"Kenapa sih senyum-senyum gitu?" Sesampainya Ayra di meja jaga perawat, ia mendapati Rini yang sedang berkutat dengan buku catatan yang lumayan tebal, mungkin itu catatan harian perkembangan pasien.
"Ohh, si teman rasa musuh lo itu udah pulang, ya?" Kata Rini lagi setelah Ayra duduk di sampingnya.
"Saratus. Gue puas banget sumpah ketawain dia tadi." Jawab Ayra tidak melepaskan tawanya sedari tadi.
Rini yang melihat Ayra seperti ini hanya bisa menggelengkan kepalanya, seraya ikut tertawa. Lebih tepatnya menertawakan sikap Ayra yang sungguh tidak wajar seperti sekarang ini.
"Emangnya dia udah pulang ya? Perasaan gue belum liat."
"Belum sih, palingan bentar lagi." Jawab Ayra seraya menuliskan kepulangan pasiennya atas nama Prahansa Raffiansyah di buku catatan itu untuk hari ini.
"Ngomongin siapa sih, siapa yang mau pulang?" Ujar Dira, salah satu teman sesama suster yang dekat dengan Ayra dan juga Rini. Ia duduk di kursi sebelah Rini.
"Noh, ngomongin musuhnya si Ayra." Jawab Rini sambil sedikit tertawa.
"Musuh? Lo perang dimana Ra, punya musuh segala." Ucap Dira kebingungan.
Ayra terkekeh mendengar ucapan Dira barusan. Kata perang terdengar sangat lucu, kalau dipikir-pikir Ayra dan Raffi memang selalu perang, bahkan sejak dulu. Entah perang seperti apa yang mereka geluti, mungkin perang lempar cacian dan ledekan.
"Musuh bebuyutan gue, Dir."
"Lucu kan Dir, punya musuh dari kecil coba, dan sekarang masih aja musuhan." Ucap Rini pada Dira yang sudah mulai larut dalam tawanya.
"Serius?"
"Musuhnya cowok lagi." Jawab Rini yang justru menggosipkan Ayra didepan orangnya langsung.
"Hati-hati loh Ra, jangan terlalu benci." Kata Dira terus menertawakan Ayra.
"Udah gue bilangan, tau sendiri nantinya kayak gimana." Ucap Rini, yang lalu dilanjutkan dengan tawaan keras dari keduanya.
"Heh, kalian tuh apaan sih. Engga ya, gue ga bakal kayak gitu. Dari dulu sampai sekarang, dia tetep musuh gue, paling gue benci." Ucap Ayra berapi-api, sontak keduanya mendekat ke arah Ayra, dan berusaha menenangkan Ayra.
"Sabar Ra, sabar."
"Tuh kalian berdua liat ya, bentar lagi dia keluar. Dan pasti ada aja yang bakal dia omongin ke gue." Ucap Ayra dengan muka sebalnya, ia menunjuk ke arah kamar inap Raffi yang pintunya terbuka.
Keluarlah sosok manusia yang paling menyebalkan bagi Ayra dari ruangan itu, ia mengenakan jaket bomber berwarna hijau army, tas ransel yang lumayan besar itu ia gandong di kedua bahunya. Lalu dengan langkah santainya ia menggunakan topi berwarna hitam diatas kepalanya.
So ganteng banget. Gumam Ayra pelan.
Raffi berjalan menuju tangga. Sepertinya lelaki itu tidak menyadari keberadaan Ayra yang sedang duduk dekat meja tunggu suster, tidak terlalu jauh dari tangga turun berada.
Namun langkahnya terhenti, kala mata yang sedikit tertutupi oleh topi itu mengarah kepada Ayra. Senyum jahilnya kembali terlihat di wajah menyebalkan Raffi. Ia kembali berjalan santai ke arah Ayra, tidak jadi turun ke tangga.
"Kenapa lo, bahagia banget kayanya gue pergi dari sini." Ujar Raffi setelah sampai di meja itu, Ayra yang sedang duduk segera bangkit dari sana dan menghampiri Raffi. Sedangkan kedua temannya itu hanya diam memperhatikan Ayra, yang entah akan menjawab apa.
Tidak langsung menjawab, Ayra justru tersenyum sangat puas sambil bersandar santai di meja yang tingginya sekitar bahu Ayra.
"Merdeka banget buat gue." Jawab Ayra lalu tertawa lumayan kencang.
Raffi tersenyum sinis ke arah Ayra. "Denger ya suster Ayra Ingus, gue cuman keluar dari rumah sakit ini, bukan keluar dari bumi. Jadi, masih ada kesempatan gue buat ketemu sama lo." Ucapnya.
Ayra justru semakin tertawa mendengar ucapan Raffi yang terkesan memaksakan kehendak seperti itu. Bagi Ayra, kesempatan yang Raffi ucapkan barusan tidak akan pernah terjadi, bagaimana pun pertemuan menyebalkan seperti ini hanya terjadi di rumah sakit, setelah ini tidak akan pernah Ayra alami lagi.
Amit-amit, amit-amit. Batin Ayra terus bersuara.
