"Pandangan bahwa pada suatu hari alam dapat menelan segalanya termasuk sebuah kota modern dengan bangunan-bangunan yang begitu banyak dan serba kokoh tidak mudah kita masukkan ke dalam imajinasi khayalan kita," tulis Alan Weisman, dalam sebuah buku yang tengah mengikuti kedua kakiku melangkah; The World Without Us atau Dunia Tanpa Manusia.
Saat aku memutuskan keluar dari kamarku, dan melangkahkan kedua kaki di sepanjang gang-gang sempit yang sepi menuju jalanan yang lebih besar dan biasanya padat. Mungkin aku akan mendapatkan sebuah kejutan yang aku bayangkan, mengenai sebuah kota yang lengang, sepi, dan begitu bebas dan tenang. Sebuah kota tanpa manusia. Bagiku, rasanya, seperti angan-angan yang indah.
Aku menginjakkan kakiku di sepanjang jalan di pagi hari, saat umat Islam di seluruh dunia tengah berbondong-bondong pergi ke masjid, merayakan hari raya besar mereka setelah berpuasa satu bulan penuh lamanya. Dalam imajinasi yang telah aku rangkai di kepalaku. Jalanan pasti akan lebih menyenangkan jika seluruh umat manusia pergi ke rumah ibadahnya masing-masing dan tak keluar lagi dari sana. Membiarkan jalanan tetap kosong dan tanpa penghuni. Hanya satu dua kendaraan yang lewat. Dan langkah kakiku yang begitu jelas terdengar dari pada biasanya.
Di pagi hari, di mana jalanan nyaris lengang sempurna, aku begitu menikmati dunia yang jarang terjadi ini. Saat sebagian warga kota perantauan pulang ke tempat asalnya masing-masing. Dan mereka yang masih tinggal, tak menampak diri dan seandainya memutuskan berhenti memasuki jalanan untuk selamanya. Dan yang tersisa, hanyalah apa-apa yang ditinggalkan manusia.
Pepohonan yang semakin lebat. Burung-burung yang kembali datang dan berkicau riang. Serangga-serangga yang akan mulai berdatangan. Para binatang mamalia mungkin akan terlihat berjalan dengan santai dan lambat di tengah-tengah jalan raya yang kini aku juga tengah merasakannya. Seekor musang mungkin juga akan melintas dengan tenang dan sesekali menengok kiri kanan untuk memastikan sesuatu. Atau sesekali seekor biawak naik dari pinggiran sungai dan berjalan menuju sepanjang jalan kota ini tanpa perasaan takut sama sekali. Dan seekor ular, melata dengan tenang, melintasi jalan tanpa ada gangguan dan kemungkinan akan tertabrak oleh roda-roda yang biasanya sangat mematikan.
Pohon-pohon di kota ini mungkin tidak hanya akan dipenuhi oleh berbagai walet dan burung layang-layang yang terbang di atas kanopi yang lebat dari jalan kecil yang sekarang aku lewati. Tidak hanya sekedar burung gereja yang sedang terbang, hinggap di sebuah pagar batu di depan sebuah rumah. Tapi juga burung hantu, barn owl atau tyto alba yang tiba-tiba melintas di pagi hari yang terang seperti ini. Dan seekor gagak mulai muncul lagi bersama dengan raja udang, kepodang, gelatik batu, dan membayangkan seekor kalong besar tak sengaja keluar dari sebuah pohon beringin besar yang ada di depan mataku ini, seolah bagaikan imajinasi yang indah.
Beberapa waktu yang lalu, aku tengah mengamati raja udang sungai yang sedang bertengger di sebuah pohon lamtoro dengan menggunakan teropong kecilku. Kejadian itu begitu menyenangkannya. Karena lebih dari tiga puluh menit lamanya, burung yang berkesan di masa kecilku itu seolah diam saja. Hanya sekedar menggerak-gerakkan kepalanya. Seolah mengamati dunia di sekitarnya. Dan beberapa hari setelahnya. Seekor burung puyuh terbang rendah dengan sangat cepatnya, melintas tepat di depan mataku. Pertemuan lain yang begitu tak terduga setelah sekian lama aku tak lagi pernah mendapatkan seekor burung puyuh hidup di alam terbuka.
Aku berjalan. Terus berjalan. Di sebuah kota yang nyaris sepi dari manusia. Suara-suara dari pengeras suara bergema dari berbagai arah. Dan aku berpikir, biarlah seluruh umat manusia tetap ada di sana. Untuk seterusnya. Selamanya. Dan biarkan trotoar, jalan kecil dan sempit, jalan raya besar dan sedang, dan aspal jalanan tetap ada di tempatnya masing-masing beserta seluruh rumah, dan bangunan-bangunan yang memenuhi hampir semua permukaan tanah. Saat manusia tak terlihat ada dan memenuhi setiap inci kota ini. Dunia mendadak bagaikan terbebaskan dari tekanan dan terlihat lebih ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SETAPAK: PERJALANAN KAKI
Non-FictionSETAPAK: PERJALANAN KAKI menceritakan tentang diriku yang mendambakan lagi berjalan kaki di berbagai macam tempat. Sambil merenungi dunia. Memasuki dunia asing dan baru. Sawah. Pantai. Hutan. Kota. Pinggiran sungai. Gang. Trotoar. Dan lain sebagainy...