"di umur 19 kamu menyadari bahwa membohongi perasaan hanya akan menyakiti orang yang kamu sayang dan juga dirimu sendiri."
DEPHA turun dari mobil tepat di studio tempat Ama membuat albumnya. Dilihatnya mobil milik Ara sudah ada di sana, juga dua sepeda motor milik Rendra dan Setyo. Wow. Semuanya sudah berkumpul.
"Depha telat, wooo," Ara dan Ama serempak menyorakinya ketika Depha masuk ke ruang studio. Begitu melihat Depha membawa kresek makanan, keduanya mengatupkan mulut. "Asik Depha datang, bawa apa, tuh?"
Depha mendengus geli sebelum menutup pintu studio. Kemudian, tanpa menjawab pertanyaan keduanya, Depha duduk di antara Ara dan Ama, sementara Tari, Setyo, dan Rendra di hadapan mereka, sedang mengamati satu sama lain dengan senyum cerah.
"Lo gak apa-apa, Tar?" tanya Depha cemas. Depha sudah tahu ceritanya dari Ama kemarin. Situasinya benar-benar kacau.
"Gak apa-apa," jawab Tari, kemudian melirik ke arah Setyo.
Dilirik begitu, Setyo memalingkan wajahnya ke arah lain sambil menggaruk tengkuk.
Depha gantian menanyakan hal serupa pada Rendra. Rendra menjawabnya dengan cengiran, seraya mengerlingkan matanya pada Ama, yang dibalas Ama dengan putaran mata bosan.
"Jadi?" alis Depha naik satu.
"Juara dua, jangan dipuji," jawab Ama. "Bisa gak napak tanah dia kalo dipuji sama lo."
"Selamat ya, Ren," Depha tersenyum.
"Dibilang jangan dipujiii," geram Ama sambil memukul pelan bahu Depha, membuat Depha tertawa kecil.
"Gak seneng banget lo, Ma, liat gue bahagia," Rendra cengir-cengir tidak jelas. "Baru kali ini gue senang sistem kebut semalam."
Semua orang tertawa geli. Depha pun menaruh kreseknya di tengah-tengah mereka. Tentu saja remaja nanggung seperti mereka berlima langsung melongok ke tengah, ingin tahu apa yang dibawa Rendra. Ama memekik, Ara berseru riang, sementara Rendra langsung menjulurkan tangan, ingin mengambil, namun langsung ditabok oleh Setyo. Tari mah, kalem-kalem aja dengan senyum manisnya.
"Main truth or truth yuk, yang bisa jawab pertanyaannya boleh ngambil ayam ini," tantang Depha.
Tari menggeleng. "Nope, nu-uh, lagian udah kenyang."
"Yah, jangan cemen dong, Tar," Ama cemberut.
"Iya, lagian apaan sih yang lo sembunyiin dari kita?" tanya Ara skak mat.
Tari dan Setyo sontak saling melihat, kemudian secara bersamaan membuang pandangan masing-masing.
"Tunggu, tunggu, bau-baunya di sini gak enak, nih," Rendra memicingkan matanya. Pura-pura. Padahal, dia sudah tahu segalanya tentang perasaan Setyo. "Gue juga cemas sama Tari nekat ke Jogja, tapi gak ada pikiran langsung nyamperin. Ini Si Kunyuk jarang ngomong sama Tari tapi langsung cus ke sana. Pasti ada sesuanti, nih."
"Sesuatu, Rendra," koreksi mereka betiga—Ara, Ama, Depha.
"Gak ada apa-apa," sela Tari langsung, suaranya terdengar tidak yakin. "Iya kan, Set?"
Kecuali Setyo dan Tari yang saling berpandangan canggung, semua orang saling lirik dan kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat pipi Tari merah padam karena menyadari dirinya yang menjadi objek penindasan para sahabatnya malam ini—meski kata penindasan terlalu berlebihan, sih.
"Si Tari segitunya gak pengen ketahuan jadian sama Setyo," decak Ara. "Gud gerl sekali dia."
"Kita bakal ngerti, kok, Tar," timpal Ama. "Dari awal, kalian berdua memang kayak ada sesuatu-sesuatunya gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
di umur 19
Roman pour AdolescentsSendirian. Ama sudah terbiasa. Sejak setahun yang lalu dirinya gagal masuk universitas, Ama jadi mengerti kalau dunia sehabis SMA itu benar-benar beda dari yang ia bayangkan. Ama mulai mendapat pertanyaan: "Kapan punya pacar?" (Ama selalu jawab, gak...