Chapter 3

86 7 0
                                    

"Kau harus mengikuti not-nya. Jika kau tidak mengikuti aturan, maka tidak akan menjadi sebuah lagu," tutur Jiyeon yang kini bersikap layaknya seorang guru piano pada Minho yang duduk di sebelahnya.

"Emm... aku tidak bisa membaca not," Minho menatap Jiyeon dengan penuh harap gadis itu akan membantunya.

Jiyeon menghela nafasnya berat. Hingga akhirnya ia mengangguk, "Baiklah, lihat tanganku baik – baik."

Minho menatap jemari Jiyeon yang bergerak perlahan namun pasti membuat nada yang indah. Sebuah instrument piano yang nampak pernah di dengar oleh Minho. Ya, sebuah lagu yang dimainkan almarhum ayah Minho saat masih hidup. Beliau adalah pemain piano yang hebat. Tapi sayang, sang anak tidak bisa menuruni bakatnya.

-oOo-

"Gomawo, kau sudah mau mengajariku bermain piano," ucap lelaki berambut hitam pada gadis di sebelahnya.

Gadis itu tersenyum, "Ne, cheonmaneyo."

"Emm... mianhae, karena kemarin aku berkata kasar dan menyinggung perasaanmu," Minho menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari terus melangkah mengikuti gadis berambut lurus itu.

Langkah mereka terhenti ketika sudah sampai di depan gerbang hitam tinggi hingga rumah di baliknya tidak terlihat. Jiyeon, gadis cantik itu menghampiri pintu gerbang rumahnya. Ia membungkuk dan dibalas oleh Minho, "Aku masuk dulu."

"Ah ne. Tidur yang nyenyak ya."

Jiyeon mengangguk. Tangannya segera meraih selot pintu dan membuka gerbang tersebut lalu memasukinya. Minho tetap berada di tempa. Menatap pintu gerbang yang kembali tertutup rapat. Ia mengembangkan senyumnya, merasa malam ini ia akan mimpi indah. Kakinya pun segera berbalik ke belakang hendak kembali ke rumahnya.

"KYAA~! Ayah!!"

Terdengar jeritan yang suaranya di kenal oleh lelaki berdarah A itu. Ia menoleh ke belakang, menatap pintu gerbang rumah keluarga Park. Ia yakin sekali kalau suara itu berasal dari dalam rumah tersebut. Segera ia menghampiri pagar dan mengintip ke celah pagar. Matanya yang sipit itu pun menangkap sosok Jiyeon yang tengah di seret oleh seorang pria bertangan kekar. Minho panas melihatnya. Hampir saja ia membuka gerbang untuk menyelamatkan gadis itu. Namun ia mengurungkan niatnya. Pikirannya melayang pada sosok Jiyeon yang akan membencinya jika ia ikut campur dalam urusan keluarganya. Walaupun ia saat ini ingin sekali membawa lari Jiyeon dari pria itu, ah bukan... itu ayah Jiyeon. Tapi ia masih punya akal yang waras. Ia akan menunggu keadaan selanjutnya dan tak mau bertindak gegabah.

-oOo-

Minho mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah gadis yang sedang berbincang dengan sahabatnya, Sulli. Ia sudah lelah memandangnya dari jauh dan berpikir yang bukan – bukan. Segera ia bangkit dari kursinya dan menghampiri gadis dengan rambut tergerai itu, "Jiyeon-ah."

Nama yang di panggil itu mendongakkan kepalanya, menatap lelaki yang kini berdiri di sebelahnya dengan senyuman yang manis.

"Minho-ya, ada apa?" bukannya yang menjawab Jiyeon, gadis yang duduk di depan Jiyeon justru menjawab panggilan Minho.

"Ada apa?" kini benar Jiyeon yang menjawabnya.

Minho pun menatap mata Jiyeon dan tak memperdulikan gadis yang tadi menjawab panggilan untuk Jiyeon, "Semalam kau tidur dengan nyenyak kan?"

Jiyeon mengangguk mantap, "Tentu saja."

Dari tatapan Jiyeon yang dalam, Minho paham kalau gadis itu tengah berbohong. Matanya yang sedikit bengkak itu menandakan bahwa ia menangis semalaman, bahkan begadang karena pasti menahan sakit di tubuhnya akibat seorang ayah yang kurang ajar. Tapi ia tidak lagi bodoh seperti awal saat ia mencoba mendekati Jiyeon. Kini ia lebih hati – hati dalam berbicara pada gadis yang penuh misteri itu. Ia pun mengembangkan senyum yang lebih lebar, "Baguslah kalau begitu. Nanti malam, kau bersedia kerumah ku lagi?"

Women [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang