Sudah dua jam berlalu doyoung menunggu sadarnya sejeong dari pingsan. Sedikit penyesalan pada diri doyoung, sebagai seorang ketua osis dia belum mampu membasmi bullying yang terjadi di sekolah ini.
Bullying sudah menjadi rutinitas di sekolah ini. Tak heran banyak siswa yang meninggal di karenakan bunuh diri, banyak korban juga yang sudah bertebaran di sekolah ini termasuk sejeong. Hanya sejeong saja yang baru di ketahui sebenarnya masih banyak lagi yang menjadi korban.
Hal sekecil di sekolah ini akan di besar-besaran kan seperti halnya tak sopan pada kakak kelas atau hanya sekedar lewat di tengah lapangan itu akan menjadi korban selanjutnya. Tak di ketahui pelakunya yang membuat peraturan seperti itu, peraturan seperti itu hanya di buat oleh siswa yang telah balas dendam secara turun menurun.
Doyoung ingin dia menghentikan semua itu. Namun, belum ada cara yang baik untuk menyelesaikannya. Pelaku-pelaku yang melakukan peraturan tersebut sulit di cari karena sifatnya tersembunyi.
Doyoung berharap dengan tertangkapnya somi sebagai pelaku bullying tak ada lagi bullying untuk selanjutnya. Pelaku bullying bukan hanya somi saja masih banyak lagi.
Dari lubuk hati doyoung dia sebenarnya kasihan melihat sejeong tak berdaya seperti sekarang ini. Entah jiwanya tiba-tiba menciut, tak jarang dia merasa hal hanya sekedar kasihan.
Di perlihatkan wajah sejeong tak berkedip mata sedikitpun. Doyoung merasa kagum dengan wajah imut yang di miliki sejeong. Bulu mata yang tebal, alis menyatu, pipi sedikit mengeluarkan bolong jika tersenyum.
Tok tok tok
Ketukan pintu membuyarkan dia dalam memperhatikan wajah sejeong secara intens.
Tampaklah yuta di sana.
"Doy, gimana? Sejeong udah sadar belum?" Tanya yuta yang sudah di depan pintu dengan membawa nampan berisi makanan beserta air putih hangat untuk di berikan kepada sejeong.
"Belum ada perubahan"
Yuta meletakkan nampan di atas nakas bersampingan dengan ranjang yang sejeong tidurkan sejak tadi.
"Kalau kayak gini mau enggak mau kita harus rujuk ke rumah sakit" saran yuta.
Doyoung hanya terdiam.
"Apa gue kabarin Sehun aja" tawar yuta. Bahwasanya doyoung tidak mengetahui siapa itu sehun.
"Apa hubungannya sama sehun?" Tanyanya bingung.
Doyoung kenal kepada sehun-teman dekatnya. Tapi doyoung belum mengetahui kalau sejeong itu adik dari Sehun. Selama mereka berteman Sehun tak pernah membicarakan tentang adiknya Sehun. Doyoung pikir Sehun itu anak satu-satunya.
"Sehun abangnya" ungkap yuta. Doyoung sedikit terkejut mendengarnya. Bahkan tak mau mendengarkan. Masih tak yakin pula.
"Sehun gak pernah bilang"
"Ya emang, tapi gue tau dari emak bapaknya"
"Emang kenal elu?"
"Kenal lah, emak bapak Sehun kenal sama enyak dan babe gue malah Sabahat dari kecil. Mana mungkin sih sesama sahabat berbohong"
Biarkan yuta berkata. Sebenarnya gak ada nyambung-nyambungnya dengan apa yang doyoung tanyakan.
"Bodo amat"
Doyoung tipe orang yang cuek, gak perduli. Jadi, ucapan temannya tersebut enggak mau dia lanjutkan kembali hanya menambah kekesalan.
Sejeong mulai memejamkan matanya, dia sudah sadar. Kepalanya masih terasa sakit, tubuhnya juga masih lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Speak up
General FictionNon baku "What I need water to be real?" "No, no, no. That's not how you're a real. You can come true if someone loved you for a long time." "What pain does it feel to be real? Sometimes, Knight looks at the rabbit and a smile."