so cool.
"Udah siap?" Tanyanya setelah Ayra keluar dari balik pintu. Senyum manis itu pas sekali dengan awalan pagi ini yang cerah.
"Udah, bentar ya." Jawab Ayra lalu mengunci pintu.
Lalu Ayra menaiki motor Rendi, dan keduanya melesat menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, Rendi memarkirkan motor di area parkir khusus karyawan, dari situ semua mata memandang kearahnya, sebagian besar itu mata wanita, yang memandang Rendi dengan tatapan memukau dan langsung berubah kala melihat ke arah Ayra.
"Orang-orang liatnya pada gitu banget." Kata Ayra setelah keluar dari area parkir.
"Jangan liat tatapan orang Ra, fokus aja sama yang didepan." Ucap Rendi santai sambil terkekeh, Ayra pun ikut terkekeh dibuatnya.
Ayra dan Rendi terpisah kala sesampainya didepan ruangan Ayra. Ruangan Rendi sedikit lebih jauh dari ruangan Ayra, kira-kita harus melewati tiga lorong, tapi masih di lantai yang sama.
Setelah sampai didalam ruangan, Ayra langsung membuka jaketnya, sedikit merapihkan baju putih-putih yang ia kenakan. Rambut yang tadinya tergurai bebas ia ikat dengan rapih. Setelah selesai merapihkan penampilannya, Ayra membuka buku jurnal harian miliknya. Ayra sengaja membuat jurnal harian itu, baginya menuliskan semua kegiatan selama bekerja kedalam jurnal harian itu sangat penting. Ditulisnya hari Jum'at dan tanggal 24 Maret dibuku itu. Ayra jadi ingat bahwa besok sudah masuk weekend. Rencana apa ya yang akan ia lakukan?
"Pagi dok." Sapa Ayra pada dokter Hendra, rutinitas paginya Ayra harus mengambil jadwal kegiatannya bekerja untuk hari ini.
"Pagi, silahkan duduk sus." Sapa dokter Hendra kembali, ia menunjuk kursi dihadapannya mempersilahkan Ayra untuk duduk.
"Silahkan dilihat jadwal untuk hari ini." Ucap dokter Hendra seraya memberi Ayra satu lebar kertas. Hari ini tampaknya dokter Hendra sangat ceria, Ayra melihat ada satu kotak makan diatas meja dokternya itu, mungkin dari kekasihnya.
Banyak suster disini yang menggosipkan dokter Hendra dan wanita yang sering berkunjung keruangannya itu bila jam istirahat. Mereka semua tampak kesal karena dokter idola setampan dokter Hendra yang sukses sudah memiliki kekasih. Namun itu tidak bagi Ayra. Menurut Ayra, kekasih dokter Hendra cantik. Ia mengenakan hijab, tapi trend busananya sangat modern, tinggi semampai dan kulit kulit putih rasanya menjadi modal utama kecantikannya. Cocok sekali wanita secantik itu dengan dokter Hendra yang tampan. Suster-suster macam Ayra dan teman-temannya bisa apa kalau begitu?
"Untuk bapak Prahansa hari ini sudah bisa pulang, tapi sebelum dia pulang suster Ayra bisa kasih dulu obat-obatannya."
Tepat sekali dengan dugaan Ayra. Hari ini, lagi, bertemu dengan sosok yang sudah ingin Ayra hindari jauh-jauh. Meskipun Ayra tau bahwa Raffi sebentar lagi saja akan segera hengkang dari tempat kerjanya, tapi tetap saja bertemu dengan Raffi adalah hal yang selalu Ayra anggap sebagai mimpi buruk.
Tanpa dokter Hendra tau, Ayra menarik nafasnya perlahan lalu dibuangnya teratur. Sepertinya sekarang Ayra harus menyiapkan lebih banyak energi lagi untuk bertemu dengannya.
"Baik. Saya permisi dok." Ucap Ayra seraya tersenyum sebelum keluar dari ruangan dokternya itu.
