chapter 1: fatimah alana syaqieb

11.1K 967 18
                                    

"di umur 19 kamu menyadari bahwa berdamai dengan dirimu yang saat ini ternyata sama pentingnya dengan berdamai dengan masa lalu."

BILA pagi menyapa, kamar milik perempuan bernama Fatimah Alana Syaqieb (lebih senang dipanggil Ama) itu selalu disesaki oleh sinar-sinar matahari serta suara burung dari tetangganya, Pak Kadir. Entah mengapa, burung-burung milik Pak Kadir selalu bercuitan di pagi hari, sementara malam tidak pernah ribut, yang jelas membuat Ama selalu tidur nyenyak dan pagi hari mendapatkan alarm alami. Kebetulan hari itu, Ama lagi berhalangan sholat, jadi seperti remaja perempuan kebanyakan, waktu-waktu tidur di pagi hari sampai jam sepuluh adalah anugerah.

Ama terbangun karena sinar matahari menusuk mata.

"CUCUCUIT."

"CUITCUITCUIIIIT."

"CRUCRUCRUCRUIT."

Disusul suara burung milik Pak Kadir.

"Kan," Ama jengkel dan langsung menyumpal telinganya dengan earphone.

Ama ini tipe orang yang kalau sudah bangun, gak bisa tidur lagi (dan itu menyebalkan, serius). Maka dari itu, Ama pun turun dari ranjangnya yang nyaman dan mulai merapikan selimut. Bukannya Ama rajin, karena kalau gak gini, pasti Bunda bisa ngomel tujuh turunan pun gak selesai-selesai. Dibanding telinga Ama merah, mending melakukan hal yang dipinta Bunda. Ya gak, Guys?

Setelah itu, Ama ke kamar mandi untuk gosok gigi, buang air, dan cuci muka. Tentu saja earphone masih menyetel lagu Happier dari Marshmellow, lagu yang ia gandrungi akhir-akhir ini meski sebenarnya dia jadi merindukan pacar yang tidak ada dalam di hidupnya. (Apakah itu make sense? Ya, pokoknya begitu, lah, ceritanya).

Ama ke ruang makan. Tentu saja perutnya keroncongan karena cacing-cacing sudah melakukan unjuk rasa di sana. Di seberang meja makan, sudah duduk dua adiknya, Kiara dan Reno. Kiara, si Bungsu, sudah masuk TK B (serius, TK B, yang berarti beda usianya sama Ama kira-kira 14 tahun), dan Reno, adik pertamanya, yang sebentar lagi lulus SMP dan sedang masa puber-pubernya naksir kembang sekolah, kalau gak salah namanya..., ah, Ama lupa namanya. Sementara kakak pertamanya, Rasyya sedang di Jogja menjadi mahasiswa tingkat akhir jurusan animasi yang berteman dengan mi instan dan kupon promo.

"Kok kamu masih gegembelan sih?" tanya Bunda dengan alis mengerut.

Ama tentu gak mendengar pertanyaan Bunda karena telinganya disumpal. Bunda mengerti sikap anaknya maka Bunda menaruh mangkuk nasi dan mencabut earphone Ama. "Kok masih gegembelan sih cantiiiiiiik?" dengan suara yang membuat Ama langsung menutup telinganya.

"Jangan teriak-teriak dong, Bun, nanti Pak RT dateng," keluh Ama. "Gegembelan apa sih, Bun? Kan kalo pagi Ama emang gini."

Bunda menatap Ama seperti anak keduanya ini baru saja membelah seperti amoeba. Bahkan Reno yang sedang asyik main Mobile Legend langsung menatap kakak keduanya itu (langka sekali, karena Reno kalo lagi Mabar pasti serius banget). Sementara Kiara tetap asyik sama selai stoberi yang berantakan di tangannya.

"Sekarang hari apa?" tanya Bunda.

"Senin," jawab Ama. "Kenapa, Bun? Ada jadwal manggung, ya?"

Bunda mengurut pangkal hidungnya. Punya anak kok gini amat, ya....

"Tanggal berapa?" tanya Bunda lagi.

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang