Sekitar pukul empat sore, Ayra memutuskan untuk pergi menuju rumah Mpok Ipeh. Entah apa sebetulnya yang ada didalam pikiran Ayra, namun yang pasti ia ingin sekali tetangga baru disebelahnya itu segera pergi, atau setidaknya dipindahkan. Ayra tidak akan pernah mau hidup berdampingan dengan manusia yang telah Ayra cap sebagai musuh bebuyutannya itu.
Tidak butuh waktu lama, sekitar tiga ketukan dipintu, Mpok Ipeh langsung menampakan dirinya dihadapan Ayra. Kesan pertama ia terkejut melihat Ayra yang sudah berada didepan rumahnya, namun setelah itu perempuan yang sudah berkepala tiga tersebut langsung mempersilahkan Ayra untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Ada apa Ra, lo mau bayar uang kosan ya?" Tanya Mpok Ipeh setelah Ayra memasuki ruang tamunya.
"Udah kali, Mpok."
"Ya kali aja mau bayar buat yang bulan depan." Katanya seraya tertawa, Ayra ikut tertawa meski sangat pelan. Ia sangat tidak bersemangat untuk hari ini.
Ayra mencium bau masakan didalam rumah Mpok Ipeh. Sepertinya Ibu kosnya itu sedang memasak, "Lagi masak ya, Mpok?" Tanyanya.
"Iya nih, bentar ya Ra." Jawab Mpok Ipeh yang langsung berlalu meninggalkan Ayra menuju dapurnya.
Ayra menyapu pandangan ke setiap sudut rumah Mpok Ipeh. Untuk ukuran tinggal sendiri, rumah itu cukup luas, bahkan ruang tamu di sana mungkin sebanding dengan kamar Ayra di kosan.
Lalu matanya berhenti pada sebuah foto keluarga yang terpampang didinding. Ayra mengamati foto itu, disana terlihat Mpok Ipeh sedang bersama dengan kedua orang tuanya yang usianya sudah cukup tua. Pantas saja, Mpok Ipeh diwarisi tanah luas ini karena ia adalah anak tunggal.
Sebetulnya Mpok Ipeh itu sangat beruntung, ia tidak perlu bekerja namun sudah berpenghasilan dari kamar kos-kosan yang ia sewakan. Bahkan diusianya yang masih muda Mpok Ipeh sudah mempunyai harta yang bukan main banyaknya.
Mpok Ipeh itu selalu bercerita pada Ayra, ia selalu berbagi pengalamannya, bahkan sesekali Ayra selalu diberi wejangan untuk hal apapun. Dari sekian banyak keberuntungan yang Mpok Ipeh miliki, Ayra tahu bahwa Mpok Ipeh tak lain hanya seorang wanita yang kesepian.
Terkadang Mpok Ipeh selalu larut dalam tangisnya bila sudah membicarakan tentang kisah cintanya. Pria yang dinikahinya hampir lima tahun itu ternyata berkhianat, ia meninggalkan Mpok Ipeh demi wanita simpanannya. Bagi Ayra Mpok Ipeh sudah sangat kuat untuk menanggung hidupnya.
Mpok Ipeh memang harus jadi salah satu orang yang Ayra panuti kesabarannya dalam menjalani hidup.
"Nih Ra, buat lo." Mpok Ipeh menghampiri Ayra sambil membawa satu piring yang sudah ditutupi oleh tisu.
"Wah apa ini, Mpok?" Ucap Ayra seraya membuka pemberian makanan dari Mpok Ipeh.
"Itu gue abis goreng bakwan."
"Aduh makasih Mpok, repot-repot." Kata Ayra seraya tersenyum pada Mpok Ipeh. Mpok Ipeh sudah duduk dihadapan Ayra, siap mendengarkan apa yang akan Ayra sampaikan.
"Ah kagak."
"Gini loh Mpok," Ayra meletakan piring berisi bakwan itu diatas meja. Lalu ia mulai bersiap untuk menyampaikan keinginannya.
"Bisa engga kalau cowok yang ngekos disebelah aku itu disuruh pergi aja, Mpok." Lanjutnya, muka super memelas sudah Ayra pasang sejak saat itu.
"Pergi gimana? Lagian kalian berdua tuh kenapa sih. Sumpah ya Ra, tadi gue kaget banget kalian tiba-tiba berantem." Jawab Mpok Ipeh merapihkan posisi duduknya agar bisa lebih fokus bertanya perihal tadi pagi pada Ayra.
"Sumpah juga ya, Mpok. Aku engga mau banget dia ngekos disebelah aku." Ucap Ayra lesu namun emosinya sudah sangat terlihat lagi.
"Jadi kalian berdua itu udah kenal dari kecil? Terus musuhan?"
Ayra mulai menjelaskan hubungannya dengan Raffi pada Mpok Ipeh, "Dia itu manusia paling nyebelin, Mpok. Dia sukanya ngeledek aku, ngejelek-jelekin aku, bikin aku kesel. Kita ketemu lagi di Rumah sakit kamarin, baru aja aku seneng karena dia udah pulang. Eh, sial banget malah ketemu di kosan. Pokoknya aku engga mau banget ketemu, bahkan berurusan sama orang itu, Mpok."
