"Kalo suka bilang, kalo enggak pergi aja."
***
Suasana yang sepi menemani Gara yang sedang menatap tajam ke arah kotak berisi kue yang di buatkan oleh cewek tidak jelas yang datang kerumahnya siang tadi.
Sudah 5 menit ia menatap tajam ke arah kotak tersebut tanpa niat memakan.
Bagaimana bisa ia memakannya, sedangkan kepalanya kini berisi banyak pertanyaan tentang cewek tersebut.
"Cewek sok kenal, sok akrab, tiba-tiba meluk, tiba-tiba datang kerumah, manggil gue Gala? Gak keren banget sih, ck."
Gara berdecak mengingat kelakuan cewek tersebut. Lalu ia mengambil kotak tersebut dan membukanya.
Alis Gara bertaut, "Brownis cake coklat?"
"Darimana dia tahu gue suka ini?" Sambungnya.
Gara mengambil kue tersebut lalu memakannya, ia menganggukan kepanya berkali-kali, "Enak."
Tiba-tiba Gara merasakan sakit di kepalanya, "Aarrgghh."
Gara memegang kepalanya yang sangat sakit, sedikit bayangan-bayangan dari masa lalunya terlihat, tapi sayangnya bayangan tersebut tidak jelas dan hanya sekilas, dan rasa nyeri di kepala Gara langsung berhenti.
Tok.. tok..
"Garaa! Kamu kenapa sayang?!"
"Buka pintunya!"
"Garaaa!"
Gara membuka pintunya tanpa melihat ke arah Maya, dan langsung merebahkan dirinya ke atas kasur nan empuk miliknya dan memejamkan matanya.
"Gara, kamu kenapa? Kenapa teriak? Mana yang sakit? Sini mama mau lihat! Di mana, dimana?-"
Ia membuka matanya pelan, lalu mendudukkan dirinya dan menatap mamanya dengan intens, "Mah, sebenarnya cewek itu siapa?"
Melihat Maya yang mengangkat alis, Gara berdecak, "Cewek yang tadi siang datang kerumah, dia siapa?"
Mengerti maksud Gara, Maya berkata dengan dingin, "Bukan siapa-siapa, gak usah di bahas, kamu gak papa kan? Yaudah mama ke dapur dulu." Maya berlalu dari kamar Gara.
Gara yang melihat wajah ketidaksukaan dari Maya terhadap cewek itu, dia menahan diri untuk tidak mengejarnya dan bertanya tentang cewek itu lagi.
***
Suasana cerah pagi ini membuat hati Luna berseri, ia tersenyum hangat ke luar jendela menatap matahari yang menyinari kota Jakarta.
Luna menghela nafasnya mengingat kejadian semalam yang membuat hatinya sangat sakit, tante Maya yang sudah dianggapnya sebagai Ibu keduanya kini membencinya tidak tahu apa sebabnya, Gara yang tidak ingat padanya, dan suasana keluarga ayahnya yang harmonis membuatnya ingin mati saja karena tidak dianggap dalam keluarga tersebut.
Luna pergi ke dapur dan membantu menyiapkan makanan untuk pagi ini.
"Luna.. Mau kemana? Kamu gak makan dulu?"
Heri yang melihat anaknya sudah siap pergi ke sekolah, langsung menegurnya.
"Nanti aja pah, Luna harus berangkat sekarang, Luna ada piket pagi."
"Makan sedikit aja Luna.."
Felly yang melihat Luna enggan untuk makan, ia menyahut, "Udah lah pah, kalo dia gak mau gak usah di paksa, lagipula kalo gak ada dia, malah bagus, gak ngerusak pemandangan."
"Felly!"
"Luna berangkat dulu pah, Assalamualaikum." Luna menyalami tangan Heri, dan langsung berangkat tanpa melihat Felly.
***
Luna berjalan ke arah kelasnya dengan santai, tanpa memperdulikan cibiran orang tentang ia yang memeluk Gara saat di kantin waktu itu.
"LUNAA!"
Luna berbalik ke belakang dan melihat Vero yang melambaikan tangannya kepada Luna.
Lalu Vero berlari ke arah Luna yang sedang menatapnya, "Hai, Luna." Ia tersenyum manis menatap Luna.
Luna membalas senyum Vero tak kalah manisnya, "Hai, Vero."
"Luna, gue boleh minta sesuatu?
"Boleh, selagi aku bisa."
"Gue minta-"
Vero sengaja menggantung kalimatnya, sambil melihat ekspresi Luna yang mengangkat alis menunggu kalimat yang akan ia lontarkan.
Vero terkekeh, "Gak susah kok Lun."
"Gue minta lo mau gue ajak hari ini pulang bareng."

KAMU SEDANG MEMBACA
LUNA
Teen FictionLuna tidak menyangka hidupnya akan seperti ini. Menderita, tersiksa fisik dan batin. Ia berharap ia bahagia, sebentar saja. Tapi siapa yang akan membuatnya bahagia? [SLOW UPDATE]