"di umur 19 kamu menyadari bahwa ada saat di mana orang-orang tidak mengerti apa yang kamu rasakan. kadang, kamu tidak perlu menjelaskannya. karena kadang, yang memiliki pendengaran tidak butuh penjelasan, mereka hanya butuh kamu baik-baik saja."
SUARA bising seliweran kendaraan motor dari luar guest house membangunkan Tari dari tidurnya. Kepala Tari pusing akibat tidak makan apapun kemarin selain segelas kopi. Dengan lunglai, Tari melihat ke layar ponsel, sudah jam sembilan pagi. Tari berusaha duduk di sisi tempat tidur dengan tangan memegang leher bagian belakangnya yang kebas.
Ponsel Tari berbunyi. Dengan sisa tenaga, Tari mengangkat telepon.
"Tari! Kemana aja? Dari tadi dihubungin gak bisa," suara Ama yang mengomel membuat telinga Tari pengang.
"Ada apa, Ma?"
"Harusnya gue yang nanya. Ada apa, Tar? Lo kenapa? Lo gak apa-apa, kan?"
"Gue gak apa-apa," jawab Tari langsung.
"Setyo nyusul lo ke Jogja! Hari ini dia ninggalin lomba debatnya, Tar," suara Ama yang terdengar sangat terburu-buru. "Gue gak tau ini, situasinya kacau banget di tempat perlombaan."
Punggung Tari menegak. "Kenapa Setyo ke sini?"
"Harusnya gue yang nanya, Tari Cantik," balas Ama gemas. "Kenapa Setyo sepanik itu sampai nyusul lo Jogja? Lo gak apa-apa?"
Tari tahu bahwa Ama sudah menanyakan keadaannya berkali-kali, tapi kali ini, Tari tidak menjawab bahwa dia baik-baik saja. Tari hanya diam. Untuk berpikir saja, Tari sudah lelah melakukannya. Untuk bertanya apa dan mengapa, Tari lebih memilih diam.
"Gue anggap sebagai gak baik-baik aja," gumam Ama di sambungan telepon. "Malem ini gue bakal ke Jogja juga."
"Gak usah," jawab Tari cepat. "Gue pulang malem ini, kok."
"Gue jemput."
"Gak usah."
"Lo sahabat gue," suara Ama terdengar putus asa. "Apa gue masih jadi temen yang lo inginkan ada pas semuanya baik-baik aja? Apa lo masih gak mau izinin gue supaya jadi temen yang ada pas lo sedih?"
Tari diam. Air matanya menggenang begitu saja.
"Lo bisa cerita apa pun," Ama melembutkan suaranya. "Apa pun, Tari."
"Ama...." panggil Tari, suaranya serak. "Ama..., tolong ke sini. Tolong jemput gue. Gue gak kuat sendirian lagi, Ama. Gue gak mau. Gue pengen didukung. Gue pengen ditenangin. Karena sekarang gue gak tenang. Gue sendirian. Gue laper."
Ama tertawa di ujung sana, tapi Tari tahu dengan pasti kalau sahabatnya sekarang sedang menangis. "Iya. Laper. Mau makan apa nanti?"
"Mau yang enak-enak."
"Iyaaa, yang enak-enak apa, Tar?" Ama semakin gemas. "Ternyata lo semerepotkan ini, ya."
Tari tersenyum kecil. "Mau gudeg Jogja."
***
PERSETAN dengan omongan orang lain, Setyo memikirkan Tari.
Mendapat pesan tersebut, Setyo seperti orang kesetanan, dia mencari tiket kereta paling cepat ke Jogja, tidak mengindahkan bujukan teman-temannya untuk lebih mementingkan perlombaan. Karena kalau Setyo meninggalkan perlombaan dengan tidak bertanggung jawab, Setyo tidak akan dipilih lagi menjadi peserta di lomba berikutnya.
"Peduli setan!" bentak Setyo saat itu mendinginkan ruangan ukm debat, sebelum Setyo bergegas ke luar kampus, bergegas mengejar Tari, begitu saja dia lupakan semua cita-citanya dan tiap perkataan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan Tari.
KAMU SEDANG MEMBACA
di umur 19
Teen FictionSendirian. Ama sudah terbiasa. Sejak setahun yang lalu dirinya gagal masuk universitas, Ama jadi mengerti kalau dunia sehabis SMA itu benar-benar beda dari yang ia bayangkan. Ama mulai mendapat pertanyaan: "Kapan punya pacar?" (Ama selalu jawab, gak...