Chapter 4

2.8K 370 15
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

IG @Benitobonita


Suasana ITC BSD pada siang menjelang sore ramai seperti biasa. Tessa berdiri di depan kasir dan melayani pembeli seramah mungkin. Gadis itu menggeleng pelan saat rasa mengantuk yang janggal hilang timbul sejak setelah makan siang.

Tessa melihat antrian manusia yang berbaris seperti ular raksasa dengan hati cemas. Dia tidak boleh sakit. Atasannya bisa memecatnya kalau dirinya banyak mengeluh.

Gadis itu berusaha membuka lebar-lebar matanya yang sempat tertutup dan tersenyum kepada seorang pria paruh baya yang berdiri di depannya. "Selamat datang, pesanan apa yang Bapak inginkan?"

Sang pembeli mendongak ke arah papan menu yang berada di belakang Tessa dan berpikir selama beberapa saat. Gadis itu menggigit bibir. Ngantuk! Dia sangat ingin tidur!

Mata Tessa hampir terpejam ketika suara sang pembeli menyadarkannya lagi. "Paket satu, tapi nasi diganti kentang."

Gadis itu tersenyum kecil, lalu memasukkan kode paket ke mesin kasir. "Tiga puluh lima ribu."

Transaksi selesai dan berganti transaksi baru. Tessa berhasil menahan diri untuk tidak tertidur hingga sore hari. Dia sedang bersiap-siap pulang saat menyadari kehadiran Dean. Pria itu sedang duduk bercakap-cakap bersama atasan mereka.

Tessa yang telah berganti seragam menjadi kaos biasa secara spontan berjalan mendekati mereka. Gadis itu memperbaiki tas selempangnya saat mendengar percakapan yang sedang terjadi.

"… tambahkan dosisnya sedikit demi sedikit, lama-lama dia akan terbiasa …," ucap Dean di sela-sela suara riuh di sekitar mereka.

Perbincangan terhenti. Rudy Sinaga menoleh ke arah Tessa dan tersenyum lebar. "Oh, sudah waktunya pulang?"

Dua rekan kerja lainnya yang juga memiliki jam kerja yang sama terlihat sudah berjalan jauh menuju tangga jalan untuk turun ke lantai dasar. Tessa mengangguk. "Iya, Pak."

Tessa mencuri pandang ke arah Dean yang mengamatinya secara terang-terangan. Rekan kerjanya belum mengenakan seragam kerja, tetapi masih memakai pakaian santai, kaos berwarna abu-abu dan celana jin. Pria itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata, "Ayo, kuantar pulang."

Mata Tessa mengerjap. Ekspresi gadis itu berubah menjadi kebingungan. Namun, suara tawa atasan mereka membuat dia mengalihkan perhatian dari Dean.

"Dean, jangan terlambat …. Jam kerjamu mulai satu jam lagi."

Jantung Tessa tanpa sadar berdegup cepat. Pipi gadis itu bersemu saat melihat Dean menyeringai. Dia sepertinya mulai kecanduan melihat senyum rekan kerjanya.

"Saya segera kembali, Pak."

Tessa ikut mengangguk sopan ke arah Pak Rudy sambil berkata, "Saya pulang dulu, Pak."

Pria paruh baya itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan."

Sepasang muda-mudi itu berjalan bersisian menuju tangga jalan. Ketika menuruni lantai dua, Tessa mendongak ke arah Dean, lalu bertanya, "Kenapa kau datang sebelum waktu kerja?"

Dean tidak menjawab langsung menjawab. Dia menengok ke arah Tessa dan mengamati wajah gadis itu. "Apa kau merasa baik-baik saja?"

Mata Tessa lagi-lagi mengerjap kebingungan. Gadis itu teringat akan rasa kantuk yang terus menyerangnya berulang kali.

"A-aku hanya sedikit mengantuk …," jawab Tessa mengucek matanya. "Padahal aku sudah cukup tidur …."

Mereka kini berjalan di lantai dasar menuju tempat parkir motor. Seorang perempuan bertubuh tambun mendorong kereta belanjaan yang penuh barang dan membuat Tessa harus lebih merapat kepada Dean untuk memberikan jalan.

Dean tiba-tiba merunduk, lalu meletakkan punggung tangan pada dahi Tessa. Wajah gadis itu spontan terasa panas. Dia memandang ke arah pria yang kini sedang menatapnya dengan ekspresi khawatir.

"Mungkin hari ini kau tidak usah kuliah," ucap Dean sungguh-sungguh. "Sejak kemarin aku memang melihat wajahmu sedikit pucat …."

Tessa memundurkan tubuh untuk melepaskan diri dari sentuhan pria itu. Dia menggeleng sambil berkata, "Sebentar lagi ujian, aku tidak bisa bolos kuliah."

Dean menghela napas panjang. Pria itu menurunkan tangan dan kembali melangkah dengan Tessa mengikutinya.

Toko-toko di sekitar mereka cukup ramai oleh orang-orang yang berbelanja. Pandangan Tessa teralihkan sejenak oleh sekumpulan anak remaja yang sibuk melihat-lihat pakaian yang tergantung di lapak bagian tengah gedung sebelum rasa penasaran menggelitik dirinya.

"Apa yang sedang kalian bicarakan tadi?"

Dean menoleh ke arah Tessa dengan ekspresi tidak mengerti. "Tentang apa?"

"Soal dosis …, apa ada yang sakit?"

Langkah Dean terhenti seketika. Dia tiba-tiba mendengkus sambil tersenyum. "Kami bicara soal kopi …."

"Kopi?"

Dean kembali mengajak Tessa berjalan keluar gedung menuju tempat parkir motor. Pria itu menjawab tanpa menoleh. "Lebih tepatnya gula …."

Kening Tessa berkerut tidak mengerti. Dia sama sekali tidak paham ucapan rekan kerjanya. Mereka berdiri di dekat motor Dean.

Pria itu melepaskan kunci stang, lalu mengambil helm merah muda dan diserahkan kepada Tessa. "... cara membuat seseorang terbiasa dengan pahitnya kopi adalah mengurangi sedikit demi sedikit porsi gula pada minumannya …."

Tessa memakai helm miliknya. Dia mengamati Dean yang sedang memakai helm hitam dengan kebingungan. Seingatnya pembicaraan yang didengarnya adalah menambah dosis, bukan mengurangi.

Dean naik ke atas motor dan tersenyum ke arahnya. "Ayo, naik. Aku harus segera kembali untuk kerja."

Tessa menepis keganjilan yang dia rasakan dan membiarkan hari itu berlalu tanpa memikirkan perbincangan tidak wajar yang gadis itu sempat curi dengar.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Tessa - Terjebak Pesona Siluman UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang