Pagi.
Lima belas menit, waktu yang aku butuhkan untuk bangun dari tempat tidurku. Seumur hidup, waktu yang aku butuhkan untuk melupakanmu.
Bagaimana bisa?
Aku termenung di depan layar, tepat berisikan lukisan wajahmu. Masih tertegun aku seakan tak percaya bahwa pagiku kini telah berbeda.
Tanpa dihiasi ucapan pagi manismu sebagai sarapan. Tanpa tawamu yang penuh canda yang biasanya ku nanti setiap kali mataku terbuka. Dan tanpa balasan ucapan sayang yang selalu aku pamerkan kepada mereka sebagai kebanggaan.
Sayang, pagiku tak seperti kemarin.
Berat kakiku melangkah untuk mengawali hari. Aku tertahan pada gerimis yang kali ini mengucapkan selamat pagi.
Pagi ini aku sarapan dengan kekecewaan yang terpaksa harus aku telan. Perlahan-lahan coba aku habiskan dengan ratapan pilu sebagai garpu.
Beranjak aku dari kursi setelah sarapanku tak habis kali ini. Aku berjalan mengumpulkan hati yang berserakan setelah kau buang begitu saja.
Menjadi derita ketika aku tak tau harus mencari kemana.
Membuka lembaran baru ditengah-tengah bab kesedihan bukanlah hal yang gampang. Aku harus melupakan essay beserta jawaban indah yang dulu kau berikan ketika aku melontarkan pertanyaan. "Apakah kau mencintaiku?".
Mungkin kali ini harus aku koreksi kembali, ternyata semua jawaban atas pertanyaan yang aku beri berhasilkan remedi.
Aku gagal.
Tak percaya, kini terpaksa aku harus menggenggam kekecewaan terhadapmu. Sementara kau menggenggam tangan orang lain dengan harapan itu adalah masa depanmu.
Heh, lucu.
Jadi gila ketika aku mengingat kembali bagaimana kau meninggalkanku. Tanpa senyuman terakhir yang kau berikan, aku menangis pilu diantara redupnya cahaya lampu.
Bersama itu aku menutupi kesedihanku. Dengan itu, aku harus menjalani kembali hari-hariku. Dan dengan terpaksa, aku harus terima bahwa hatimu bukan lagi untukku.
Kembali bertanya-tanya, apakah selama ini aku adalah persinggahan diantara kekosongan yang kau punya?
Menjadi tempat bersandar untuk sementara jadi menyakitkan setelah aku tau kau pergi dengannya di antara kata cinta yang aku beri dan kau balas dengan penghianatan secara diam-diam.
Kali ini aku berjalan sendiri dengan rangkuman buku tentang pilu dan sakitku selama aku tidur. Bersama guling yang kupeluk tanpa ekspresi, dia seakan bercerita tentang bodohnya aku yang menangisimu.
Bersama ini, aku diam dengan penuh kekecewaan.
Bersama ini, aku harus memberi tahu bahwa hatiku telah berantakan.
Bersama ini, aku harus merelakan dengan penuh keterpaksaan.
Lanjut ga nih?
Silahkan vote jika suka. Sertakan Komentar Anda dan Jangan lupa kritik dan sarannya. Kontak ada di bio saya. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Perempuan yang Namanya Sengaja Ku Lupakan
PoetryTulisan yang disusun dari bulir-bulir peluh yang jatuh setelah mencoba lari untuk melupakanmu.