Gevan menghantam tembok yang ada di hadapannya dengan keras hingga suara dentuman terdengar di sekujur kantin yang tidak seramai biasanya. Emosinya meluap-luap. Reza bangkit dan mendekati Gevan. "Tenangin diri lo," ucapnya seraya menepuk bahu Gevan.
Reza lalu kembali ke kelas bersama lima teman-temannya yang lain, menyisakan Gevan, Dafa, Riko dan Arif di ujung kantin. Mereka ber-empat saling diam, menyimpan emosi masing-masing. Ini semua bukan tanpa alasan, mereka jelas merasa kesal karena gagal untuk menyerang SMA Sejati. Ada api yang ingin meletup dari diri Gevan.
"Kali ini kita boleh gagal, lain waktu kita nggak boleh!" Arif menegaskan. Ada perasaan menyesal dari dalam diri laki-laki itu. Gevan memantabkan perkataan temannya itu. "Kita harus balas mereka! Kematian Ferdian nggak akan bikin gue puas buat bales perbuatan mereka."
Dafa, Riko dan Arif saling bertatapan kala Gevan menyebut nama alumni yang meninggal saat tawuran tiga tahun yang lalu. "Siapa yang sebenernya bunuh Ferdian?" Riko mulai bertanya.
"Mereka juga alumni dari Sejati." Gevan mengacak rambutnya kesal.
"Lo tau orangnya, Van?" tanya Dafa. Gevan menggeleng. "Gue cuma tau ciri-cirinya, gue belum pernah ketemu orangnya."
"Tau darimana? Emangnya ada yang pernah cerita sama lo soal kematian Ferdian? Bukannya sekolah juga merahasiakan?"
"Jelas gue tau." Gevan berjalan meninggalkan ke-tiga temannya tanpa penjelasan. Cowok itu mempercepat langkahnya, saking cepatnya ia menabrak gadis yang berjalan berlawanan arah dengannya.
"Sakit," keluh gadis itu. Ternyata itu Gilsa, gadis itu tampak mengelus pundaknya. "Sori, sengaja."
"Hih! Kalau jalan b aja nggak usah cepet-cepet juga bisa kali!" timpalnya. Gevan mencebikan bibirnya. "Kaki-kaki gue, ya terserah gue dong!"
"Sakit tau, tulang lo tulang baja atau gimana sih, sakit banget." Gilsa masih mengelus pundaknya, bukan karena ia lemah, Gevan menabraknya terlalu keras hingga gadis itu terpentok tiang yang ada di dekatnya dan tepat mengenai tulang bahu.
"Jangan-jangan tulang lo geser, Sa." Zalfa menyahut dan sukses membuat Gevan terbahak-bahak mendengarnya tanpa rasa bersalah. "Nanti tangan lo jadi kayak gini, nih." Gevan mempraktikan gaya orang yang tangannya patah.
Gilsa menelan salivanya. "Kalian apa-apaan sih, kok malah nakut-nakutin gue."
Dafa, Riko dan Arif yang baru saja keluar dari kantin tiba-tiba ikut nimbrung. "Wah ada apa nih, kok rame-rame. Eh, ada Alika," goda Dafa yang memang suka menggoda Alika sejak kelas sepuluh. Alika memutar bola matanya malas.
"Gilsa tulangnya geser," bisik Gevan kepada teman-temannya seraya terkekeh. Gadis itu langsung menabok lengan Gevan keras. "Amit-amit!"
"Tangan lo kenapa, Sa?" tanya Arif.
"Ini nih, gara-gara temen lo!" Gilsa menunjuk Gevan lancang. "Di pijit aja entar pulang sekolah," lanjut Arif. Mendengar kata 'pijit' spontan Zalfa langsung berkata, "nah, sebagai pertanggung jawaban, mending Gevan aja yang mijitin Gilsa!"
"Ogahhh!" seru Gilsa, "yang ada nanti dia kesenengan bisa pegang-pegang gue." Gevan tertawa seraya membayangkan sesuatu yang sedikit mesum.
"Bukannya Gilsa pernah mijitin lo, Van?" tanya Riko.
"Iya, waktu kakinya Gevan terkilir, kan?" Zalfa menyambung.
"Nah, sekarang biar Gevan yang gantian mijitin lo, Sa!" Dafa terkekeh. Gilsa langsung melotot.
"Nggak! Gue nggak mau, amit-amit banget di pijit sama dia." Gilsa langsung melenggang begitu saja, di susul Alika dan Zalfa. Mereka memasuki kantin untuk membeli minuman.
![](https://img.wattpad.com/cover/130051806-288-k965479.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Loveliest G
Novela JuvenilGUARDLASH! Kematian harus dibalas dengan kematian, itulah siasat Gevan selama ini. Gevan memang bandel, anak itu hobi rusuh dimanapun ia berada. Gevan juga tidak pernah mematuhi peraturan di sekolah, apalagi di kelas, padahal ia menjabat sebagai ket...