Pukul 12 siang Ayra selesai kuliah. Setelah menyelesaikan mata kuliahnya, Ayra langsung bergegas menuju Rumah Sakit. Sesampainya disana, Ayra mengganti pakaiannya dan menyiapkan peralatan bekerjanya, setelah itu ia langsung melanjutkan aktifitasnya.
Tujuannya sekarang adalah ruangan dokter. Ia akan meminta jadwalnya untuk hari ini, mengecek ruang pasien nomer berapa, atau hanya mengurusi peralatan-peralatan yang akan digunakan, baik peralatan untuk mengecek biasa, atau peralatan untuk oprasi.
"Permisi dok" Dokter yang sedang membaca sebuah buku berukuran lumayan tebal itu, memalingkan pandangannya menuju seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu ruangannya.
"Masuk sus" Ucap dokter itu, Ayra masuk dan duduk di hadapannya.
Namanya Dokter Hendra, salah satu dokter muda berbakat di rumah sakit. Banyak orang yang bilang, ia adalah lulusan luar negeri yang langsung berkerja di rumah sakit ini. Katanya juga dokter ini berasal dari keluarga kaya raya yang memang keturunan dokter. Banyak suster lain yang mengagumi dokter Hendra ini, bukan hanya kaya dan pintar, dokter Hendra juga sangat rupawan wajahnya sangat tampan. Setiap orang yang melihat dokter Hendra, melihat aura yang langsung terpencar dari dirinya.
Disaat orang-orang mati-matian meyukai dokter Hendra, Ayra malah terlihat biasa saja. Banyak orang yang ingin menjadi suster dokter Hendra, tapi ternyata Ayra lah yang terpilih menjadi susternya. Ayra senang, tapi tidak terlalu menggebu. Ayra juga menyukai dokter perfect ini, siapa yang menyangkal tidak suka pada manusia seindah dokter Hendra, tapi ini bukan tipe Ayra, dokter Hendra bukan tipe Ayra. Dari dulu Ayra sangat menjauhi kata suka pada laki-laki yang terlihat tampan dan sempurna, bukan hanya minder, Ayra juga tidak ingin pusing dengan saingan-saingannya yang banyak. Ayra hanya perlu laki-laki biasa, bukan tentang harta atau rupa, tapi tentang hati yang baik, seseorang yang bisa menerima segala kekurangan Ayra, sudah terasa lengkap bagi Ayra.
"Ini bisa dilihat jadwal suster Ayra" Ucap dokter Hendra menyodorkan kertas pada Ayra.
Sambil membaca, Ayra mendengarkan penjelasan dari dokter. Ada sekitar delapan ruangan yang harus dikunjunginya hari ini, bermacam pasien, bermacam keluhan. Ayra harus mengecek kondisi mereka.
"Nah yang terakhir, ruangan nomer 487. Nama pasiennya bapak Prahansa, dia kondisinya udah baik, jadi besok pagi udah bisa pulang. Sekarang, cek dulu aja tensi darahnya, suruh makan sama minum obat, terus istirahat yang cukup" Ayra mengigit bibir bawahnya.
Sial. Katanya dalam hati. Jelas, Prahansa itu Raffi, kenapa harus Raffi lagi? Kenapa harus mengecek kondisi Raffi lagi? Kenapa harus bertemu dengan Raffi lagi? Mood Ayra benar-benar langsung turun kala mendengar nama itu lagi, nama yang tidak asing, nama yang bisa membuat telinganya gatal saat mendengarnya.
"Sus?" Ucap dokter Hendra yang melihat Ayra tiba-tiba melamun.
"Eh iya dok baik" Jawab Ayra sambil terkekeh.
Dokter Hendra tersenyum pada Ayra "Oh iya kalau bisa sekarang aja langsung ke ruang pak Prahansa, soalnya kan besok udah harus pulang" Ini lebih sial lagi, kenapa harus sekarang? Setidaknya kasih waktu Ayra untuk mengumpulkan tenaga sebelum masuk ruangan pria menyebalkan itu.
"Oh iya dok, kalau gitu. Saya permisi" Ucap Ayra langsung keluar dari ruangan dokter Hendra.
Lagi-lagi, untuk kesekian kali Ayra harus bertemu dengan Raffi, dengan teman lamanya yang sangat menyebalkan itu. Bukan hanya orangnya yang menyebalkan, Raffi juga sifatnya sangat menyebalkan. Ayra terlalu malas mengingat wajah Raffi, setiap wajah Raffi lewat di benaknya Ayra jadi ingat kenangan dulu yang sama menyebalkannya.
Emosinya menaik lagi, tenggorokannya agak sakit menahan amarah lama yang sekarang datang lagi. Rasanya Ayra ingin menangis, tapi bukankah dulu Ayra sudah kebal dengan ejekan laki-laki yang hanya berani pada perempuan itu? Kenapa sekarang mentalnya menurun lagi?
Otaknya selalu menanyakan satu pertanyaan dari kemarin. Kenapa harus bertemu lagi?