Ayra melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi meskipun sudah siang. Ia terus saja menarik dan membuang nafasnya, mencoba untuk tenang dan berharap emosinya tidak akan terpancing lagi di hari ini. Kali ini tujuannya adalah apotek rumah sakit, ia hendak mengambil obat-obatan pasien yang akan ia berikan sekarang, termasuk obat Raffi.
Tidak harus menunggu waktu lama, semua obat-obatannya yang sepertinya sudah disiapkan oleh petugas apotek langsung Ayra terima. Dilihatnya obat-obatan yang sudah tertuliskan nama-nama pasiennya. Lalu Ayra mendapati obat atas nama Prahansa Raffiansyah. Rupanya dokter Hendra hanya meresepi obat untuk Raffi berupa Antibiotik, parasetamol, dan juga obat hipertensi.
Tenang Ra, tenang. Gumam Ayra ketika hendak masuk kedalam ruangan Raffi yang berada di lantai lima. Sebelum benar-benar memasukan tubuhnya ke dalam ruangan itu Ayra melihat Raffi yang sedang merapihkan baju-bajunya dan akan ia masukan kedalam tas ranselnya. Sepertinya Raffi sudah siap untuk pulang karena pakainya sudah rapih.
Tanpa aba-aba apapun Ayra langsung memasuki ruangan Raffi, tujuannya saat ini hanya memberi obat dan menyuruh Raffi untuk segera pulang, sudah itu saja. Ayra tidak ingin sekalipun ada pertengkaran sengit yang sebenarnya sangat receh.
"Eh, ada ibu suster." Ucap Raffi langsung kala Ayra memasuki kamar inapnya. Kegiatan merapihkan baju ia hentikan seketika.
"Suster, bisa engga kalau mau masuk ke ruangan pasiennya itu ketuk pintu dulu?" Katanya lagi setelah mendapati Ayra yang berdiri dihadapannya.
"Emang harus ya ketuk pintu buat pasien kaya lo?" Jawab Ayra yang gatal sekali ingin membalas ucapan Raffi yang terdengar menjengkelkan itu.
"Ya iya lah, sopan santunnya dipake ya!" Kata Raffi lagi tak ingin kalah mengucapkan kata demi kata yang justru memancing perdebatan diantara keduanya.
"Lo tau apa tentang sopan santun?" Ujar Ayra sambil tersenyum getir.
"Heh, AI lo tuh-"
"Sstt!" Ayra mengangkat jari telunjuknya pas ke depan mulut Raffi, seketika laki-laki itu menghentikan ucapannya.
Ayra memalingkan matanya pada baju-baju yang sedang Raffi pack. "Bagus lah, akhirnya lo sadar juga buat pergi dari sini!" Ucapnya.
"Seneng ya lo?" Tanya Raffi mengerutkan keningnya menatap Ayra.
"Bahagia gue." Jawab Ayra yang langsung tertawa lepas. Lepas sekali, puas rasanya menertawakan Raffi seperti ini.
Raffi justru tak terima dan menunjuk-nunjukan telunjuknya ke depan mata Ayra geram. "Wah parah nih ingus satu!"
Ayra tak ambil repot dengan sebutan ingus yang tadi Raffi ucapkan. Fikirnya, biarlah, lagi pula setelah ini tidak akan ada lagi manusia yang menyebutnya ingus kan setelah Raffi pergi dari rumah sakit?
"Tuh obat lo, cepetan pergi deh!" Ayra lalu menyimpan obat milik Raffi di atas nakas secara asal, kemudian Ayra berlalu meninggalkan Raffi yang masih menatapnya dengan tatapan tak suka.
"Ehh main pergi aja lo, AI." Kata Raffi yang Ayra dengar samar-samar karena sudah berada diambang pintu.
Ayra keluar dari sana dengan puas, senyuman kemenangan ia kembangkan dengan lebar. Setelah ini tidak akan ada lagi manusia menyebalkan di tempat kerjanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, enemies.
Teen FictionSeumur hidupnya, Ayra Nifsa Hanaya tidak akan pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan manusia semenyebalkan Prahansa Raffiansyah. Meskipun sudah hampir sepuluh tahun yang lalu, ingatan buruk tentang Raffi yang selalu mengejeknya masih terasa nyata...