"Gue, ga akan pernah mau ketemu lagi sama banci kayak lo, ngerti?" Ujar Ayra galak.
Kali ini Raffi yang menertawakan Ayra dengan kencang. Saking kencangnya, Raffi tertawa hingga sesegukan. Raffi menatap mata Ayra dengan lekat setelah menyelesaikan kegiatan tertawanya. Setelah lama menatap Ayra, Raffi memalingkan pandangannya ke arah dua teman Ayra, lalu Raffi mendekat pada Rini dan Dira yang sedang fokus memperhatikan perdebatan mereka.
"Hallo, suster suster" Ucap Raffi seraya tersenyum layaknya pria penggoda. Rini dan Dira seketika membalas tersenyum ke arah Raffi dan menganggukkan kepalanya tanda menghormati salah satu pasien di rumah sakit ini.
"Tolong di jagain ya suster ini. Takutnya stres dari kemarin marah-marah mulu." Lanjut Raffi menunjuk ke arah Ayra menggunakan dagunya.
Mata Ayra membulat sempurna mendengan penuturan Raffi. Emosinya sedari tadi sudah Ayra jaga untuk tidak meluap-luap, tapi Raffi selalu sukses membuat Ayra kesal seperti ini.
Ayra memandang Raffi lagi dengan tatapan super tajam. Lelaki yang ditatap seperti itu, justru hanya tersenyum-senyum tidak jelas. Lalu Raffi kembali membenarkan posisi topi, sebelum ia mengucapkan satu kalimat lagi yang membuat Ayra tambah geram.
"Selamat bertemu kembali di lain waktu, suster ingus." Katanya sebelum benar-benar meninggalkan Ayra yang terpaku. Ingin sekali Ayra menancapkan paku di bibirnya.
Ayra menghentakkan kakinya kesal. Kalau bisa diperlihatkan mungkin diubun-ubunnya sudah ada api yang membara begitu besar. Hingga rasanya kepala Ayra banyak mengeluarkan asap kemarahan. Ayra tersadar dari kekesalan yang menggeluti pikirannya saat ini, kala mendengar kedua temannya Rini dan Dira yang sudah tertawa terpingkal-pingkal sangat puas menertawakan Ayra.
"Kalian apaan sih, kok malah ngetawain gue kayak gitu!" Ucap Ayra seraya cemberut. Lalu menghampiri keduanya yang terus saja melangsungkan kegiatan tawanya.
"Ya abisnya kalian lucu banget sih. Sumpah ya, gue kayak nontonin bocah yang lagi berantem." Ucap Rini, wajahnya sudah semu kemerahan, mungkin karena terlalu lama menertawakan Ayra.
"Tapi Ra, bener juga sih kata dia, kalian bisa aja ketemu lagi setelah ini." Kata Dira kemudian, Ayra menatap Dira kesal. Sampai kapan pun Ayra tidak akan pernah mau bertemu lagi dengan Raffi.
"Kan dia masih ada di bumi, Ra." Ucap Rini, lalu keduanya tertawa lagi sangat terbahak-bahak.
Ayra sudah jengah karena kedua temannya yang terus tertawa. Ia membawa papan dada miliknya dan hendak bersiap turun ke lantai dua, tepat ruangannya berada.
"Mau kemana, Ra?"
"Mau pergi dari bumi!" Ujar Ayra kesal sebelum dirinya benar-benar melarikan diri dari kedua teman yang justru semakin terbahak-bahak melihat prilaku Ayra yang sepertinya sudah ingin berubah jadi macan.
Setelah sampai di dalam ruangannya, Ayra mendapati beberapa temannya disana. Mereka sedang makan siang sambil mengobrol. Ayra sempat diajak untuk gabung, namun Ayra menolak, karena pikirannya sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya fokus.
Ayra kembali diam saat dirinya sudah menduduki kursi disana. Kekesalannya masih terus terasa hingga saat ini, lalu bagaimana bisa kedua sahabatnya Rini dan juga Dira justru seperti mengulangi ucapan Raffi yang mungkin bisa saja mereka bertemu lagi.
Ditepisnya ucapan itu dari dalam benak. Ayra menutupi muka yang sepertinya sudah terlihat sangat gusar, didalam hatinya Ayra merafalkan doa agar setelah ini Ayra tidak bertemu lagi dengan Raffi.
Sial, mengapa manusia menyebalkan itu selalu membuat mood Ayra turun seperti ini.
Ayra merasakan getaran dari dalam saku bajunya, ponselnya bergetar menandakan ada satu pesan WhatsApp yang masuk. Lalu dibukanya pesan itu ternyata dari Rendi.
Rendi : Nanti pulangnya aku tungguin di parkiran ya, kita pulang bareng. ☺️
Seketika senyumnya mengembang karena mendapatkan pesan itu. Rendi selalu berhasil jadi Moodbooster Ayra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, enemies.
Teen FictionSeumur hidupnya, Ayra Nifsa Hanaya tidak akan pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan manusia semenyebalkan Prahansa Raffiansyah. Meskipun sudah hampir sepuluh tahun yang lalu, ingatan buruk tentang Raffi yang selalu mengejeknya masih terasa nyata...