chapter 6: komentar

3.5K 561 7
                                    


"di umur 19 kamu menyadari bahwa kamu tidak membutuhkan validasi dari siapa pun kecuali mereka yang penting untukmu."

BUNDA mondar-mandir dengan menggigit ibu jari di ruang keluarga.

Berita penolakan Ama terhadap bintang naik daun, Depha, sudah tersebar dengan cepat di internet seperti virus mematikan. Karena pamor Depha lebih naik dibanding Ama, banyak sekali yang menghujat Ama sebagai cari sensasi atau bahkan tidak menghargai Depha dengan pura-pura menerimanya. Mereka bahkan tidak tahu kalau Ama dan Ara bersahabat, dan secara jelas, awalnya sorot lampu mengarah pada Ara, kenapa Depha malah memberi buket itu pada Ama dan membuat Ama menjadi posisi yang serba salah? Pasti, deh, kalau Ama menerima bunga itu, beritanya tak lain tak bukan adalah Ama yang sudah mengkhianati sahabatnya sendiri.

Jam 1 pagi, suara mobil berhenti di pekarangan membuat Bunda bergegas menghampiri arah suara. Bertepatan dengan itu, Ama ke luar mobil dengan wajah suntuk. Melihat wajah itu, pertanyaan demi pertanyaan yang tumpah ruah di kepala Bunda, terpaksa wanita itu telan kembali.

"Duh, anak Bunda capek, ya," suara Bunda terdengar parau.

Mama Onel ke luar dari pintu pengemudi. Bunda dan Mama Onel bertatapan dan lewat tatapan itu, Bunda meminta waktu Mama Onel untuk berbicara sebentar, tapi nanti. Mama Onel menghela napas, lalu mengangguk.

Bunda merangkul Ama menuju kamarnya. "Mau Bunda bawain teh anget?" tanya Bunda sesampainya di kamar.

Ama menggeleng. "Ama mau tidur aja, Bun."

"Oke. Kalo mau sesuatu, bilang Bunda, ya."

"Iya, Bunda. Makasih," Ama merebahkan badan di tempat tidur sementara Bunda menutup pintu.

Akhirnya mendapatkan waktu sendiri, Ama menutup matanya rapat-rapat, mengusap wajahnya, dan mulai menangis dengan kedua tangan menutupi wajah.

Kariernya hancur. Ama yakin itu. Dirinya sudah gagal jadi tulang punggung keluarga. Setelah ini tidak ada yang mau memproduseri album selanjutnya. Ama tidak bisa menulis lirik lagunya sendiri lagi. Sudah, kariernya sudah benar-benar hancur sekarang.

Dan terlebih dari itu semua, Ama kehilangan Ara, teman dekatnya, satu-satunya. Tempatnya berbagi cerita. Tempatnya berkeluh kesah. Ama kehilangan itu semua.

Bahu siapa yang Ama gunakan untuk bersandar sekarang?

***

"LANA benar-benar syok atas kejadian ini, Bun. Tapi, ini benar-benar bukan kesalahan Lana, tapi murni kesalahan Depha. Saya sudah bicara dengan manager Depha dan dia juga mengaku terkejut dengan tindakan Depha. Seharusnya, yang dituju Depha adalah Ara, bukan Ama," kata Mama Onel setelah menyesap teh hangat manis buatan Bunda.

"Tapi, kenapa Ama yang dijadikan bulan-bulanan? Seolah Ama yang salah," ucap Bunda. "Ini sama sekali gak adil untuk Ama."

Mama Onel menatap lantai. "Depha sedang naik daun, Bun, dan banyak dari penggemar barunya yang tidak tahu kalau Depha, Ara, dan Ama sama-sama memulai debut bersama. Bahkan, mereka tidak tahu kalau ketiganya dulu cukup dekat," jelas Mama Onel. "Dan penggemar Depha yang baru, mereka menggembar-gemborkan masalah ini."

"Apa gak ada yang bisa Depha lakukan? Seperti klarifikasi? Karena jelas, kalau Ama yang klarifikasi, pasti mereka malah menambah hujatan mereka. Bunda juga gak mau Ama semakin tertekan dengan ini semua. Tuntutan kuliah dan kerjaannya sudah banyak, Mana Onel."

Mama Onel menggeleng pelan. "Ada film Depha yang sebentar lagi tayang–"

"Mama Onel tega mengorbankan Ama menjadi orang yang menanggung semua masalah ini?" tanya Bunda tajam.

