"di umur 19 kamu menyadari bahwa hidup ini memang tentang perjuangan dan pengorbanan."
LESTARI tahu kalau hidupnya tidak sama dengan anak-anak kebanyakan. Tari bahkan sudah menerima hal itu jauh-jauh hari, bahkan sebelum dirinya tidak mampu ikut study tour SMP karena terbentur biaya. Tari tahu dirinya harus berjualan kue kering dan basah setiap pagi di sekolah untuk biaya SPP serta keperluan dirinya dan adiknya, Lentera. Selain berjualan, Tari juga kerap kali dipercayakan untuk mengantar bahan makanan di tempat-tempat jajanan di mall.
Tari ingin jadi anak yang membanggakan kedua orangtua, juga ingin taraf hidup keluarganya menjadi lebih baik, maka dia belajar sungguh-sungguh untuk mengejar beasiswa. Dan, Tari mendapatkannya, beasiswa penuh, ditambah uang saku.
Pagi itu seperti pagi yang biasa. Tari bangun jam empat pagi untuk membersihkan rumah yang semalam kacau karena abu rokok dan berserakannya botol minuman di lantai. Tari tidak mau Lentera melihat kekacauan itu dan menjadi sedih, maka Tari selalu bangun lebih pagi, selelah apa pun dirinya tadi malam mengantarkan bahan makanan. Setelah itu, Tari langsung membuat sarapan sekaligus bekal makan siang untuknya dan Lentera. Ketika jam menunjukkan pukul lima, semua keperluan untuk hari itu sudah selesai, dan Tari bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, lalu kemudian menunaikan shalat Subuh di kamarnya.
Lentera bangun jam enam. Tari masih belum bisa memaksa Lentera untuk shalat di umurnya yang baru enam tahun. Tari pun membantu Lentera untuk mandi dan bersiap-siap ke Paud. Tari membantu Lentera yang masih makan dengan celometan. Tari mengucir rambut Lentera. Tari memakaikan kerudung hijau khas Paud untuk Lentera.
Tari adalah ibu sebenarnya Lentera.
Tari mengantar Lentera ke Paud dengan berjalan kaki, karena lokasinya memang ada di depan perumahan. Seperti hari-hari biasa, Lentera dititipkan di Paud hingga jam empat sore. Bersama dengan anak-anak lain yang orangtuanya sibuk bekerja.
Jam tujuh pagi, ketika Tari pulang selepas mengantar Lentera, orangtuanya baru bangun. Dan, tak lebih dari sepuluh menit, mereka langsung saling bertengkar dan adu argumen.
Argumennya itu-itu saja. Mama menuntut biaya keperluan ini-itu pada Papa. Papa tidak punya uang lagi setelah kasus PHK yang menjeratnya lima tahun lalu, maka Papa balas memarahi Mama sebagai wanita tidak tahu diuntung. Kemudian Mama mengatakan kalau dia menyesal dengan pernikahan ini. Ujungnya, Papa membanting pintu (yang sebenarnya pintu itu sangat kasihan sekali karena selalu jadi pelampiasan orang-orang dewasa di rumah ini) entah pergi ke mana, menyisakan Mama yang menangis-nangis lalu mengatakan pada Tari kalau dia harus mencari laki-laki yang tidak seperti Papa.
Tari membuatkan sarapan untuk Mama. Memberi Mama minuman hangat untuk meredakan amarah. Mama menjadi tenang dan kemudian tidur di sofa dengan TV yang menyala.
Barulah jam delapan, Tari ada waktu untuk dirinya. Ia bersiap-siap ke kampus, masih dengan perasaan berdebar-debar, meski sudah seminggu terlewati. Tidak ada hal-hal mengejutkan terjadi di kampus, bahkan bisa dibilang, Tari sudah bisa menyesuaikan semuanya dengan baik. Hanya saja, dirinya tidak berjualan kue kering dan basah, mengingat Tari tidak ingin orang-orang mulai mencampuri urusan hidupnya. Gaji mengantar bahan makanan, uang saku, serta tabungan Tari cukup untuk menutupi semua keperluan makan dan lainnya.
"Pagi, Tar," sapa Luki dengan santai, kedua tangannya ia masukkan ke saku jaketnya.
Kemunculan Luki, tetangga sekaligus sahabatnya dari blok A, tentu saja membuat Tari terkejut. Tari lantas mencubit bahu laki-laki itu sekeras mungkin.
"Kamu bolos jam pertama lagi? Ngapain sih, Lukiii, kurang kerjaan banget, tau gak! Belajar yang bener, biar lolos SBMPTN! Gimana sih kamu ini," gerutu Tari tanpa mengindahkan Luki yang mengaduh karena cubitan super dahsyatnya. "Mamah sama Papah ngebesarin kamu untuk pengharapan yang lebih dari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
di umur 19
Teen FictionSendirian. Ama sudah terbiasa. Sejak setahun yang lalu dirinya gagal masuk universitas, Ama jadi mengerti kalau dunia sehabis SMA itu benar-benar beda dari yang ia bayangkan. Ama mulai mendapat pertanyaan: "Kapan punya pacar?" (Ama selalu jawab, gak...