Prolog

97 23 4
                                    


Gadis berusia tujuh belas tahun itu memandangi hujan dengan tatapan rindu. Ya, tatapan rindu. Hujan mengingatkannya akan banyak hal. Hal yang mebahagiakan.
Namun, hujan kali ini tidak lagi membawa kebahagiaan untuknya. Ia merasa hujan kali ini membawa kesedihan.

Kesedihan yang sulit ia tanggung.
Kesedihan yang sebenarnya berawal dari kisah sedih yang salah ia artikan sebagai kisah bahagia. Kemudian berubah menjadi kisah bahagia yang sebenarnya. Namun, sepertinya kebahagiaan membencinya. Ketika ia baru saja merasakan kebahagiaan itu, justru kebahagiaan melarikan diri dari dirinya. Seolah kebahagiaan tidak rela kalau ia dirasakan oleh dirinya.

Apakah ia benar-benar tidak pantas merasakan kebahagiaan?

Apakah kebahagiaan tidak tercipta untuk dirinya?

Apakah kebahagiaan membenci dirinya?

Apakah kebahagiaan hanya diciptakan untuk orang lain selain dirinya?

Itulah yang selalu terulang di dalam pikirannya ketika ia melihat hujan. Dan sialnya, sudah satu bulan ini hujan selalu turun. Hampir setiap hari dan setiap saat. Dan itu berarti pertanyaan yang sama selalu terulang di kepalanya.

Oh, kalian boleh menganggap ia manusia yang tidak bersyukur. Namun sebenarnya ia bukannya tidak bersyukur. Ia bersyukur, sangat bersyukur ketika kebahagiaan yang dulu pernah dirasakannya menghampiri dirinya. Namun ketika ia mulai bersyukur, kebahagiaan justru terenggut dari dirinya.

Dan sekarang ia merasa rindu pada kebahagiaan yang dulu pernah ia rasakan.

Rasa rindu yang selalu ia rasakan kala ia memandangi hujan.

Sayap Pelindung yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang