Jarum pendek di angka lima dan jarum panjang di angka dua belas, pertanda sudah pukul lima sore. Sebastian yang awalnya santai sekarang mulai menggerakkan badannya ke kiri dan ke kanan. Tanda kalau dia lelah duduk selama satu jam.
"Es kopi di cup satu ya mas, hot lemon tea di cup satu"
"Nungguin neng Heidi lagi mas?"pertanyaan penjaga stand minuman itu hanya dibalas dengan anggukan.
Wanita didepannya masih setia dengan laptop dan beberapa buku yang terbuka juga tidak lupa tumpukan kertas penuh coretan
"Nggak bisa nih, kudu ngomong sekarang gw"tekat laki itu sudah bulat.
"Yang, udah satu jam loh aku nungguin kamu. Ngomong sesuatu kek,"hot lemon tea yang dia taruh di sampingnya pun tak tersentuh barang secicip, bukan hot lemon tea lagi sekarang panasnya sudah hilang
"Tian, kalau dari tadi kamu bosen. Balik dulu aja sih"jawabnya sambil pandangan tetap fokus ke arah laptop dan kertas terus menerus
"Nggak bisa,kita harus ngobrol. Kamu bisa stop sama paper kamu dulu,?"katanya sambil menutup laptop Sara kasar
"Udah nggak ada yang kita obrolin kayaknya. Lu bisa stop ganggu gw ya"peekataan terahkir Sara menjelaskan ke Tian tentang perbedaan mereka sekarang
"Banyak, banyak banget yang kita perlu omongin. Aku tunggu kamu sampe selese"yang dilakukan Tian sekarang membuka tas Sara dan mulai memasukan semua barang Sara kedalamnya
"Please lu kudu mikirin perasaan Heidi"jawabnya sambil menghentikan kegiatan Tian
"Gw udah mutusin Heidi, jadi nggak ada alasan lagi kan sekarang?"
"Gw tahu ya lu brengsek, tapi baru tahu juga lu bangsat juga"
"Teserah lu mau ngomong apa Sar, yang penting lu ikut gw sekarang. Bawa tas lu, ikut gw"
Patuh. Sara selalu patuh dengan apa yang Sebastian katakan
He who plays with fire gets burnt
"Lu tahukan, gimana keluarga gw dari kecil"otak Sebastian langsung mengingat kejadian saat mereka masih sekolah dasar, sore itu di teras rumahnya saat dia bermain truk pasir bersama Seno dia melihat pria dewasa itu keluar dari rumahnya dengan membanting pintu dan menendang kasar pagar rumahnya. Setelahnya tante Mona keluar berteriak dan menangis sambil menggendong adik gadis disebelahnya ini.
"Bahagia kok susah sih? Gw hidup cuman pingin ngerasain bahagia doang"kalimat kedua gadis itu, dan hanya dibalas dengan anggukan dan deheman
"Kak Shanaz sudah bahagia sama mas Wira, Selena nggak pernah tertekan hidup kayak gw. Apa sih bedanya gw sama mereka,?"tanyanya sambil menghembuskan nafas sedalam yang dia bisa.
"Sara"panggil Tian masih tetap dengan pandangan lurus ke bawah
"Bahagia sama gw mau,?"belum sempat Sara menjawab Tian sudah melontarkan kalimat keduanya
"Gw bahagia kok sama lu. Jadi temen gw dari kecil, dengerin semua cerita gw tanpa komentar atau mengkritik, dan lu doang yang mau jadi temen gw sekarang ini" jawaban Sara hanya dibalas gelengan kepala tidak setuju dari Tian
"Bukan gitu, bahagia hidup sama gw. Hidup yang selalu lu inginkan selama ini, kita pacaran?"tanyanya hati-hati tetapi penuh keyakinan, Sara menatap Tian dengan tidak percaya
"Lu gila,?"sepanjang mereka berteman Sebastian adalah sosok panutannya, semua yang dilakukan Sebastian selalu benar, benar bukan baik. Orang baik nggak selalu benar, tetapi orang benar pasti baik.
"Nggak, gw udah suka lu malah cinta sama lu dari kita masih di smp. Kenapa nggak pernah gw bilang? Itu pertanyan lu kan"Sara hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Tian.
Pernyataan cinta Tian itu bukan hal baru yang membuat Sara terkejut, karena Sara sudah merasakannya dari mereka menginjak bangku sma. Hanya menunggu yang dilakukan Sara sampai hari itu tiba.
"Karena gw minder, minder sama sederet cowok tajir yang deketin lu dari dulu. Tapi setelah lu bolak- balik cerita, kalau bukan itu yang lu cari selama ini. Gw bisa yakin ngomong ke lu sekarang ini"
"Sara, lu mau jadi cewek gw nggak,?"lanjut laki itu, sekarang dia menatap cewek didepannya dengan sungguh-sungguh
"Heidi gimana,?"pertanyaan Sara harusnya menjadi jawaban, tetapi yang dilakukan Tian untuk menjawabnya hanya dengan diam dan kecupan dibibirnya.
Sore itu yang dilakukan Sebastian beda dari bisanya, Sebastian nggak benar kali ini. Sara yang menunggu hari itu tiba, tidak pernah berpikir kalau waktunya bakal salah.Seperti sekarang ini
Perasaan mereka dan waktu yang mempermainkannya