Penuh penekanan Ayra menjelaskan semua itu pada Mpok Ipeh, namun ekspresi wajah Mpok Ipeh persis seperti ekspresi teman-temannya kemarin saat mendengar cerita pedih Ayra dengan Raffi.
Mpok Ipeh sangat keras tertawa, ia puas sekali menertawakan Ayra. Mengapa setiap orang yang telah mendengar kekesalan Ayra pada Raffi selalu menanggapinya dengan tawaan seperti itu?
"Mpok, please. Aku serius." Mpok Ipeh berusaha menghentikan tawanya setelah Ayra mengucapkan itu. Namun sisa-sisa tawanya masih terasa, bahkan ia saat ini sedang sibuk menghapus air yang keluar dimatanya karena terlalu kencang menertawakan Ayra.
"Aduh Ra, lo kan udah gede ya. Masa masih aja musuh-musuhan kayak gitu?"
"Mpok ga tau sih dia orangnya kayak gimana." Kata Ayra cemberut.
"Dia baik ah orangnya."
"Beda lagi Mpok kalau sama aku."
"Oke-oke, jadi lo maunya gimana?" Ayra segera menumbuhkan semangatnya saat Mpok Ipeh mengucapkan itu. Yang Ayra ingin adalah, Raffi pergi!
"Suruh dia pergi ya Mpok, jangan ngekos di sini." Kata Ayra kembali memelas dengan penuh permohonan.
"Ya engga bisa lah Ra. Dia udah nyewa kosan di sini, uangnya udah lagi, cash sampai setahun kedepan."
Ayra melebarkan matanya, mulutnya pun spontan terbuka. Apa Mpok Ipeh bilang tadi? Raffi sudah ngasih uang cash buat setahun kedepan? Ini mimpi buruk keberapa lagi, rasanya semua hal yang dibicarakan tentang Raffi memanglah mimpi buruk bagi Ayra.
Ayra tidak akan pernah bisa membayanginya jika laki-laki itu sungguh ngekos di sini selama setahun kedepan, bahkan bersebelahan pula dengan Ayra. Ia sudah tahu apa yang akan manusia menyebalkan itu lakukan pada Ayra.
Hidup Ayra tidak akan pernah tenang jika Raffi ada disini, hari-harinya akan selalu dipenuhi oleh emosi dan amarah karena harus menanggapi celotehan menyebalkan dari mulutnya itu.
"Ga bisa banget ya, Mpok?" Tanya Ayra, ia memainkan jari-jari tangannya seraya memandang ke arah lantai lemas.
"Ga enak gue sama dia kalau gitu. Masa gue harus usir dia, sih?"
Bagi Ayra mungkin cukup mudah untuk mengatakan bahwa "Raffi harus pergi." Namun berbeda bagi Mpok Ipeh, sebenci apapun Ayra pada Raffi, tetaplah itu hanya urusan pribadi. Mpok Ipeh tidak akan merelakan bisnisnya rugi hanya karena memenuhi permintaan Ayra. Walaupun untuk Mpok Ipeh sendiri, Ayra sudah ia anggap sebagai adiknya, sangat dekat dengan dirinya. Tapi tetap saja, bisnis tetaplah bisnis.
Ayra benar-benar sudah kehilangan kesemangatannya, bahkan sedari tadi. Cara yang paling utama membuat Raffi pergi ya hanya meminta tolong agar Mpok Ipeh mengusirnya. Namun itu ternyata bukanlah cara yang berhasil.
"Atau setidaknya dia jangan tinggal disamping gue banget." Adalah ungkapan kesekian kali yang Ayra ucapkan didalam batinnya.
Jikalau Mpok Ipeh tidak berkenan untuk mengusir Raffi. Mungkin setidaknya Mpok Ipeh bisa menyuruh Raffi pindah kamar kos. Ayra ingat kamar kos paling ujung sudah lama pula tidak berpenghuni. Raffi memang sepatutnya tinggal di sana daripadi disebelah Ayra.
"Kalau gitu suruh dia pindah ke kamar yang paling ujung ya, Mpok. Please, aku engga mau banget sebelahan sama dia." Ayra menggerakan tangannya, lalu membentuknya seperti isyarat memohon.
Cukup lama Mpok Ipeh terdiam, ia terlihat seperti sedang menimbang-nimbang. Ayra dihadapannya tak henti menatapnya dengan tatapan mohon.
"Ya udah deh gue coba. Yuk kita ngomong sama dia kesana."
Gotcha! Mpok Ipeh memang paling the best.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, enemies.
Teen FictionSeumur hidupnya, Ayra Nifsa Hanaya tidak akan pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan manusia semenyebalkan Prahansa Raffiansyah. Meskipun sudah hampir sepuluh tahun yang lalu, ingatan buruk tentang Raffi yang selalu mengejeknya masih terasa nyata...