Kalau Ayra dan Raffi tidak bertemu lagi, tidak akan seperti ini. Ayra tidak akan terganggu fikirannya, emosinya, bahkan pekerjaannya. Lihat saja, dokter udah menyuruh Ayra bekerja, tetapi Ayra masih duduk diruangannya, sambil melamun, lama-lama Ayra bisa stres bila terus berfikir keras seperti ini.Ayra menarik nafasnya, lalu dibuangnya perlahan. Ia mulai mengumpulkan energinya untuk bangun dan bekerja. Ayra harus lawan ini semua, rasa malasnya. Ini hanya sekali, yang harus dilakukannya hanya mengecek, setelah itu Ayra keluar dari ruangan Raffi. Dan Ayra harap ini terakhir kalinya bertemu Raffi, setelah ini ia tidak akan bertemu lagi, karena Raffi besok pagi sudah pulang. Ayra sedikit tersenyum, dan segera beranjak menuju ruang inap milik Raffi sambil membawa papan dada di tangannya.
"Permisi" Setelah mengetuk pintu dua kali, Ayra masuk ke ruangan Raffi. Ayra menarik dan membuang nafasnya lagi, dan dilihatnya laki-laki itu sedang tidur di atas ranjangnya sambil membaca koran yang menutupi seluruh wajahnya.
"Iya" Jawabnya dan langsung memalingkan koran itu dari hadapannya.
"Ngapain lo kesini?" Wajahnya langsung berubah kala melihat ternyata suster bernama Ayra yang datang pada ruangannya. Wajah jahil.
"Menurut lo?" Ayra mendekat pada Raffi, dan langsung mencari alat tensi darah di dalam nakas sebelah ranjang Raffi.
"Hm, lo pasti khawatir kan sama gue, makanya lo mau cek kondisi gue" Ucap Raffi dengan wajah jahilnya, bibirnya terangkat, dan tersenyum-senyum tidak jelas.
"Diem lo, siapa juga yang khawatir, kalau bukan tugas gue cek lo, gue ogah kesini" Ucap Ayra ketus. Kegiatan mencari alat tensi darahnya berhenti karena barang itu sudah ditemukannya, lalu ia letakan di sebelah tubuh Raffi.
"Alah, alasan mulu lo" Ucap Raffi sambil memalingkan pandangannya ke luar jendela.
"Udah lo bisa diem ga sih, ini gue mau tensi darah lo" Ucap Ayra.
"Ya udah cek mah cek aja kali" Jawab Raffi. Lalu Ayra langsung mengenakan kain ban pada lengan Raffi dan mengecek tensi darahnya sekarang. Ternyata memang hasilnya sudah baik, kondisi Raffi juga sepertinya sudah sehat.
"Bagus, bentar lagi lo makan abis itu lo makan obat. Kata dokter-" Ucap Ayra setelah selesai mengecek tensi darah Raffi.
"Tuh tuh kan lo khawatir kan sama gue?" Ucap Raffi memotong ucapan Ayra. Jari telunjuknya menuntuk ke wajah Ayra, Ayra yang tidak nyaman langsung mendelikkan matanya ke lain arah.
"Ga usah pede bisa ga sih jadi orang, ini semua kata dokter ya bukan kata gue" Ucap Ayra menekankan kata di setiap kalimatnya. Raffi memajukan bibirnya.
"Kata dokter, lo besok udah bisa pulang" Ucap Ayra memberi tahu bahwa besok Raffi sudah bisa pulang, dan Ayra sudah bisa bebas terlepas dari manusia menjengkelkan seperti pria dihadapannya itu.
"Pulang kemana?" Ucap Raffi sedikit kencang, alisnya mengerut, dan matanya menatap Ayra lekat-lekat, seperti meminta penjelasan lebih lanjut.
Ayra yang ditatap seperti itu, langsung kelu. Selama beberapa detik ia diam dan malah membalas tatapan Raffi. Setelah sadar Ayra memalingkan matanya, lalu mengeluarkan kata-kata ketusnya lagi.
"Pulang ke rumah lo lah, lo pikir ini rumah sakit punya nenek moyang lo. Seenaknya aja nginep disini" Ucap Ayra.
"Heh AI, mau ini rumah sakit nenek moyang gue kek, nenek moyang lo kek, atau bahkan punya nenek moyangnya presiden sekali pun. Gue bisa sebebasnya nginep disini" Jawab Raffi, yang benar-benar ngelantur. Fikir Ayra, siapa dia? Sampai-sampai bisa nginep dirumah sakit nenek motangnya presiden. Ayra menemukan fakta baru, bahwa sebenarnya otaknya Raffi itu dari dulu memang pendek, bibirnya aja yang panjang.
"Siapa elo?" Jawab Ayra menahan tawanya. Kalau tidak gengsi ia pasti sudah tetawa terbahak-bahak karena ucapan ngelantur Raffi.
"Ya biarin lah terserah gu-" Ucap Raffi ketus.
"Ah udah udah pusing gue denger lo. Mendingan lo cepet cepet puang deh, males gue harus ketemu lo mulu disini." Potong Ayra, lalu membereskan alat-alatnya. Setelah selesai, ia bergegas pergi keluar kamar Raffi tanpa meminta izin.
"Ko lo gitu sih, mau kemana heh AI." Teriak Raffi.
"Emangnya lo ga kangen sama gue" Lanjutnya, Ayra yang sudah di ambang pintu, berbalik.
"Najiss" Jawabnya, lalu keluar.
"Anjir, AI denger gue kali. Jangan pergi heh, inguss." Teriak Raffi, meskipun Ayra tak mendengarnya. Setelah itu ia tersenyum lalu tertawa lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, enemies.
Teen FictionSeumur hidupnya, Ayra Nifsa Hanaya tidak akan pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan manusia semenyebalkan Prahansa Raffiansyah. Meskipun sudah hampir sepuluh tahun yang lalu, ingatan buruk tentang Raffi yang selalu mengejeknya masih terasa nyata...