"Bun, dalam dua bulan ke depan, masalah ini akan surut dengan sendirinya. Tapi untuk film yang akan tayang dua minggu lagi, berita ini penting untuk Depha. Agensi sudah memutuskan untuk bungkam."

Ekspresi Bunda pias seketika. Mereka lebih mementingkan materi dibanding perasaan seseorang. Seolah perasaan itu hanya seonggok benda tak berharga.

Bunda menyabet gelas Mama Onel. Lalu, berkata dengan dingin. "Saya kecewa dengan manager yang tidak bisa menjaga perasaan dan mental artisnya sendiri dan lebih mementingkan materi."

***

AMA tahu aturan pertama para artis yang mendapat skandal: jangan baca komentar apa pun. Tapi, rasa penasaran yang meluap ini membuat matanya tetap terjaga hingga jam tiga pagi. Maka dari itu, Ama membuka akun Instagram-nya. Notifikasi komentar memenuhi layar ponsel Ama.

Komentar terbanyak ada di fotonya dengan Ara yang diambil seminggu lalu, ketika Ara selesai rekaman untuk album baru. Beragam komentar ada di sana, menabrak komentar-komentar dari penggemar setia Ama. Sembilan puluh persen sekarang, isi komentar membahas insiden tadi malam.

Hati Ama terasa mencelus membaca salah satu komen.

favhoodie: Mbak, terima aja sih, kalo pamornya lagi turun. Jangan pake gimmick gini, lah.

Ama tahu kalau orang ini bukan penggemarnya. Dia hanya satu orang dari beratus-ratus orang sok tahu yang mampir ke akun Instagram untuk menghakiminya. Ama tahu itu, tapi hatinya semakin terbelah melihat balasan dari komentar tersebut.

anakayam: Wah, gila. Temen sendiri dimakan buat pamor, ya, Mbak :)

regina12_: dia siapa sih sebenernya? wkwkwk. kalo bukan karena ara, gue gak akan mampir ke lapak ini

sitiramana: @tamara_music lain kali cari temen yang gak nikung ya, Kak. sabar ya, Kak Ara

Ama menutup ponsel. Matanya terpejam rapat seiring air mata mulai mengaliri melewati pipi dan membahasi bantal. Ditariknya selimut mencapai ujung leher, kemudian Ama meringkuk, dalam diam, menangis.

Ama gak boleh nangis. Ama harus kuat. Gak. Jangan nangis. Kalo Ama gak kuat sama semua ini, Bunda, Kak Rassya, Reno, dan Kiara, gimana? suara otaknya menekan kuat-kuat hatinya yang melemah. Semua ini bakal berlalu. Ama harus yakin itu. Masih ada Mama Onel yang pasti akan meluruskan semua ini. Ya, kan?

Ya, kan?

Terlebih dari itu semua..., Ama memikirkan Ara. Selepas Ara pergi dari ruangan, Ama mengejarnya untuk melihat wajah terluka yang tidak pernah Ama kira bahwa penyebabnya adalah dirinya. Ama melihat Ara sekuat tenaga untuk tidak menumpah ruahkan perasaannya pada Ama.

"Kenapa Depha...," pertanyaan Ara menggantung di koridor sepi.

Ama kehilangan kata. Bahkan, 'Maaf,' pun tidak cukup.

"Kenapa lo...," lanjut Ara. "Kenapa harus lo, sih, Ma?"

Ama punya tebakan, tapi, tebakan itu malah akan melukai Ara lebih dalam. Karenanya, Ama hanya menggeleng lesu.

Ara menghela napas, berusaha mengatur air matanya yang sulit dihentikan. "Lo tetep sahabat gue. Ya kan?"

Ama mengangguk terlalu cepat hingga ia rasa lehernya nyaris patah.

"Lo gak suka Depha. Ya kan?"

Kali ini, tenggorokan Ama kering dan butuh sedikit lebih lama sebelum ia mengangguk.

Wajah Ara terlihat amat lega. Ara mengalungkan tangannya di leher Ama, memberi pelukan yang entah kenapa tidak sehangat biasanya.

"Makasih, Ma."

Dan sekarang, berjam-jam setelah insiden itu, Ama hanya bisa memejamkan mata dan meringkuk di kamarnya yang dingin.

Sambil memikirkan Ara.

Sambil memikirkan Depha.

Kenapa Depha melakukan ini padanya? Kenapa harus sekarang? Kenapa di depan orang banyak? Kenapa di depan Ara?

Pertanyaan yang mendesak itu tidak terjawab.

Menyisakan Ama yang terjaga hingga pagi menyapa.    

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang