"di umur 19 kamu menyadari bahwa apa yang semestinya untukmu, akan kembali padamu, dengan cara yang tidak kamu sangka."
"LANA, ilustrator Anda sudah menunggu di ruang meeting," suara sekretaris agensi, Pak Adam, menyadarkan Ama dari tatapannya yang tertuju pada kertas-kertas berisi notasi musik. Ama mengangguk pelan seraya berdiri dan mengikuti langkah Pak Adam bertemu ilustrator untuk album barunya.
Sepanjang perjalanan di koridor kantor agensi yang memang megah itu, Ama menganggukkan kepala seiring irama lagu yang terputar di earpod-nya. Akhir-akhir ini, Ama sedang menyukai aliran musik yang berbeda dari yang ia suka sebelumnya.
"Ngomong-ngomong, selamat atas penghargaan kemarin malam, Lana. Saya turut senang," ucap Pak Adam di tengah perjalanan. "Bukan hanya remaja yang merasa terkoneksi dengan lagu Anda, tapi kami yang sudah tua ini juga merasakannya. Teruslah berkarya, Lana. Saya termasuk penggemar Anda."
"Makasih, Pak," ucap Ama dengan senyum tulus.
Mereka telah sampai di ruang meeting. Pak Adam berbalik badan dan sedikit membungkukkan badannya. "Kalau begitu saya permisi."
Ama melihat Pak Adam hingga figurnya menghilang saat berbelok ke kanan. Kemudian, Ama melihat ke arah pintu ruang meeting di depannya. Senyum yang tadi terukir di bibirnya, kini terhapus perlahan. Entah kenapa, sesuatu yang menantinya di ruang tersebut membuat Ama berhati-hati.
Ama menarik lalu membuang napasnya pelan. Kemudian, Ama membuka pintu tersebut. Figur yang membelakanginya itu membuat Ama menahan napas. Ama kenal betul figur punggung tegap itu. Ama sangat mengenalnya.
Figur tersebut menoleh ke arah Ama. Sama terkejutnya.
"Ama...?"
Ama berusaha menahan senyum. Figur tersebut masih mengingat namanya.
"Ren..., dra?"
KAMU SEDANG MEMBACA
di umur 19
Teen FictionSendirian. Ama sudah terbiasa. Sejak setahun yang lalu dirinya gagal masuk universitas, Ama jadi mengerti kalau dunia sehabis SMA itu benar-benar beda dari yang ia bayangkan. Ama mulai mendapat pertanyaan: "Kapan punya pacar?" (Ama selalu jawab, gak...